PENGELOLAAN KESUBURAN TANAH DAN TATA AIR
PADA LAHAN SULFAT MASAM
PAPER
Oleh :
LIA
AGNES LUMBANGAOL
110301052
AGROEKOTEKNOLOGI
1
PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2013
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................... i
DAFTAR ISI......................................................................................................... ii
PENDAHULUAN
Latar
Belakang............................................................................................... 1
Tujuan
Penulisan............................................................................................ 2
TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian
Lahan Kering............................................................................... 3
Tanah
Mineral Masam dan Penyebarannya.................................................... 4
Kesuburan
Tanah........................................................................................... 7
PERMASALAHAN KESUBURAN TANAH................................................. 10
PENGELOLAAN KESUBURAN TANAH
Konsep
LEIA, LLEISA, dan HEIA........................................................... 14
Konsep
Mekanik dan Vegetatif.................................................................. 23
PENUTUP
Kesimpulan.................................................................................................. 29
Saran............................................................................................................ 29
DAFTAR PUSTAKA
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Lahan rawa di Indonesia cukup luas dan tersebar di tiga pulau
besar, yaitu di Sumatera, Kalimantan, dan Irian Jaya (Papua). Menurut
Widjaja-Adhi et al. (1992) luas lahan rawa Indonesia ± 33,4 juta ha, yang
terdiri atas lahan rawa pasang surut sekitar 20 juta ha dan lahan lebak 13,4
juta ha. Pembukaan lahan rawa pasang surut dilakukan berkaitan dengan program
pemukiman transmigrasi yang dimulai sejak Pelita I (orde baru) sekitar tahun
1969 melalui program Proyek Pembukaan Persawahan Pasang Surut (P4S).
Pemanfaatan lahan pasang surut untuk pertanian merupakan pilihan yang strategis
dalam mengimbangi penciutan lahan produktif di pulau Jawa yang dialihfungsikan
untuk pembangunan sektor non pertanian seperti, perumahan, jalan raya, industri
dan pembangunan lainnya.
Menurut Sudiadikarta et al., (1999) sampai saat ini lahan
rawa yang telah dibuka 2,4 juta ha, 1,5 juta ha di Kalimantan dan 0,9 ha di
Sumatera. Lahan rawa di Irian Jaya (Papua) sampai saat ini masih belum dibuka
untuk pertanian. Pengembangan lahan rawa memerlukan perencanaan pengelolaan dan
pemanfaatan yang baik dan memerlukan penerapan teknologi yang sesuai, terutama
pengelolaan tanah dan air yang tepat.
Pemanfaatan yang bijak, pengembangan yang seimbang dan
pengelolaan yang sesuai dengan karakteristik, sifat dan kelakuannya, diharapkan
dapat mengembalikan lahan rawa menjadi lahan pertanian yang berproduktivitas
tinggi, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan (Widjaja-Adhi, 1995a dan
1995b). Sejak proyek P4S tahun tujuh puluhan dan dilanjutkan dengan proyek
penelitian Badan Litbang Pertanian Swamp I, Swamp II, dan kerjasama dengan
Belanda (LAWOO) tahun delapan puluhan, Proyek Penelitian Pengembangan Lahan
Rawa Terpadu (ISDP) dan Proyek Pertanian PLG tahun sembilan puluhan telah
banyak teknologi pengelolaan lahan rawa yang dihasilkan (Suriadikarta dan
A.Abdurachman, 1999). Teknologi itu antara lain adalah teknologi pengelolaan
tanah, tata air mikro, teknologi ameliorasi tanah dan pemupukan, penggunaan
varietas yang adaptif, teknologi mengatasi hama dan penyakit, dan model
usahatani. Namun penerapan teknologi pertanian lahan rawa umumnya tidak dapat
diterapkan secara berkelanjutan disebabkan ada beberapa kendala yaitu : modal
petani yang rendah, infrastruktur yang terbatas, kelembagaan pedesaan yang
minim, dan kurangnya perhatian pemerintah dalam pemeliharaan jaringan tata air
makro secara konsisten.
Berbagai kegagalan telah didokumentasikan namun keberhasilan
juga telah dicapai sepanjang pengembangan lahan rawa. Terjadinya lahan bongkor
akibat reklamasi yang kurang tepat merupakan pengalaman kegagalan yang tidak
perlu terulang lagi dalam pengembangan lahan rawa yang masih memungkinkan untuk
pengembangan pertanian. Potensi lahan rawa yang masih besar ini sebaiknya dapat
dimanfaatkan untuk menunjang persiapan pengembangan sistem ketahanan pangan dan
agribisnis yang menjadi program utama sektor pertanian. Sebagaimana disampaikan
oleh Menteri Pertanian (1999).
Lahan rawa, baik rawa pasang surut maupun bukan pasang surut
(lebak) dapat dijadikan basis pengembangan sistem ketahanan pangan, untuk
kepentingan jangka pendek, menengah maupun jangka panjang. Sehingga perhatian
berupa investasi, terutama swasta dalam pemanfaatan lahan rawa seyogyanya dapat
lebih ditingkatkan. Berdasarkan macam dan tingkat kendala dalam pengembangan
dan pengelolaan, khususnya untuk pertanian, lahan rawa dibagi menjadi lima
tipologi lahan, yaitu 1) lahan potensial, 2) lahan sulfat masam, 3) lahan
gambut, 4) lahan salin atau pantai, 5) lahan rawa lebak.
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan paper ini
adalah untuk mengetahui pengelolaan kesuburan tanah dan tata air pada lahan
sulfat masam dan sebagai tugas matakuliah Pengelolaan Tanah dan Air.
PERMASALAHAN
PADA TANAH SULFAT MASAM
Pertama kali tanah sulfat masam dikenal dengan sebutan cat
clay yang diambil dari asal kata katteklei (bahasa Belanda), yang diartikan
sebagai lempung yang berwarna seperti warna pada bulu kucing, yaitu warna
kelabu dengan bercak kuning pucat (jerami). Bercak kuning pucat ini merupakan
senyawa hasil (produk) oksidasi pirit yang sering disebut dengan jarosit.
Istilah tanah sulfat masam sendiri digunakan karena berkaitan dengan adanya
bahan sulfida (pirit) dalam tanah ini yang apabila teroksidasi menghasilkan
asam sulfat sehingga menyebabkan tanah menjadi masam sampai sangat masam (pH
2-3). Tanah sulfat masam merupakan tanah liat rawa dan seringkali memiliki
lapisan gambut tipis < 20 cm; memiliki lapisan pirit yang belum teroksidasi
(bahan sulfidik) atau sudah teroksidasi (horison sulfurik) pada kedalaman 0-50
cm. Tanah sulfat masam terbagi menjadi sulfat masam potensial dan sulfat masam
aktual. Sulfat masam potensial dapat berubah menjadi sulfat masam aktual bila
tanah mengalami drainase yang berlebihan akibat reklamasi. Pirit yang semula
stabil dan tidak berbahaya pada kondisi anaerob atau tergenang, akan
teroksidasi bila kondisi berubah menjadi aerob. Menurunnya permukaan air tanah
akibat pembuatan saluran drainase primer-sekunder-tersier menyebabkan oksigen
masuk ke dalam pori tanah dan akan mengoksidasi pirit membentuk asam sulfat,
ion hidrogen dan Fe3+. Apabila oksidasi pirit berlangsung cepat maka akan
terbentuk mineral jarosit berupa bercak-bercak karatan berwarna kuning jerami
(Dent, 1986; Langenhoff, 1986).
Pada kondisi tergenang, kemasaman tanah dapat dikurangi namun
disisi lain muncul masalah keracunan besi fero (Fe2+), Al, Mn, Hidrogen
sulfida, CO2, dan asam organik. Masalah fisik yang sering dijumpai adalah
terhambatnya perkembangan akar tanaman pada horison sulfurik karena tanaman
kekurangan air, pematangan tanah terhambat serta saluran drainase tertutup oleh
deposit oksida besi. Pada kondisi seperti ini, pertumbuhan dan aktivitas
mikroorganisme tanah terhambat. Jenis tanaman yang dapat tumbuh dan berkembang
akan sangat terbatas dengan hasil rendah.
Proses Kimia pada Tanah
Sulfat Masam
Proses kimia pada tanah sulfat masam dapat dikelompokkan
menjadi dua bagian penting. Pertama, proses kimia yang terjadi dalam keadaan
reduktif, antara lain pembentukan pirit, reduksi besi feri menjadi fero, serta
reduksi senyawa beracun. Kedua, proses kimia pada kondisi oksidatif, yang
terpenting adalah oksidasi pirit.
Proses reduksi
Pada kondisi aerob, sumber elektron utama bagi aktivitas
mikroorganisme
pendekomposisi bahan organik adalah oksigen. Bila keadaan berubah menjadi anaerob, oksigen di dalam tanah secara perlahan menghilang. Namun demikian, dekomposisi bahan organik oleh bakteri anaerob tetap berlangsung dengan memanfaatkan elektron yang dilepaskan dalam proses reduksi nitrat, oksida mangan, oksida besi, dan sulfat. Dalam proses reduksi selalu memanfaatkan proton, sehingga pH tanah akan meningkat. Proses kimia penting yang terjadi adalah : Pembentukan pirit. Pirit (FeS2) adalah mineral berkristal kubus dari senyawa besi-sulfida yang terkumpul di dalam endapan marin kaya bahan organik dan diluapi air mengandung senyawa sulfat (SO4-) dari air laut. Bentuk kristal pirit sangat halus bervariasi dari <> 2 mikron hingga > 100 mikron (Van Dam dan Pons, 1972). Kandungan pirit dalam endapan marin mencapai 5%, tetapi umumnya 1-4% (Van Breemen, 1972). Pembentukan pirit memerlukan persyaratan tertentu :
pendekomposisi bahan organik adalah oksigen. Bila keadaan berubah menjadi anaerob, oksigen di dalam tanah secara perlahan menghilang. Namun demikian, dekomposisi bahan organik oleh bakteri anaerob tetap berlangsung dengan memanfaatkan elektron yang dilepaskan dalam proses reduksi nitrat, oksida mangan, oksida besi, dan sulfat. Dalam proses reduksi selalu memanfaatkan proton, sehingga pH tanah akan meningkat. Proses kimia penting yang terjadi adalah : Pembentukan pirit. Pirit (FeS2) adalah mineral berkristal kubus dari senyawa besi-sulfida yang terkumpul di dalam endapan marin kaya bahan organik dan diluapi air mengandung senyawa sulfat (SO4-) dari air laut. Bentuk kristal pirit sangat halus bervariasi dari <> 2 mikron hingga > 100 mikron (Van Dam dan Pons, 1972). Kandungan pirit dalam endapan marin mencapai 5%, tetapi umumnya 1-4% (Van Breemen, 1972). Pembentukan pirit memerlukan persyaratan tertentu :
a)
Lingkungan anaerob : Reduksi sulfat hanya dapat terjadi pada
kondisi yang sangat anaerob seperti pada sedimen tergenang dan kaya bahan
organik. Dekomposisi bahan organik oleh bakteri anaerob menghasilkan
senyawa-senyawa yang bersifat masam sehingga menyebabkan lingkungan bertambah
masam (Pons et al., 1982);
b)
Sulfat terlarut : Sumber utama sulfat adalah air laut atau
air payau pasang;
c)
Bahan organik : Oksidasi bahan organik menghasilkan energi
yang sangat diperlukan oleh bakteri pereduksi sulfat. Ion sulfat bertindak
sebagai sumber elektron bagi respirasi bakteri kemudian direduksi menjadi
sulfida. Jumlah sulfida yang terbentuk berkaitan langsung dengan jumlah bahan
organik yang dimetabolisme oleh bakteri;
d)
Jumlah besi : Tanah dan sedimen mengandung besi oksida dan
hidroksida dalam jumlah yang banyak, yang akan tereduksi menjadi Fe2+, yang
sangat larut pada pH sekitar normal atau dijerap oleh senyawa organik yang
larut;
e)
Waktu : Waktu yang diperlukan untuk pembentukan pirit pada
kondisi alami masih belum banyak diketahui. Reaksi antara padatan FeS dan S
berjalan sangat lambat, memerlukan waktu bulanan bahkan tahunan untuk
menghasilkan sejumlah pirit. Namun demikian, pada kondisi yang sesuai, Fe2+
larut dan ion polisulfida dapat membentuk pirit dalam beberapa hari (Howarth,
1979 dalam Dent, 1986). Reaksi keseluruhan pembentukan pirit dari besi oksida
(Fe2O3) sebagai sumber Fe digambarkan sebagai berikut :
Pada kondisi tergenang atau anaerob, selain terbentuk ion
mono-karbonat, di dalam tanah atau sedimen juga mengandung karbonat yang
berasal dari koral atau binatang laut. Karbonat akan menetralisir kemasaman
tanah dan mempertahankan pH sekitar netral. Pirit adalah zat yang hanya ditemukan di
tanah di daerah pasang surut saja. Zat ini dibentuk pada waktu lahan digenangi
oleh air laut yang masuk pada musim kemarau. Pada saat kondisi lahan basah atau
tergenang, pirit tidak berbahaya bagi tanaman. Akan tetapi, bila terkena udara
(teroksidasi), pirit berubah bentuk menjadi zat besi dan zat asam belerang yang
dapat meracuni tanaman. Pirit dapat terkena udara apabila:
1.
Tanah pirit diangkat ke permukaan tanah (misalnya pada waktu
mengolah tanah, membuat saluran, atau membuat surjan).
2.
Permukaan air tanah turun (misalnya pada musim kemarau).
Reduksi Fe3+menjadi Fe2+. Pada sebagian tanah masam,
penggenangan akan mengakibatkan pH meningkat hingga 6-7 setelah beberapa
minggu. Pada kondisi seperti ini, proses terpenting adalah reduksi Fe3+ menjadi
Fe2+ (Ponnamperuma, 1972; Patrick dan Reddy, 1978). Pada tanah sulfat masam
muda, peningkatan pH dari 3,0-3,5 menjadi 5,5-6,0 berkaitan dengan tingkat
pelarutan Fe2+ yang dicapai. Pada tanah sulfat masam yang telah lanjut, pH
meningkat sangat lambat setelah penggenangan bahkan kadang-kadang tidak
mencapai 5,5-6,0. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh : (1) lambatnya proses
reduksi dan (2) tidak adanya bahan yang akan direduksi seperti misalnya oksida
besi feri. Pada kondisi pertama, maka setelah penggenangan tidak akan terjadi
perubahan nilai Eh atau pH yang drastis. Pada kasus kedua, nilai Eh akan
menurun tanpa meningkatkan pH. Menurut Dent (1986), tanah sulfat masam yang
sudah tua mengandung besi dalam bentuk kristal goetit dan hematit yang stabil
sehingga sulit tereduksi.
Sebaliknya tanah sulfat masam yang masih muda kaya akan
koloid besi, sehingga diperkirakan mempunyai kadar besi terlarut yang tinggi
setelah penggenangan. Reduksi oksida Fe3+ dengan bahan organik sebagai donor
elektron akan mengkonsumsi 4 proton : Konsten et al., (1990) melaporkan bahwa
tanah sulfat masam di Kalimantan ada yang tidak menunjukkan peningkatan pH
setelah penggenangan. Hal ini disebabkan tanah tersebut mempunyai kandungan
oksida Fe3+ yang rendah dibandingkan kapasitas netralisasi oleh tanah.
Reduksi sulfat. Proses reduksi sulfat menjadi sulfida dapat
terjadi pada kondisi pH di atas 4 hingga 5, pada pH di bawah itu reaksi terjadi
sangat lambat dan bahkan tidak ada. Reduksi sulfat seringkali terjadi pada
tanah sulfat masam yang masih muda dan sulfat masam lanjut yang lama tergenang.
Reduksi sulfat ini sangat berkaitan dengan adanya hasil dekomposisi bahan
organik yang masih baru. H2S yang terbentuk sangat beracun bagi tanaman, pada
konsentrasi 0,1 mg l-1 H2S sudah dapat meracuni tanaman padi dalam larutan hara
(Mitsui, 1964 dalam van Breemen, 1993).
Proses oksidasi
Proses utama yang terjadi bila tanah sulfat masam teroksidasi
adalah oksidasi pirit. Reklamasi lahan rawa melalui pembuatan saluran drainase
mengakibatkan perubahan kimia di dalam tanah sulfat masam. Pirit yang semula
tidak berbahaya pada kondisi tergenang, secara perlahan berubah menjadi unsur
beracun dan merupakan sumber kemasaman tanah bila kondisi tanah berubah menjadi
oksidatif. Perbedaan yang besar antara pasang surutnya air laut serta musim
kemarau yang panjang menyebabkan pirit teroksidasi secara alami. Reaksi
oksidasi pirit dengan oksigen pada tanah sulfat masam berlangsung dalam
beberapa tahapan, meliputi reaksi-reaksi kimia dan biologis (Dent, 1986).
Pada nilai pH kurang dari 3,5 reaksi oksidasi kimia ini
berjalan sangat lambat dengan waktu paruh 1.000 hari. Kecepatan oksidasi pirit
oleh Fe3+ sangat dipengaruhi oleh pH, karena Fe3+ hanya larut pada nilai pH di
bawah 4 dan Thiobacillus ferrooxidans tidak tumbuh pada pH yang tinggi. Besi
oksida dan pirit di dalam tanah mungkin secara fisik berada pada tempat yang
berdekatan, namun ada tidaknya reaksi di antara mereka sangat dipengaruhi oleh
kelarutan Fe3+.
Kecepatan oksidasi pirit cenderung bertambah dengan
menurunnya pH tanah. Pada pH di bawah 4, proses oksidasi terhambat oleh suplai
O2. Kecepatan penurunan pH akibat oksidasi pirit tergantung pada : (1) jumlah
pirit; (2) kecepatan oksidasi; (3) kecepatan perubahan bahan hasil oksidasi;
dan (4) kapasitas netralisasi. Kalsium karbonat dan basa dapat ditukar
merupakan bahan penetralisir kemasaman dimana reaksinya dengan asam sulfat
berjalan cepat(van Breemen, 1993).
Di dalam tanah, berbagai tingkatan oksidasi yang berlangsung
tidak terjadi
pada titik yang sama. Pengujian secara mikro-morfologi menunjukkan bahwa ada perbedaan/batas yang nyata antara lokasi beradanya pirit dan bahan hasil oksidasinya seperti jarosit, besi oksida, dan gipsum. Pirit biasanya terdapat di dalam inti dari ped, sedangkan jarosit, besi oksida, dan gipsum terdapat pada permukaan ped dan ruang pori. van Breemen (1976) menduga bahwa oksigen bereaksi dengan Fe2+ terlarut membentuk Fe3+ terlebih dahulu sebelum bertemu dengan pirit.
pada titik yang sama. Pengujian secara mikro-morfologi menunjukkan bahwa ada perbedaan/batas yang nyata antara lokasi beradanya pirit dan bahan hasil oksidasinya seperti jarosit, besi oksida, dan gipsum. Pirit biasanya terdapat di dalam inti dari ped, sedangkan jarosit, besi oksida, dan gipsum terdapat pada permukaan ped dan ruang pori. van Breemen (1976) menduga bahwa oksigen bereaksi dengan Fe2+ terlarut membentuk Fe3+ terlebih dahulu sebelum bertemu dengan pirit.
Hasil oksidasi pirit
Oksidasi pirit oleh Fe3+ menghasilkan ion (H+) yang kemudian
sebagian digunakan lagi untuk mengoksidasi Fe2+ menjadi Fe3+. Hasil akhir dari
oksidasi pirit adalah hidroksida Fe3+. Pada pH > 4, oksida dan hidroksida
Fe3+ akan mengendap, misalnya dalam bentuk goetit yang lambat laun akan berubah
menjadi hematit (Dent, 1986).
Jarosit [KFe3(SO4)2(OH)6]
merupakan endapan berwarna kuning pucat hasil oksidasi pirit pada kondisi yang
sangat masam, yaitu pada Eh diatas 400 mV dan pH kurang dari 3,7. Pada pH di atas 4, jarosit tidak stabil dan
mudah berubah menjadi goetit dan terhidrolisa menjadi oksida besi. Hasil
pengujian mikroskopi terhadap irisan tipis dan difraksi sinar X menunjukkan
bahwa bercak kuning yang merupakan karakteristik tanah sulfat masam didominasi
oleh jarosit dan goetit. Bercak merah dan coklat pada sulfat masam adalah
goetit yang kadang-kadang berasosiasi dengan jarosit dan hematit (van Breemen,
1976). Sulfat merupakan salah satu hasil oksidasi pirit yang sangat sedikit
dijerap oleh profil tanah. Sebagian besar dari sulfur terlarut hilang bersama
air drainase atau berdifusi ke lapisan di bawahnya yang kemudian akan direduksi
kembali menjadi sulfida. Sebagian kecil tertahan dalam bentuk jarosit atau
gipsum. Gipsum terbentuk pada tanah sulfat masam melalui reaksi netralisasi
kemasaman oleh kalsium karbonat :
Ion hidrogen (proton) yang dihasilkan dari oksidasi pirit menyebabkan kondisi tanah yang sangat masam. pH yang sangat rendah menyebabkan penghancuran kisi-kisi mineral liat sehingga silikat dan Al3+ terlepas. Di lapangan, nilai pH tanah sulfat masam berkisar antara 3,2 hingga 3,8 (Dent, 1986). Meningkatnya kandungan silika dan Al3+ terlarut mempengaruhi karakteristik tanah dan air tanah. Aktivitas Al3+ terlarut berkorelasi secara langsung dengan pH, bila pH meningkat maka aluminium akan mengendap sebagai hidroksida atau basic sulfate (van Breemen, 1973).
Ion hidrogen (proton) yang dihasilkan dari oksidasi pirit menyebabkan kondisi tanah yang sangat masam. pH yang sangat rendah menyebabkan penghancuran kisi-kisi mineral liat sehingga silikat dan Al3+ terlepas. Di lapangan, nilai pH tanah sulfat masam berkisar antara 3,2 hingga 3,8 (Dent, 1986). Meningkatnya kandungan silika dan Al3+ terlarut mempengaruhi karakteristik tanah dan air tanah. Aktivitas Al3+ terlarut berkorelasi secara langsung dengan pH, bila pH meningkat maka aluminium akan mengendap sebagai hidroksida atau basic sulfate (van Breemen, 1973).
Beberapa unsur mikro seperti Ni dan Co ikut terakumulasi di
dalam sedimen karena mensubstitusi Fe dalam pirit atau unsur Cu, Zn, Pb yang
menggantikan sulfida (Deer et al., 1965 dalam van Breemen, 1993). Unsur-unsur
tersebut akan terlepas kembali saat pirit teroksidasi. Satawathananont (1986
dalam van Breemen, 1993) menunjukkan bahwa konsentrasi unsur Cu, Zn, Mo, Cd,
Pb, Ni, dan As terdapat dalam jumlah yang lebih tinggi pada tanah berpirit yang
aerasinya baik (pH 2,9) dibandingkan pada tanah sulfat masam yang sudah
berkembang (pH 3,9-4,5) dan tanah marin yang tidak masam (pH 4,9) di Bangkok.
Lebih lanjut ia mengamati tanah yang diinkubasi pada nilai potensial redoks dan
pH yang terkontrol dalam suasana masam yang oksidatif selama dua minggu, logam
berat yang larut air lebih tinggi pada tanah berpirit dibandingkan tanah
lanjut/tua.
Sulfat Masam Potensial
Data profil sulfat masam potensial (SMP) menunjukkan adanya
lapisan gambut permukaan yang tipis, sekitar 0-12/16 cm. Tekstur seluruh
lapisan tanah menunjukkan halus, yaitu tekstur tanah SMP dari Sumatera
mempunyai kandungan liat antara 40-75%, dengan debu 25-60%. Sementara kandungan
liat SMP dari Kalimantan, bervariasi antara 40-85%, dan debu 20-50%. Dengan
demikian, tekstur tanah lapisan atas termasuk liat berdebu, sedangkan lapisan
bawahnya liat berdebu atau liat.
Reaksi tanah di seluruh lapisan bervariasi dari masam ekstrim
(extremely acid) (pH 3,5 atau kurang) sampai sangat masam (very strongly acid)
(pH 4,5-4,8), dan cenderung makin masam di lapisan-Iapisan bawah. Reaksi tanah
lapisan atas rata-rata sangat masam sekali (pH 4,0-4,3), dan di lapisan bawah
masam ekstrim sampai sangat masam sekali (pH 3,5-3,8). Kandungan garam, dengan
data terbatas yang hanya berasal dari SMP Kalimantan, ditunjukkan oleh daya
hantar listrik yang bervariasi dari 7.000-21.000 dS/m, dengan rata-rata
termasuk sangat tinggi sekali (7.253-7.320 dS/m), baik di lapisan atas maupun
lapisan bawah.
Kandungan bahan organik, tidak termasuk lapisan gambut tipis
di permukaan tanah bervariasi sedang sampai sangat tinggi, baik pada SMP dari
Sumatera maupun SMP dari Kalimantan. Rata-rata kandungan bahan organik sangat
tinggi sampai sangat tinggi sekali (9,16-20,54%) di lapisan atas, dan sangat
tinggi (6,31-6,61%) di lapisan bawah. Kandungan N tinggi (0,59-0,70%) di
lapisan atas, dan menurun menjadi rendah sampai sedang (0,17-0,28%) di lapisan
bawah. Rasio C/N di seluruh lapisan tanah bervariasi dari tinggi sampai sangat
tinggi, dan cenderung meningkat di lapisan bawah. Rata-rata C/N tergolong
tinggi (16-24) di lapisan atas, dan sangat tinggi (30-31) di lapisan bawah.
Kandungan fosfat potensial (P2O5-HCI)
pada SMP dari Sumatera bervariasi dari rendah sampai sangat tinggi di lapisan
atas, dan menurun menjadi rendah sampai sedang di lapisan bawah. Rata-ratanya
tinggi (58 mg/100 g tanah) di lapisan atas, dan rendah (20 mg/100 g tanah) di
lapisan bawah. Sementara kandungan P2O5 di seluruh lapisan pada SMP dari Kalimantan,
bervariasi dari rendah sampai sangat tinggi. Oleh karena itu, rata-rata
kandungan P2O5 potensial di lapisan atas termasuk sangat tinggi (115 mg/100 g
tanah), dan di lapisan bawah sedang (33 mg/100 g tanah). Kandungan K2O
tergolong sedang (32-35 mg/100 g tanah) di lapisan atas, dan sedang sampai
tinggi (29-60 mg/100 g tanah) di lapisan bawah.
Kandungan fosfat tersedia (P2O5 Bray-I) tergolong sedang
sampai tinggi (17,7-32,3 ppm) di lapisan atas, dan sedang (15,2-17,0 ppm) di
lapisan bawah. Jumlah basa, baik di lapisan atas maupun lapisan bawah,
tergolong tinggi (18,0-28,3 cmol(+)/kg tanah). Basa dapat tukar yang
dominan di seluruh lapisan tanah adalah Mg dan Na masing-masing untuk Mg
termasuk sangat tinggi (10,89- 14,19 cmol(+)/kg tanah, pada SMP dari Sumatera,
dan termasuk tinggi (7,05-8,02 cmol(+)/kg tanah) pada SMP dari Kalimantan.
Kandungan Na tergolong sangat tinggi sampai sangat tinggi sekali, baik di
lapisan atas (2,34-6,01 cmol(+)/kg tanah) maupun di lapisan bawah (4,91-5,61
cmol(+)/kg tanah). Sebaliknya kandungan Ca-dapat tukar rendah sampai sedang,
baik di lapisan atas (5,11-7,84 cmol(+)/kg tanah), maupun lapisan bawah
(4,61-7,95 cmol(+)/kg tanah). Sementara kandungan K-dapat tukar, tergolong
sedang (0,43-0,64 cmol(+)/kg tanah) di seluruh lapisan. Kapasitar tukar kation
tanah, menunjukkan nilai tinggi sampai sangat tinggi (31,5-62,5 cmol(+)/kg
tanah) di lapisan atas, dan tinggi (28,9-32,7 cmol(+)/kg tanah) di lapisan
bawah karena pengaruh kandungan bahan organik yang sangat tinggi.
Kejenuhan basa tergolong rendah sampai sedang (35-49%) di
lapisan atas, dan sedang sampai sangat tinggi (55-84%) di lapisan bawah.
Kejenuhan AI di semua lapisan umumnya sangat bervariasi dari sangat rendah
sampai sangat tinggi, dan rata-ratanya rendah (32-35%) di lapisan atas, dan
rendah sampai sedang (30-47%) di lapisan bawah. Kandungan pirit (FeS2) sangat
rendah (0,44-1,12%) di lapisan atas, dan rendah (1,35-2,31%) di lapisan bawah.
Sulfat Masam Aktual
Data Sulfat Masam Aktual (SMA) yang tersedia, hanya berasal
dari lahan rawa di Kalimantan. Sementara data analisis yang berasal dari
Sumatera, tidak menyebutkan adanya SMA karena data relatif berumur tua,
1974-1978. Tanah mempunyai lapisan gambut permukaan yang tipis, sekitar 0-12
cm. Seluruh lapisan tanah memiliki tekstur halus, dengan kandungan fraksi liat
35-70%, dan debu 25-60%, sehingga tekstur tanah lapisan atas tergolong liat
berdebu, dan di lapisan bawah liat. Lapisan atas berreaksi sangat masam sekali
(pH 3,6), sementara lapisan bawah antara kedalaman 20-120 cm menunjukkan pH
antara 1,8-3,5, dengan pH rata-rata 2,8, sehingga tergolong ber-reaksi masam
ekstrim.
Kandungan bahan organik di seluruh lapisan bervariasi tinggi
sampai sangat tinggi, sehingga rata-ratanya tergolong sangat tinggi
(7,51-10,93%). Kandungan N rata-rata tergolong sedang (0,22-0,49%) di seluruh
lapisan, dan cenderung menurun di lapisan-Iapisan bawah. Rasio C/N bervariasi
dari tinggi sampai sangat tinggi, dan bertambah besar di lapisan bawah. Karena
itu rasio C/N rata-rata tergolong tinggi (25) di lapisan atas, dan sangat
tinggi (39) di lapisan bawah.
Kandungan fosfat potensial (P2O5-HCI 25%) di lapisan atas
bervariasi dari rendah sampai sangat tinggi, dan rata-ratanya termasuk tinggi
(45 mg/100 g tanah). Kandungan P2O5 lapisan bawah, sebagian besar sangat rendah
sampai sedang, sehingga rata-ratanya rendah (17 mg/100 g tanah). Sebaliknya
kandungan K2O potensial (HCl 25%), sebagian besar tinggi sampai sangat tinggi
di semua lapisan, sehingga rata-ratanya tergolong sangat tinggi (73-81 mg/100 g
tanah).
Jumlah basa-basa di semua lapisan sampai sedalam 180 cm
sangat bervariasi dari rendah sampai sangat tinggi sekali, dan cenderung
menurun di lapisan bawah. Karena itu, rata-rata jumlah basa, baik di lapisan
atas maupun lapisan bawah tergolong tinggi (21,9-29,1 cmol(+)/kg tanah).
Seperti pada tipe- tipe lahan sebelumnya, basa dapatttukar yang dominan di
seluruh lapisan adalah Mg dan Na. Mg terdapat dalam jumlah tinggi sampai sangat
tinggi sekali, dan rata-ratanya sangat tinggi (8,30-9,25 cmol(+)/kg tanah) di
semua tapisan. Demikian juga Na terdapat dalam jumlah tinggi sampai sangat
tinggi sekali di seluruh lapisan, sehingga rata-ratanya termasuk sangat tinggi
sekali (9,70-14,87 cmol(+)/kg tanah). Sebaliknya kandungan Ca-dapat tukar
umumnya bervariasi dari sangat rendah sampai sedang, dan rata-ratanya tergolong
rendah (3,49-4,12 cmol(+)/kg tanah) di lapisan atas dan lapisan bawah.
Sedangkan K-dapat tukar tergolong tinggi (0,89 cmol(+)/kg tanah) di lapisan
atas, dan rendah (0,37 cmol(+)/kg tanah) di lapisan bawah. Kapasitas tukar
kation tanah bervariasi dari tinggi sampai sangat tinggi, dan rata-ratanya
tergolong tinggi (33,5-37,2 cmol(+)/kg tanah) di seluruh lapisan karena
kontribusi dari bahan organik.
PENGELOLAAN KESUBURAN PADA TANAH
SULFAT MASAM
Pengelolaan
Bahan Organik
Penyiapan lahan secara konvensional oleh petani petani
tradisional dengan sistem tajak-puntal-hambur sebagaimana
dkemukakan di atas merupakan kearifan lokal (indigenous knowledge) dalam
pengelolaan bahan organik yang patut dikembangkan. Proses pengomposan praktis
diserahkan kepada kebesaran alam dengan memanfaatkan mikroorganisme perombak
anaerob. Hasil analisis kompos dari purun (Eleocharis sp.),
bura-bura (Panicum repens), kerisan (Rhynchospora corymbosa)
menunjukkan mengandung rata-rata 31,74 % organik karbon, 1,96 % N, 0,68 % P,
dan 0,64 % K (Balittra, 2001).
Kadar bahan organik tanah di sulfat masam perlu
dipertahankan pada taraf 5 %, terutama pada tipe luapan c untuk mempertahankan
kebasahan tanah dan potensial redoks. Pada lahan sulfat masam yang lapisan
atasnya berupa gambut atau lahan-lahan gambut yang dibawahnya terdapat lapisan
pirit keberadaan lapisan piritnya perlu dipertahankan setebal antara 15-25 cm
(Noor, 2001). Lahan-lahan gambut yang mempunyai lapisan pirit di bawahnya
(seperti jenis tanah Sulfihemist, dan Sulfohemist)
merupakan lahan yang sangat berbahaya dan beresiko serta sukar penulihan
kembali apabila terdegradasi bila dibandingkan jenis lahan sulfat masam
seperti Sulfaquent. Produktivitas dan kesuburan tanah rawa pasang
surut berkaitan erat dengan ketebalan lapisan gambut atau kadar bahan organik
tanah (Notohadiprawiro, 1998b).
Teknologi Ameliorasi dan
Pemupukan pada Lahan Sulfat Masam
Ameliorasi
tanah sulfat masam untuk memperbaiki sifat kimia dan fisik tanah harus
dilakukan terlebih dahulu sebelum pemupukan dilaksanakan. Pemupukan tanpa
perbaikan tanah tidak akan efisien bahkan tidak respon. Produktivitas tanah
sulfat masam biasanya rendah, disebabkan oleh tingginya kemasaman (pH rendah),
kelarutan Fe, Al, dan Mn serta rendahnya ketersediaan unsur hara terutama P dan
K dan kejenuhan basa yang dapat mengganggu pertumbuhan tanaman (Dent, 1986).
Oleh karena itu tanah seperti ini memerlukan bahan pembenah tanah (amelioran)
untuk memperbaiki kesuburan tanahnya sehingga produktivitas lahannya meningkat.
Bahan amelioran yang dapat digunakan adalah kaptan dan Rock Phosphate.
Kaptan digunakan untuk meningkatkan pH tanah sedangkanRock Phosphate untuk
memenuhi kebutuhan hara P-nya.
Beberapa
faktor yang perlu dipertimbangkan dalam menetapkan kebutuhan kapur menurut (Mc
Lean, 1982, dalam Al-Jabri, 2002) adalah 1) derajat pelapukan
dari tipe bahan induk, 2) kandungan liat, 3) kandungan bahan organik, 4) bentuk
kemasaman, 5) pH tanah awal, 6) penggunaan metode kebutuhan kapur, dan 7)
waktu. Penetapan kebutuhan kapur untuk tanah sulfat masam dapat dilakukan
melalui beberapa metode, yaitu : 1) kebutuhan kapur berdasarkan metode
inkubasi, 2) metode titrasi, dan 3) berdasarkan Al-dd. Penetapan kebutuhan
kapur dengan metode inkubasi dilakukan dengan mencampurkan kapur dan tanah
serta air dalam beberapa dosis kapur selama beberapa waktu tertentu, biasanya
dari satu minggu sampai beberapa minggu. Lalu kebutuhan kapur ditentukan pada nilai pH tertentu.
Menurut Mc. Lean (1982 dalam Al-Jabri 2002), kelemahan metode
ini adalah terjadinya akumulasi garam (Ca, Mg, dan K) sehubungan dengan
aktivitas mikroba sehingga takaran kapurnya lebih tinggi. Penetapan kebutuhan
kapur berdasarkan metode titrasi dengan NaOH 0,05 N untuk mencapai pH tertentu
lebih rendah jika dibandingkan dengan metode inkubasi dan Al-dd KCl 1 N, tetapi
cara ini lambat tidak sesuai untuk analisis rutin (Al-Jabri, 2002). Walaupun
kebutuhan kapur dengan metode titrasi lebih rendah, tetapi sebagian besar dari
kemasaman tanah tidak dinetralisir oleh basa. Hal ini disebabkan reaksi antara
kation-kation asam yang dapat dititrasi berlangsung sangat lambat. Penetapan
kebutuhan kapur berdasarkan Al-dd KCl 1,0 N banyak dipertanyakan, sebab tingkat
keracunan Al bervariasi dengan tanaman dan tanah. Karena tingkat keracunan
untuk suatu jenis tanaman mempunyai variasi lebar dalam tanah yang berbeda maka
Al-dd tidak digunakan sebagai parameter yang menentukan keracunan tetapi
persentase kejenuhannya.
Hasil
penelitian di rumah kaca dan lapangan ternyata pemberian dosis kapur
berdasarkan titrasi dan inkubasi dapat diaplikasikan pada tanah sulfat masam
potensial bergambut di Lamunti ex. PLG Kalimantan Tengah (Suriadikarta dan
Sjamsidi, 2001), tanah sulfat masam umumnya ketersediaan hara P dan K rendah
namun bila bahan organiknya tinggi maka P dan K biasanya
tinggi pula. Pada tanah sulfat masam aktual kadar P dan K dalam tanah sangat rendah sehingga pemupukan P dan K sangat diperlukan. Pemupukan P diberikan 100 kg TSP/ha atau 125 kg SP-36/ha yang setara dengan 200 kg RP/ha (Hartatik, 1999 dan Supardi et al., 2000).Rock Phosphate yang baik mutunya untuk tanah ini adalah Rock Phosphate Maroko Ground karena mempunyai kandungan Ca yang tinggi yaitu 27,65% dan kadar P2O5 total 28,8% (Suriadikarta dan Sjamsidi, 2001). Hasil penelitian di lahan rawa menunjukkan pupuk kalium cukup diberikan 100 kg KCl/ha untuk tanaman padi sawah.
tinggi pula. Pada tanah sulfat masam aktual kadar P dan K dalam tanah sangat rendah sehingga pemupukan P dan K sangat diperlukan. Pemupukan P diberikan 100 kg TSP/ha atau 125 kg SP-36/ha yang setara dengan 200 kg RP/ha (Hartatik, 1999 dan Supardi et al., 2000).Rock Phosphate yang baik mutunya untuk tanah ini adalah Rock Phosphate Maroko Ground karena mempunyai kandungan Ca yang tinggi yaitu 27,65% dan kadar P2O5 total 28,8% (Suriadikarta dan Sjamsidi, 2001). Hasil penelitian di lahan rawa menunjukkan pupuk kalium cukup diberikan 100 kg KCl/ha untuk tanaman padi sawah.
Tanah
sulfat masam di Pulau Petak sangat respon terhadap pemupukan P baik yang
berasal dari TSP maupun dari Rock Phosphate. Hasil penelitian
Manuelpillei et al. (1986) di kebun percobaan Unitatas BARIF
pemberian 135 kg P2O5/ha, 1.000 kg kaptan/ha, 50 kg K2O/ha, dan 120 kg N/ha
dapat meningkatkan hasil tanaman padi menjadi 2,45 t/ha GKG terjadi delapan
kali lipat peningkatan bila dibandingkan dengan kontrol (tanpa P dan Kaptan).
Pemberian 90 kg P2O5/ha dan kaptan 500 kg/ha menghasilkan 2,21 t/ha GKG, hasil
ini tidak berbeda nyata dengan pemberian 135 kg P2O5/ha dan kaptan 1.000 kg/ha.
Pemberian Rock
Phosphate pada tanah sulfat masam juga menunjukkan tidak ada perbedaan
yang nyata dengan penggunaan TSP, hal ini disebabkan terjadinya proses
penyanggaanRock Phophate dalam media yang sangat masam,
menghasilkan bentuk P yang meta-stabil seperti Dicalsium phophate yang tersedia
untuk tanaman. Subiksa et al. (1999), menunjukkan pemberian
dolomit 2 t/ha dan SP-36 200-300 kg/ha dapat menghasilkan rata-rata 4,0 t/ha
GKG pada tanah sulfat masam potensial di Kecamatan Telang, Kabupaten Muba,
Sumatera Selatan.
Dalam
penelitian pada tanah sulfat masam potensial di Tabung Anen Kalimantan Selatan
pemberian pupuk P + kalium + bahan organik dan kapur masing-masing sebesar 43
kg P/ha, 52 kg K/ha, kapur 1 t/ha dan pupuk kandang 5 t/ha memberikan hasil
3,24 t/ha GKG, pemberian kapur didasarkan kepada metode inkubasi untuk mencapai
pH 5 (Hartatik et al.,1999). Sedangkan pemupukan P berdasarkan
kepada kebutuhan P untuk mencapai 0,02 ppm P dalam larutan tanah. Di Belawang
kebutuhan kapurnya lebih tinggi yaitu sebesar 4 t/ha, respon pemupukan P dan K
tertinggi dicapai pada perlakuan P optimum (100 kg P/ha), K 78 kg/ha, dan 4 t
kapur/ha. Hasil itu dapat dipahami karena tanah sulfat masam aktual di Belawang
piritnya telah mengalami oksidasi sehingga Al-dd tinggi dan P tersedia rendah.
Hasil penelitian pemupukan P dan kapur pada tanah sulfat masam pada beberapa
lokasi penelitian disajikan pada Tabel 4.3. P-alam yang telah dicoba untuk
tanah sulfat masam dan memberikan hasil yang sama baiknya adalah P-alam
Tunisia, Ciamis, Christmas, dan Aljazair.
Di
Lamunti, ex PLG Kalimantan Tengah P-alam setara dengan 150 kg P2O5/ha rata-rata
dapat memberikan hasil 4,5 t/ha GKG, tetapi kalau diberikan 75 kg P2O5/ha hasil
yang diperoleh hanya 3,79 t/ha GKG, sedangkan di Palingkau Kalimantan Tengah
dengan dosis yang sama dapat memberikan masing-masing 3,7 t/ha dan 3,4 t/ha GKG
(Supardi et al., 2000).Pemupukan
P-alam hingga 60% erapan maksimum P dalam tanah sulfat masam Sumber Agung dan
Sumber Rejo di Pulau Rimau, Sumatera Selatan dapat meningkatkan kadar P
tersedia, namun belum dapat menurunkan kadar unsur beracun Fe2+, Fe-Al oksida,
dan amorf serta sulfat dalam tanah. Unsur beracun diatas ditemukan dalam jumlah
yang lebih tinggi pada tanah sulfat masam potensial yang baru teroksidasi
dibandingkan tanah sulfat masam aktual (Setyorini, 2001). Oleh karena itu
diperlukan kehati-hatian dalam mereklamasi atau melakukan pencucian/drainase di
tanah sulfat masam potensial, apalagi jika kandungan liat tinggi. Lebih lanjut
ia menyatakan bahwa erapan P maksimum pada tanah sulfat masam aktual mencapai
2,000 µg P/g sedangkan pada sulfat masam potensial sedikit lebih rendah yaitu
sekitar 1,666 µg P/g. Nilai erapan maksimum yang tinggi pada sulfat masam
aktual dari pada sulfat masam potensial diakibatkan perbedaan kadar dan jenis
liat, kadar pirit, pH, Al dan Fe, serta bahan organik. Ditinjau dari distribusi
bentuk P-anorganik pada tanah sulfat masam diatas, terlihat bahwa fraksi Fe-P
dan Al-P mendominasi jumlah P anorganik pada tanah sulfat masam potensial
sedangkan fraksi Al-P dan Ca-P dominan pada sulfat masam aktual. Faktor-faktor
yang mempengaruhi ketersediaan P pada tanah sulfat masam antara lain pH, Alo,
Feo, Ald, Fed, dan pirit. Tingginya kadar Fe dan Al bentuk amorf pada tanah
sulfat masam mempengaruhi distribusi fraksi Panorganik (Setyorini, 2001).
Dari
hasil penelitian Konsten dan Sarwani (1990), di Pulau Petak Kalimantan Selatan,
diperoleh bahwa oksidasi pirit setelah reklamasi membuat tanah di daerah
tersebut sangat masam, dijenuhi oleh Al dan mempunyai pH antara 3 dan 4. Adanya
garam-garam besi bebas dan Al menyebabkan keracunan tanaman dan defisiensi K
dan Ca sangat sering terjadi. Kemasaman tanah aktual dari tanah sulfat masam di
Pulau Petak diduga dengan titrasi cepat pada pH 5,5, jumlah Al-dd sampai 60
mmol/g. Kemasaman tanah aktual untuk tanah pH kurang dari 4 adalah 20 mmol/100
g yang setara dengan keperluan kapur 15 t/ha. Potensi kemasaman sangat tinggi
dengan kandungan pirit mencapai 8%.
Selanjutnya
Konsten dan Sarwani (1990) mengemukakan bahwa untuk mengatasi kemasaman aktual
yang tinggi dapat dilakukan dengan drainase dangkal, pencucian intensif tanah
lapisan atas, yang dikombinasikan dengan pemberian kapur dan pupuk kalium.
Pengelolaan Tanah dan
Air
Pengelolaan
tanah dan air (soil and water management) merupakan kunci utama untuk
keberhasilan pengembangan pertanian di lahan rawa pasang surut, termasuk tanah
sulfat masam. Pengelolaan tanah dan air ini meliputi jaringan tata air makro
maupun mikro, penataan lahan, ameliorasi, dan pemupukan.
Jaringan Tata Air Makro
Pengembangan
lahan rawa meliputi kegiatan reklamasi dan pengelolaan. Kegiatan reklamasi
dimulai dari perencanaan, penelitian dan pelaksanaan di lapangan. Penelitian
yang mendukung perencanaan reklamasi sangat diperlukan terutama penelitian
sumberdaya lahan meliputi tanah, air, iklim, dan hidrologi serta aspek
lingkungan. Dalam pelaksanaannya reklamasi mencakup pekerjaan penebangan hutan
dan pembakaran, konstruksi jalan, dan pembuatan saluran drainase (Widjaja-Adhi,
1995).
Sistem
reklamasi lahan rawa di Indonesia telah dilakukan sejak proyek P4S yang dimulai
awal Pelita I di lahan rawa pasang surut pantai timur Sumatera, Kalimantan
Tengah, dan Kalimantan Selatan serta Kalimantan Barat. Menurut Subagjo dan
Widjaja-Adhi (1998) selama PJP I telah ditetapkan lima sistem jaringan tata air
makro, yaitu: 1) sistem garpu, 2) tangga, 3) sisir tunggal, 4) sisir
berpasangan, dan 5) kombinasi garpu dengan sisir.
Selain
kelima sistem tersebut UGM telah mengkombinasikan dengan pembuatan kolam pada
ujung saluran primer atau sekunder (Gambar 1) yang disebut dengan sistem kolam.
Keuntungan dari sistem kolam ini adalah asamasam atau racun dapat diendapkan
dalam kolam tersebut tidak masuk ke dalam lahan pertanian dan memelihara aliran
sewaktu air surut. Sistem kolam ini telah dilaksanakan di Pulau Petak dan
Barabai Kalimantan Selatan.
Sistem
jaringan tata air tersebut sebenarnya tidak berlaku umum tetapi tergantung
kepada tipologi lahan dan tipe luapan di daerah itu. Sistem jaringan tata air
selain dibedakan menurut bentuknya dapat pula dibedakan menurut hubungan tata
air, yaitu sistem terbuka dan sistem tertutup. Sistem reklamasi jaringan
tertutup adalah cara pembukaan lahan yang jaringan tata airnya tidak
berhubungan satu sama lain (zonasi). Sistem ini seperti yang dilakukan
oleh petani Suku Banjar di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah dan Suku
Bugis di Pulau Sumatera. Pada sistem tertutup ini pembuatan saluran atau handil
sangat hati-hati dengan memperhatikan karakteristik tanah dan tipe luapan air
sungai. Handil itu dibuat tegak lurus sungai ke arah hutan mengikuti garis
kontur sehingga handil itu tidak selalu lurus dan panjangnya tergantung air
pasang masuk (4-10 km). Cara reklamasi seperti ini umumnya berhasil dalam
meningkatkan produktivitas lahan rawa, terutama padi, palawija, dan tanaman buah-buahan.
Berdasarkan
hasil penelitian Badan Litbang Pertanian bahwa lahan pasang surut memiliki
prospek yang besar untuk dikembangkan menjadi lahan pertanian terutama dalam
kaitannya dalam mendukung program ketahanan pangan dan agribisnis melalui
peningkatan dan diversifikasi produksi, peningkatan pendapatan dan lapangan
kerja. Namun untuk mendukung kearah pengembangan pertanian yang berhasil dan
berkesinambungan dilahan pasang surut ada dua hal penting yang harus
diperhatikan dalam reklamasi lahan, yaitu pemanfaatan jaringan tata air berikut
salurannya dan tata ruang untuk penataan lahannya (Widjaja-Adhi dan Alihamsyah,
1998).
Selanjutnya
dalam pembuatan saluran baik primer, sekunder dan tersier perlu memperhatikan
tata letak, dimensi dan cara pembuatan salurannya disesuaikan dengan fisiografi
dan kondisi lahan sehingga menunjang kelestarian dan produktivitas lahan.
Pembuatan saluran harus mengikuti atau memperhatikan garis kontur dan tipologi
lahannya. Saluran dengan mempertimbangkan garis kontur maka aliran air dapat
mengalir dengan baik, tinggi air di saluran rata.
Hal
ini akan sangat berpengaruh dalam proses pencucian bahan-bahan beracun dari
lahan ke saluran dan seterusnya ke sungai berjalan lancar. Dimensi dan
kedalaman saluran perlu dipertimbangkan sehubungan dengan keadaan hidrologi di
daerah tersebut, sebab penurunan muka air yang drastis akan mengakibatkan
teroksidasi lapisan pirit, besi, Al, dan sulfat akan muncul ke permukaan dan
dengan adanya air hujan akan meningkatkan kemasaman (pH) air di saluran.
Selain
itu penurunan permukaan air yang drastis juga akan menyebabkan gambut kering
tak balik (irrevisible drying) sehingga akan mempercepat penurunan
permukaan gambut (subsidence) dan atau cepat hilangnya lapisan gambut.
Pembuatan tata ruang sebelum saluran dibuat perlu memperhatikan dan
mempertimbangkan pola penggunaan lahan hipotetik yang dikemukakan oleh
Widjaja-Adhi, (1992). Menurut Harjono, (1995) sedikitnya terbuka lima peluang
fungsi dari jaringan pengairan rawa, yaitu 1) berfungsi sebagai saluran
drainase, 2) sebagai pemasukan air, 3) sebagai alat trasportasi, 4) berfungsi
sebagai konservasi sumberdaya air rawa, dan 5) sebagai pendukung bagi proses
reklamasi.
Untuk
mencapai jaringan tata air ini hendaknya berpegang kepada pola penggunaan lahan
dan pola pemanfaatan sekaligus diharapkan dapat berfungsi sebagai saluran
drainase, pemasok air, mendukung proses reklamasi, dan konservasi sumber air.
Fungsi jaringan tata air sebagai alat transportasi perlu dipertimbangkan pada
tahapan mana ini dapat diberlakukan. Pada tahap saluran primer dan sekunder
mungkin fungsi ini dapat diberlakukan, tetapi untuk tersier sebaiknya tidak
dianjurkan. Pembuatan pintu air pada saluran primer atau sekunder seperti
dilahan ex-PLG sangat tidak efisien karena mengganggu fungsi transportasi
masyarakat sekitar sehingga akhirnya dijebol, pengaturan pintu air sebaiknya
mulai dilakukan di tingkat tersier ke bawah.
Dalam
rancangan infrastruktur hidrologi, pengelolaan air di lahan pasang surut
dibedakan ke dalam : (1) Pengelolaan air makro, (2) pengelolaan air mikro, dan
(3) pengelolaan air tingkat tersier yaitu mengkaitkan antara pengelolaan air
makro dan pengelolaan air mikro (Widjaja-Adhi dan Alihamsyah, 1998).
Pengelolaan air makro yaitu penguasaan air di tingkat kawasan reklamasi yang
bertujuan mengelola berfungsinya jaringan drainase/irigasi
(navigasi-sekundertersier), kawasan retarder dan sepadan
sungai/laut dan saluran intersepsi bila diperlukan serta kawasan tampung hujan.
Kawasan retarder dimaksudkan
untuk mengurangi terjadinya banjir di daerah hulu sungai termasuk mengurangi
kedalaman dan lama genangan air dilahan lebak dangkal dan tengahan. Dalam hal
ini, seyogyanya lebak dalam dapat dimanfaatkan sebagai kawasan retarder dengan
jalan diperdalam dan alirannya diarahkan ke sungai di bagian hilirnya.
Saluran
itersepsi dimaksudkan untuk menampung aliran permukaan dan sebagai tempat
memproses air yang mengandung bahan beracun agar tidak memasuki areal
pertanian. Saluran ini dibuat di daerah perbatasan lahan kering dan rawa menyerupai
waduk panjang serta diarahkan untuk menyalurkan kelebihan air ke sungai di
bagian hilirnya.
Kawasan
tampung hujan dimaksudkan sebagai daerah sumber air untuk irigasi. Kawasan
tampung hujan sebaiknya dialokasikan pada lahan gambut di bagian hulu sungai
karena gambut memiliki daya menahan dan melepas air tinggi, yaitu antara
300-800% bobotnya.
Tata Air Mikro
Sistem
pengelolaan tata air mikro berfungsi untuk : (1) mencukupi kebutuhan
evapotranspirasi tanaman, (2) mencegah pertumbuhan tanaman liar pada padi
sawah, (3) mencegah terjadinya bahan beracun bagi tanaman melalui
penggelontoran dan pencucian, (4) mengatur tinggi muka air, dan (5) menjaga
kualitas air di petakan lahan dan di saluran. Untuk lebih memperlancar keluar
masuknya air pada petakan lahan yang sekaligus memperlancar pencucian bahan
racun, Widjaja-Adhi (1995) menganjurkan pembuatan saluran cacing pada petakan
lahan dan di sekeliling petakan lahan. Oleh karena itu, sistem pengelolaan tata
air mikro mencakup pengaturan dan pengelolaan tata air di saluran kuarter dan
petakan lahan yang sesuai dengan kebutuhan tanaman dan sekaligus memperlancar
pencucian bahan beracun.
Hasil
penelitian Suriadikarta et al. (1999), saluran kuarter
biasanya dibuat di setiap batas pemilikan lahan, sedangkan di dalam petakan
lahan dibuat saluran cacing dengan interval 3-12 m dan di sekeliling petakan
lahan tergantung pada kondisi lahannya. Semakin tinggi tingkat keracunan,
semakin rapat pula jarak antar saluran cacing tersebut. Hasil penelitian
Subagyono et al. (1999) pencucian bahan beracun dari petakan
lahan dilakukan dengan memasukkan air ke petakan lahan sebelum tanah dibajak,
kemudian air tersebut dikeluarkan setelah pengolahan tanah selesai. Usaha
pencucian ini akan berjalan baik apabila terdapat cukup air segar, baik dari
hujan maupun dari air pasang. Oleh karena itu, air di petakan lahan perlu
diganti setiap dua minggu pada saat pasang besar.
Pengelolaan
air tingkat tersier ditujukan untuk mengatur saluran tersier agar berfungsi:
(1) memasukkan air irigasi, (2) mengatur tinggi muka air di saluran dan secara
tidak langsung di petakan lahan, dan (3) mengatur kualitas air dengan membuang
bahan beracun yang terbentuk di petakan lahan serta mencegah masuknya air asin
ke petakan lahan. Sistem pengelolaan air di tingkat tersier dan mikro
tergantung kepada tipe luapan air pasang dan keracunan di petakan lahan.
Penataan
air di lahan petani dapat dilakukan dengan sistem aliran satu arah (one-way
flow system) dan sistem aliran yang sifatnya bolak-balik (twoway flow
system). Hal yang perlu mendapat perhatian khusus dalam sistem tata air
adalah sinkronisasi antara tata air makro dan mikro (Subagyono et al.,
1999). Misalnya, penerapan aliran sistem satu arah untuk pencucian hanya akan
berjalan efektif jika kondisi saluran tersier, sekunder, dan primer semuanya
dalam kondisi baik dan arah aliran tidak bolak-balik.
Pada
sistem aliran satu arah dirancang saluran irigasi dan saluran drainase secara
terpisah. Pintu klep (flapgate) dipasang berlawanan arah. Pada saluran
irigasi pintu klep membuka ke arah dalam sedang pada saluran drainase pintu
klep membuka ke arah luar, sehingga pencucian lahan dapat berlangsung dengan
efektif. Pencucian lahan dimaksudkan agar unsur yang bersifat racun bagi
tanaman seperti Fe2+, sulfat, dan Al3+ keluar dari
lahan usaha dan pH tanah menjadi lebih baik.
Tata
air pada lahan yang bertipe luapan A dan B perlu diatur dalam sistem aliran
satu arah (one way flow system), sedangkan untuk lahan bertipe luapan C
dan D, saluran air perlu ditabat/disekat dengan stoplog untuk
menjaga permukaan air tanah agar sesuai dengan kebutuhan tanaman serta
memungkinkan air hujan tertampung dalam saluran tersebut. Untuk keperluan
pengaturan tata air ini perlu dibangun pintu-pintu yang sesuai sebagai
pengendali air. Pintu air tersebut dapat berupa stoplog maupun
pintu ayun atau pintu engsel (flapgate).
Hasil
penelitian pengelolaan tata air mikro dengan cara tersebut pada lahan sulfat
masam dengan berbagai sistem penataan lahan di Karang Agung Ulu oleh
Djayusman et al. (1995) menunjukkan adanya peningkatan kualitas
lahan dan hasil tanaman dari musim ke musim. Aliran satu arah dikombinasikan
dengan pengolahan tanah memakai traktor tangan dan pemberian dolomit pada lahan
sulfat masam dalam satu unit tata air saluran sekunder (50 ha) oleh Proyek ISDP
(1997), dapat secara cepat meningkatkan kualitas lahan dan memberikan hasil
yang baik bagi tanaman padi dan palawija. Nilai pH air tanah meningkat dari
rata-rata 4,2 pada saat sebelum pengolahan tanah menjadi rata-rata 4,8 pada
saat penanaman dan 5,4 pada pada saat panen (Widjaja-Adhi dan Alihamsyah,
1998). Sedangkan kandungan Fe++ 160 ppm pada saat tanam dan 72
ppm pada saat panen. Hasil rata-rata ubinan padi varietas Cisadane mencapai
6,26 t/ha GKP sedangkan varietas Cisangarung dapat mencapai 9,44 t/ha GKP.
Penataan Lahan
Penataan
lahan perlu dilakukan untuk membuat lahan tersebut sesuai dengan kebutuhan
tanaman yang akan dikembangkan. Dalam melakukan penataan lahan perlu
diperhatikan hubungan antara tipologi lahan, tipe luapan, dan pola
pemanfaatannya seperti pada tipologi sulfat masam potensial dengan tipe luapan
A, maka penataan lahan sebaiknya untuk sawah, karena pirit akan lebih stabil
tidak mengalami oksidasi dan tanaman padi dapat tumbuh dengan baik. Tetapi bila
tipe luapan B, maka pola pemanfaatan lahan dapat dilaksanakan dengan sistem
surjan.
Sistem
surjan dapat digunakan untuk tanaman padi, palawija, sayuran atau buah-buahan.
Untuk tanah sulfat masam potensial pengolahan tanah dan pembuatan guludan
sebaiknya dilakukan secara hati-hati dan bertahap. Guludan dibuat secara
bertahap dan tanahnya diambil dari lapisan atas. Hal ini dilakukan untuk
menghindari oksidasi pirit. Sistem surjan adalah salah satu contoh usaha penataan
lahan untuk melakukan diversifikasi tanaman dilahan rawa. Lebar guludan 3-5 m,
dan tinggi 0,5-0,6 m, sedangkan tabukan dibuat dengan lebar 15 m. Setiap ha
lahan dapat dibuat 6-10 guludan, dan 5-9 tabukan. Tabukan surjan ditanami padi
sawah, sedangkan guludan ditanami dengan palawija, sayuran, dan tanaman industri
(kencur, kopi, dan kelapa). Dari
Tabel diatas ditunjukkan bagaimana pola pemanfaatan lahan dalam kaitannya
tipologi lahan dan tipe luapan. Sistem
surjan baik dilakukan pada tipe luapan B dan C sedangkan tipe luapan D lebih
baik untuk sistem pertanian lahan kering. Untuk tanah gambut tekstur lapisan
tanah dibawahnya sangat menentukan dalam pola pemanfaatan lahannya.
KESIMPULAN
1.
Lahan sulfat masam adalah lahan yang mempunyai kendala pH
yang masam, mempunyai kandungan pirit, dan kandungan hara yang rendah, namun
sifat fisiknya cukup baik, oleh karena itu lahan tersebut berpotensi untuk
dikembangkan sebagai lahan pertanian.
2.
Tanaman yang dapat dikembangkan pada lahan ini adalah tanaman
padi sawah, palawija, sayuran, perkebunan, dan tanaman kehutanan.
3.
Dalam pelaksanaan penggunaan lahan untuk pertanian perlu
mempertimbangkan dua hal yang penting, yaitu letak kedalaman pirit dan tipe
luapan air pasang surut.
4.
Kedua faktor itu merupakan penentu di dalam menerapkan
teknologi penataan lahan dan tata air, serta pemilihan komoditas yang
dikembangkan. Selanjutnya dalam peningkatan produktivitas lahan perlu didukung
teknologi ameliorasi dan pemupukan sesuai dengan komoditasnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdurachman, A., A. Bambang, K.
Sudarman, dan D.A. Suriadikarta. 2000. Perspektif pengembangan lahan rawa untuk
pertanian di Indonesia. Prosiding Temu Pakar dan Lokakarya Nasional Diseminasi
dan Optimasi Pemanfaatan Sumber Daya Lahan Rawa, Jakarta, 23-26 November 1999.
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor. Hal. 33-54.
Al-Jabri, M. 2002. Penentapan
Kebutuhan Kapur dan Pupuk Fosfat untuk Tanaman Padi (Oryza sativa L.) pada
Tanah Sulfat Masam Aktual Belawang, Kalimantan Selatan. Disertasi. Program
Pascasarjana. Universitas Padjadjaran Bandung.
Arkesteyn GJMW. 1980. Contribution
of microorganisms to the oxidation of pyrite. WAU disertation no. 791.
http://agralin.nl/wda/abstracts/ab791.htm. [10 September 2012].
Arulando, X. dan Kam suan Pheng.
1982. Management of acis sulphate soils in the muda irrigation scheme, Kedal.
Paninsular Malaysia. Dalam: H. Dost dan V.N. Breemen Symp. On acid sulphate
soils. ILRI Publ. 31. Wageningen. The Netherlands. P. 195-213.
Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. 2003. Panduan ekspose Nasional Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut.
Barito Kuala, 30-31 Juli 2003.
Balittra. 2001. 40 Tahun Balittra
1961-2001: Perkembangan dan Program Penelitian ke Depan. Balai Penelitian
Tanaman pangan Lahan Rawa. Banjarbaru. 84 hlm.
Bloomfield, C. and J.K. Coulter.
1973. Genesis and management of Acid sulfate soils. Adv. Agron. 25:265-326.
Academic Press. Inc. New York.
Boss, M.G. 1990. Research on Acid
sulfate soils in humid tropics. Paper workshop on acid sulfate soils in humid
tropic. Bogor, 20-22 Nopember, 1990.
Brinkman, R. and V.P. Sing. 1982.
Rapid reclamation of fish pond in acid sulfate soils. In Proc. Int. Symp. Acid
Sulfate Soil. 318-330. Bangkok.
Dent, D. 1986. Acid Sulphate Soils
: a baseline for research and development. International Institute for Land
Reclamation and Improvement Publication No.39 Wageningen, the Netherland.
Dent D. 1986. Acid Sulphate Soils:
A baseline for research and development. Wageningen: ILRI Publ. 39.
Driessen, P.M. and M.
Soepraptohardjo. 1974. Soil for Agriculture Expansion in Indonesia. Bulletin 1.
Soil Research Institute Bogor.
Djayusman, M., S. Sastraatmaja,
I.G. Ismail, dan I P.G. Widjaja-Adhi. 1995. Penataan lahan dan pengelolaan air
untuk meningkatkan produktivitas tanah sulfat masam.
FAO-Unesco. 1974. Soil map of the
word. Vol I. Paris. 1974.
Hartatik, W., I B. Aribawa, dan
J.S. Adinigsih. 1999. Pengelolaan hara terpadu pada lahan sulfat masam. Dalam
Prosiding Seminar Nasional Sumberdaya Tanah, Iklim, dan Pupuk. Puslitbangtanak,
Indonesia. 6-8 Desember 1995. Bogor.
Jumberi, A., dan T. Alihamsyah.
2004. Reklamasi dan Agribisnis di lahan pasang surut, Balai Penelitian
Pertanian Lahan Rawa, Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Konsten, C.J.M. and M.
Sarwani. 1990. Actual and Potential acidity and related chemical characterities
of acid sulfate soil in Pulau Petak Kalimantan. Workshop on acid sulfate soil
in the Humid Tropics, 20-22 November, Bogor Indonesia.
Kasryno, F., H. Nataatmadja, E.
Pasandaran, E.A. Rasahan, dan C.G. Swensen. 1989. Development an integrated
farming system research in Indonesia. Workshop on FSC in Indonesia. Sukamandi.
13-16 August, 1989.
Mahmud, Z. 1990. Potensi dan
keragaan usahatani kelapa pasang surut Propinsi Riau. Laporan Bulanan Balitra,
Menado. 072/VIII/90.
Manuelpillai, R.G., M. Damanik, and
R.S. Simatupang. 1986. Site specipic soil characteristies and the amelioration
of a sulfic Tropaquepts (Acid sulfate) in Central Kalimantan. Symposium Lowland
Development in Indonesia. Jakarta, 24-31 August 1986.
Maas, A. Sutanto, R., dan Purwadi,
T. 2000. Pengaruh air laut terhadap laju oksidasi pirit dan tahana hara tanah
sulfat masam. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan, 2 (2), 41-45. Fakultas petanian
UGM. Yogyakarta.
Menteri Pertanian. 1999. Sambutan
Menteri Pertanian Republik Indonesia dalam Pembukaan Temu Pakar dan lokakarya
Nasional Desiminasi dan Optimasi Pemanfaatan Sumber Daya Lahan Rawa, Jakarta,
23-26 Nopember 1999.
Mills C. 2002. The role of
micro-organisms in acid rock drainage. http://www.environmine.com/ard/ /nele
of.htm. [21 Oktober 2012].
Noor, M. 1996. Padi Lahan Marjinal.
Penebar Swadaya. Jakarta. 213 hlm.
Noor, M. 2001. Pertanian lahan
Gambut: Potensi dan Kendala. Cetakan 1. Kanisius. Yogyakarta. 174 hlm.
Noor, M. 2004. Upaya Perbaikan
Produktivitas Tanah Sulfat Masam. Disertasi Doktor Fakultas Pertanian bidang
studi Ilmu Tanah pada Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Notohadiprawiro, T. 1998b. Prospek
pengembangan lahan basah Kalimantan Tengah untuk pertanaman pangan menurut
pandangan ketahanan pangan nasional. Dalam pros. Seminar nasional dan Pertemuan
Tahunan Komda Himp. II Tanah Indonesia. Buku I. Hlm 66-72.
Nugroho, K., Alkasuma, Paidi, W.
Wahdini, Abdulrachman, H. Subagjo, dan I P.G. Widjaja-Adhi. 1992. Peta Areal
Potensial untuk Pengembangan Pertanian Lahan Pasang Surut, Rawa dan Pantai.
Proyek Pendayagunaan Sumberdaya Lahan, Puslittanak.
Partohardjono, S. 1989. Pemantapan
Program Nasional Penelitian Sistem Usahatani. Pulsitbangtan. Makalah Latihan
Metodologi Penelitian Usahatani. Sukamandi, 6-26 Pebruari. 1989.
Prasetyo, H., J.A.M. Jansen, dan
Alkasuma. 1990. Landscape and soils genesis in Pulau Petak, Kalimantan.
Workshop on Acid sulfate soils in the Humid Tropics. 20-22 Nopember, 1990.
Bogor. Indonesia.
Proyek ISDP. 1997. Gelar Teknologi
Pertanian Lahan Pasang Surut Karang Agung Ulu, Sumatera Selatan.
Pulford ID, Backes CA, and Duncan HJ. 1988. Inhibition of Pyrite oxidation in coal mine waste. In Dost H. (ed). Selected Papers of the Dakkar Symposium on Acid Sulphate Soils; Dakar, January 1986. Wageningen : ILRI. Publ. 44. Hlm. 59-67.
Pulford ID, Backes CA, and Duncan HJ. 1988. Inhibition of Pyrite oxidation in coal mine waste. In Dost H. (ed). Selected Papers of the Dakkar Symposium on Acid Sulphate Soils; Dakar, January 1986. Wageningen : ILRI. Publ. 44. Hlm. 59-67.
Richard, D.T. 1973. Sedimentary Ion
Formation. Proc. Int. Symp. On Acid Sulfate Soil. Vol-I. ILRI. Wegeningen. The
Netherland.
Saida 2002. Isolasi, karakterisasi
dan uji aktivasi bakteri pereduksi sulfat dari ekosistem air hitam Kalimantan Tengah.
http://www.icbb.org/indonesia/ penelitian/penelitian12.htm. [12 November 2012]
Satsiyati, M. Januwati, dan H.
Supriadi. 1999. Teknik Budidaya dan PotensiUsahatani Sayuran Lahan Rawa di
Kalimanatan Tengah. Proseding Temu Pakar dan Lokakarya Nasional Desiminasi dan
Optimasi Pemanfaatan Sumberdaya Lahan Rawa, Jakarta 23-26 Nop. 1999. Hal 79-93.
Simatupang, R. S. 2006.
Pengembangan Eks-PLG Teknologi Olah Tanah Konservasi. Balai Penelitian
Pertanian Lahan Rawa. Dimuat dalam Tabloid Sinar Tani, 6 Desember 2006.
Soil Survey Staff. 1998. Keys to
Soil Taxonomy. Agency For International Development, USDA.
Subagjo, H. dan I P.G.
Widjaja-Adhi. 1998. Peluang dan kendala penggunaanlahan rawa untuk pengembangan
pertanian di Indonesia : kasus SumateraSelatan dan Kalimantan Tengah. Makalah
Utama Pertemuan Pembahasandan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat,
10 Pebruari 1998 di Bogor.
Subagyono, K., I W. Suastika, dan
E.E. Ananto. 1999 Penataan Lahan dan TataAir Mikro: Pengembangan SUP Lahan
Pasang Surut, Sumatera Selatan. Proyek Pengembangan Sistem Usaha Pertanian
(SUP) Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan. Badan Penelitian dan Pengembangan,
Departemen Pertanian.
Subiksa, I G.M., D.A. Suriadikarta,
dan I P.G. Widjaja-Adhi. 1990. Tata air dan jarak kemalir terhadap kimia tanah
dan hasil padi sawah pada tanah sulfic Tropaquents. Pro.Sem.Penel. Lahan Pasang
Surut dan Rawa. Swamps-II. Palembang. 29-31 Oktober 1990.
Subiksa, I G.M. dan I. Basa. 1990.
Kemajuan Penelitian Sistem Usahatani pada Lahan Sulfat Masam di Karang Agung
Ulu, Sumatera Selatan. Risalah Seminar Penlitian Proyek Swamps II. Bogor, 19-21
September 1990.
Suping, S., D.A. Suriadikarta, dan W. Hartatik. 2000. Prospek P alam sebagai pengganti SP 36 di lahan sulfat masam. Dalam Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Lahan Rawa. Cipayung 25-29 Juli 2000.
Suping, S., D.A. Suriadikarta, dan W. Hartatik. 2000. Prospek P alam sebagai pengganti SP 36 di lahan sulfat masam. Dalam Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Lahan Rawa. Cipayung 25-29 Juli 2000.
Suriadikarta, D.A. dan A.
Abdurachman. 1999. Penelitian Teknologi Reklamasi untuk Meningkatkan
Produktivitas tanah Sulfat Masam Potensial. Pro. Temu Pakar dan lokakarya
Nasional Diseminasi Optimasi Pemanfaatan Sumber Daya Lahan Rawa, Jakarta 23 –
26 Nopember 1999.
Suriadikarta, D.A., H. Supriadi, H.
Malian, Z. Desmiyati, Suwarno, M. Januwati, dan H.K. Anang. 1999. Kesiapan
Teknologi dan Kendala Pengembangan Usahatani Lahan Rawa. Dalam Prosiding Temu
Pakar dan Lokakarya Nasional Desiminasi dan Optimasi Pemanfaatan Sumber Daya
Lahan Rawa. Jakarta, 23-26 Nopember 1999.
Suriadikarta, D.A. dan G. Sjamsidi.
2001. Teknologi peningkatan produktivitas tanah sulfat masam. Laporan akhir.
Proyek Sumber Daya Lahan Tanah dan Iklim.
Sutanto, R., dan Purwadi, T. 2001.
Ameliorasi Tanah Sulfat Masam Potensial Untuk Budidaya Tanaman Pangan yang
Dikelola Dengan Sistem Mekanisasi. Lembaga Penelitian UGM. Yogyakarta.
Sutanto. 2001. Tantangan Global
Menghadapi Kerawanan Pangan dan Peranan Pengetahuan Tradisional. Dalam; Francis
Wahono (ed) Pangan, Kearifan Lokal dan Keanekaragaman Hayati. CPRC. Yogyakarta.
Hlm. 67-84.
Sutater, T., Satsiyati, A.H.
Permadi, dan D. Haryadi. 1990. Daya hasil tanah di lahan sulfat masam. Risalah
hasil penelitian. Proyek Swamps-II. Bogor 19-21 September 1989. Hal. 275-277.
Tim Peneliti Puslittanak. 1997.
Survei Tanah Tinjau Mendalam Daerah Kerja A, Propinsi Kalimantan Tengah. Pusat
Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian.
Van Breemen, N. 1976. Genesis and
solution chemisty of acid sulfate soils in Thailand. Center of Agricultural
Publishing and Documentation. Wegeningen, 1976. Ph.D. Dessertation.
Widjaja-Adhi, I P.G. 1986. Pengelolaan
lahan rawa pasang surut dan lebak.Jurnal Badan Litbang Pertanian V(1):1-9.
Widjaja-Adhi, I P.G., K. Nugroho,
D.A. Suriadikarta, dan A.S. Karama. 1992. Sumberdaya lahan rawa: Potensi,
keterbatasan dan pemanfaatan. Risalah. PERNAS Pengembangan Pertanian Di lahan
Rawa Pasang Surut Dan Lebak. Cisarua 3-4 Maret 1992 Badan Litbang Pertanian.
Widjaja-Adhi, I P.G. 1995a.
Pengelolaan tanah dan air dalam pengembangan sumberdaya lahan rawa untuk
usahatani berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Makalah disampaikan pada
Pelatihan Calon Pelatih untuk Pengembangan Pertanian di Daerah Pasang Surut,
26-30 Juni 1995, Karang Agung Ulu, Sumatera Selatan.
Widjaja-Adhi, I P.G. 1995b. Potensi
peluang dan kendala perluasan areal pertanian lahan rawa di Kalimantan Tengah
dan Irian Jaya. Sopeng, 7-8 Nopember 1995.
Widjaja-Adhi, I P.G. dan T.
Alihamsyah. 1998. Pengembangan Lahan Pasang Surut ; Potensi, Prospek, dan
Kendala Serta Teknologi Pengelolaannya Untuk Pertanian. Prosiding Seminar
Nasional dan Pertemuan Tahunan Komda HITI, 16-17 Desember 1998.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar