Minggu, 28 Oktober 2012

HAMA PENGGEREK BATANG TEBU RAKSASA


HAMA PENGGEREK BATANG TEBU RAKSASA
 (Phracmatoecia castaneae Hubner) PADA TEBU (Saccharum officinarum L.)


 


LAPORAN


Oleh :

Revina Syah Dewi Pratiwi
 110301194
 AGROEKOTEKNOLOGI



FPERT



LABORATORIUM DASAR PERLINDUNGAN TANAMAN SUB HAMA
PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2012



HAMA PENGGEREK BATANG TEBU RAKSASA
 (Phracmatoecia castaneae Hubner) PADA TEBU (Saccharum officinarum L.)


 


LAPORAN


Oleh :

Revina Syah Dewi Pratiwi
 110301194
 AGROEKOTEKNOLOGI

Laporan ini sebagai salah satu syarat untuk dapat mengikuti Praktikal tes
di Laboratorium Dasar Perlindungan Tanaman Sub Hama
Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Medan

Ditugaskan oleh :
Dosen penanggung jawab


( Ir. Fatimah Zahara )
NIP : 1959 0710 1989 03 200 1




       Diketahui oleh :                                                             Diperiksa oleh :
   Asisten Koordinator                                                        Asisten Korektor


(Ruomenson D.J. Bakara)                                                    (Ade Sartika R)     
     NIM : 080302037                                                            NIM : 080302004


LABORATORIUM DASAR PERLINDUNGAN TANAMAN SUB HAMA
PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2012
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena  berkat rahmat dan lindungan-Nya maka penulis dapat menyelesaikan laporan ini tepat pada waktunya.
Adapun   judul    dari   laporan   ini    adalah   “Hama Penggerek Batang Tebu Raksasa (Phracmatoecia castaneae Hubner) pada Tebu   (Saccharum officinarum L.)  yang   merupakan   salah   satu  syarat   untuk dapat mengikuti Pratikal Tes di Laboratorium Dasar Perlindungan Tumbuhan Sub Hama Program Studi Agroekoteknologi  Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.
Pada kesempatan   ini    penulis   mengucapkan   terima   kasih     kepada   Prof. Dr. Dra. M. Cyccu Tobing, MS, Ir. Fatimah Zahara, Ir. Muhktar Iskandar Pinem, M.Agr.,  Ir. Lahmuddin Lubis, MP, dan Ir.Mena Uly Tarigan MS, serta Abang dan Kakak Asisten Laboratorium Dasar Perlindungan Tanaman yang telah membantu penulis sehingga laporan ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa laporan ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan laporan ini. Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih.



Medan,      Mei 2012
Penulis



DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................... i
DAFTAR ISI......................................................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR.......................................................................................... iii
PENDAHULUAN
Latar Belakang............................................................................................... 1
Tujuan Penulisan............................................................................................ 2
Kegunaan Penulisan....................................................................................... 2
TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman............................................................................................. 3
Syarat Tumbuh............................................................................................... 5
         Iklim...................................................................................................... 5
         Tanah..................................................................................................... 6
Biologi hama.................................................................................................. 7
Gejala Serangan........................................................................................... 10
Pengendalian................................................................................................ 11
PERMASALAHAN........................................................................................... 13
PEMBAHASAN................................................................................................. 14
KESIMPULAN................................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 18
LAMPIRAN
PENDAHULUAN

Latar Belakang
 Tebu merupakan bahan baku gula yang mengandung 20% cairan gula. Olahan tebu akan menghasilkan gula 5%, ampas tebu 90% dan sisanya berupa tetes (molasse) dan air. Beberapa tahun terakhir industri gula mengalami penurunan produksi hingga mencapai 1,48 juta ton pada tahun 1999. Sementara itu pada tahun 2002 produksi gula mencapai 1,76 juta ton, sedangkan konsumsi gula nasional mencapai 3,3 juta ton, sehingga mencapai defisit sebesar 1,54 juta ton (P3GI, 2008).
Kebutuhan gula di Indonesia selalu meningkat dari tahun ke tahun dan belum mampu dipenuhi hingga saat ini, salah satu kendala dalam budidaya tebu adalah adanya serangan berbagai jenis hama disepanjang pertumbuhan tanaman. Kerugian gula yang disebabkan oleh hama tebu di Indonesia ditaksir dapat mencapai 75%. Lebih dari 100 jenis binatang dapat mengganggu dan merusak tanaman tebu di lapangan. Namun hanya beberapa diantaranya yang sering merusak dan menimbulkan kerugian yang cukup besar seperti serangga hama Penggerek Batang Tebu Bergaris (Chilo sacchariphagus), Penggerek Batang Tebu Berkilat (Chilo auricilius), Penggerek Batang Jambon (Sesamia inferens) dan oleh serangan Penggerek Batang Tebu Raksasa (Phragmatoecia castaneae) (Nugroho, 2009).
Phragmatoecia castaneae Hubner (Penggerek Batang Raksasa) (Lepidoptera; Cossidae) merupakan salah satu kendala produksi terhadap perindustrian gula di Sumatera Utara. Serangan hama ini menjadi kendala dalam peningkatan produktivitas tebu, karena menyebabkan kerugian dan kehilangan hasil gula yang cukup tinggi yaitu sekitar 15%. Tingginya intensitas serangan hama ini pula yang menjadi salah satu faktor penyebab turunnya produktivitas rata-rata tebu giling PTPN II dari 70 ton/ha menjadi hanya 40 ton/hektar. Kerugian gula akibat serangan hama ini ditentukan oleh jarak waktu antara saat penyerangan dan saat tebang. Kehilangan rendemen dapat mencapai 50 % jika menyerang tanaman tebu umur 4-5 bulan dan 4-15 % pada tebu yang berumur 10 bulan (Diyasti, 2000).
Ph. castaneae Hubner (Penggerek Batang Raksasa) termasuk dalam Ordo: Lepidoptera, Family: Cossidae. Ph. castaneae masuk kedalam batang dengan membuat lorong gerekan pada pelepah daun. Pada serangan berat, bagian dalam batang akan hancur. Hama ini juga dapat merusak tebu-tebu liar (Saefudin, 2009). Pada serangan awal akan tampak adanya titik putih dibawah pelepah daun ke 3 atau 4 disertai dengan adanya gerekan larva yang baru menetas, selanjutnya terdapat lorong gerekan pada ruas muda maupun tua. Pada serangan berat tanaman tebu akan mati pucuk (PTPN II, 2001). Kalshoven (1981) mencatat hama ini telah ada di Sumatera Utara sejak tahun 1977. Sampai saat ini penggerek batang tebu raksasa hanya ditemukan di Perkebunan Tebu Sumatera Utara.
Kerugian yang disebabkan oleh hama dan penyakit tanaman tebu diperkirakan mencapai 37% dari total produksi, dan 13% di antaranya karena serangan hama. Di Amerika Serikat, kerugian akibat serangan hama jika diuangkan mencapai US$7,70 miliar per tahun atau Rp61,60 triliun per tahun (Aritonang, 2011)
Ada banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan populasi hama dilapangan, diantaranya adalah faktor cara pengelolaan hama itu sendiri oleh manusia. Cara pengelolaan hama yang tidak tepat menyebabkan masalah hama tidak pernah selesai. Oleh karena itu sering terjadi tindakan pengendalian yang tidak efektif, sebaliknya pengelolaan hama yang bijaksana dapat memberikan kontribusi yang besar dalam menekan populasi hama hingga dibawah ambang ekonomi (Pramono, 2007).
Berbagai upaya pengendalian telah dilakukan, dengan penggunaan varietas tahan, teknik bercocok tanam dan penggunaan insektisida dengan alasan bahwa insektisida dapat secepatnya menurunkan populasi hama. Penggunaan pestisida secara terus-menerus justru mengkibatkan hama menjadi resisten, resugensi hama sasaran, terbunuhnya musuh alami bahkan residu pada tanaman, tanah bahkan pencemaran air tanah (Isbagio, 1998). Pemakaian pestisida dalam pengendalian Ph. castaneae (Penggerek Batang Raksasa) cukup sulit dilaksanakan, karena kebiasaan larva yang menggerek kedalam batang sehingga sulit dicapai pestisida (Purnama, 2007).
Pengendalian biologi merupakan pengendalian dengan memanfaatkan musuh alami, sehingga menghasilkan suatu keseimbangan umum. Pengendalian biologi merupakan salah satu pengendalian yang dinilai cukup aman karena mempunyai beberapa keuntungan, yaitu: selektifitas tinggi dan tidak menimbulkan hama baru, organisme yang digunakan sudah ada dialam, organisme yang digunakan dapat mencari dan menemukan inangnya, dapat berkembang biak dan menyebar, hama tidak menjadi resisten dan pengendalian akan berjalan dengan sendirinya (Isbagio, 1998).
Tujuan Percobaan
Untuk mengetahui bagaimana pengendalian hama Penggerek Batang  (Chilo sp) pada Tanaman Tebu (Saccharum officinarum L.).
Kegunaan Percobaan
-          Sebagai salah satu syarat untuk dapat mengikuti praktikal tes dilaboratorium Dasar Perlindungan Tanaman Departemen Hama dan Penyakit tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.
-          Sebagai bahan  informasi bagi pihak  yang membutuhkan informasi.


TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman
Menurut   Chairunnisa  (2005),   adapun  klasifikasi  dari  tanaman  tebu (Saccharum officinarum L.) adalah sebagai berikut :
Kingdom         : Plantae
Divisi               : Spermatophyta
Subdivisi         : Angiospermae
Class                : Monocotyledonae
Ordo                : Poales
Family             : Poaceae
Genus              : Saccharum
Spesies                        : S. officinarum L.
Akar tanaman tebu berakar serabut dan menjalar hingga ke permukaan tanah. Akar  tebu dapat memanjang hingga 1,6 m, yang terdiri dari cabang atau anak akar yang banyak.  Batang tebu berbuku-buku, pada setiap buku terdapat mata tunas. Buku-buku merupakan pangkal dari daun. Batang berserat dan manis yang berasal dari kandungan kimia. Daun tebu  memiliki bulu-bulu halus pada permukaannya yang gatal bila disentuh, tipe daun tebu ini       tipe  lanset dimana tulang daun sejajar dan bentuk daun memanjang (Mangoendihardjo, 1999).
Penggunaan varietas tebu bersifat sangat dinamis.   Setiap periode waktu, varietas           yang    telah            lama     digunakan        secarterus    menerus tidak selalu menguntungkan,  sebagai  akibat  akan  terjadinya  penurunan  kualitas  genetik, kepekaan  terhadap  hama  dan  penyakit  yang  dapat  meyebabkan  merosotnya perolehan  hasil  gulaOleh  karena  itu,  untuk  menghindari  kondisi  demikian diupayakan selalu terjadi regenerasi  varietas di lapangan untuk mempersiapkan perolehan varietas pengganti.  Varietas tebu sebaiknya tidak ditaman lebih dari 8 tahun (Soedhono, 2009).
Fase     pertumbuhan   tanaman           dalam  proses  perkecambahan sangat tergantung kepada ketersedian air dan makanan yang terdapat dalam bibit.  Bibit dengan kualitas  yang jelek, misalnya diperoleh dari umur bibit yang sudah tua yang  kondisi  distribusi  ai dan  hara  dalam  jaringan  lembaga  tunas  sudah berkurang akan menyulitkan terjadinya inisiasi tumbuh tunas.  Selain itu misalnya kondisi bibit yang terinfeksi hama penyakit akan  menyebabkan hambatan dalam proses inisiasi pertunasan dan fase pertumbuhan tanaman  lainnya.  Kemudian jumlah  bibit  yang  ditanam  sangat  mempengaruhi  jumlah  tunas  dan  populasi pertumbuhan  tanaman.            Meskipun  pada  awal  perkecambahan,  jumlah  tunas berkorelas dengan           jumlah mata     yang            berinisias menjad tunas,    namun sesungguhnya pola pertumbuhan populasi tebu akan mengalami keseimbangan mencapai  populasi optimal disebabkan antara masing-masing tunas akan terjadi persaingan  terhada faktor   lingkungan  tumbuh Artinya  pola  pertumbuhan populastanaman  pada  periode  pertunasan  maksimal,  akadiikuti penurunan populasi  tanaman  sampai  mencapa pertumbuhan  populas batan optimal (Soedhono, 2009).
Kebutuhan  terhadap  bibit  tidak  saja  hanya  didasarkan  jumlah  yang memadai  sesuai  kebutuhan  luasan  tanam  tebu  giling,  tetapi  juga  bibit  yang tersedia harus terjamin  kualitasnya Bibit yang bermutu baik ukurannya adalah bibit yang menghasilkan  perkecambahan mendekati pertumbuhan seluruh mata tunas  dan  tidak  terinfeksi  ham penyakit  yang  dikenal  sebagai  organisme pengganggu bawaan. Untuk menghindari terikutkannya penyakit pada bibit tebu, maka           sebelu ditana sering   dilakuka perlakua perawata air        panas (Hot Water Treatment, HWT).  Dengan jumlah populasi mata tunas berkecambah yang tinggi akan menentukan perolehan tunas yang menghasilkan batang untuk dipanen.    Sedangkan tidak terikutkannya organisme pengganggu sudah barang tentu akan menghasilkan  kondisi tebu tanpa hambatan secara inhern sehingga pertumbuhan tebu berjalan normal (Anonimos, 2008).

Syarat Tumbuh
Iklim
Hujan  yang  merata  diperlukan  setelah  tanaman  berumur  8  bulan  dan kebutuhan ini  berkurang sampai menjelang panen. Tanaman tumbuh baik pada daerah beriklim panas dan lembab. Kelembaban yang baik untuk pertumbuhan tanaman ini > 70%. Suhu udara berkisar antara 28-34 o C (Anonimos, 2007).
Budidaya  tebu  harus  mengupayakan  kebutuhan  tebu  terhadap  variable iklim, khususnya terhadap ketersediaan air, baik dalam mengatur kecukupan air maupun  mengurangi ketersediaannya. Dalam budidaya, singkronisasi kebutuhan pertumbuhan tebu  dengan kebutuhan SDA iklim, seperti mengatur masa tanam yang baik untuk mendapatkan kebutuhan air optimal pada fase pertumbuhan awal dan  ditebang  pada  periode  musim  kemarau.  Berdasarkan  kebutuhan  air  pada setiap fase pertumbuhannya, curah hujan bulanan ideal  untuk  pertanaman tebu adalah 200 mm / bulan pada 5-6 bulan berturut - turut, 125 mm/bulan  pada 2 bulan transisi dan kurang 75 mm / bulan pada 4 - 5 bulan berturut-turut. Menurut tipe iklim Oldeman, zona yang terbaik untuk tanaman tebu adalah tipe iklim C2 dan C3. Dalam pengembangannya ke lahan kering selain kedua tipe iklim tersebut ada beberapa lahan dengan tipe  iklim yang dapat diusahakan untuk tebu dengan masukan-masukan  teknologi  adalah  B2,  C2,  C3,  D2,  E3.  Lahan  yang  dapat dikembangka untuk   pertumbuha teb denga tana cukup   ringa dan berdrainase baik B1, C1, D1 dan E1 (Anonimus, 2009).
Tanah
Tanah yang subur dengan kondisi ketersediaan air, oksigen dan makanan yang  memadai, maka tanaman tebu yang tumbuh di atasnya akan menunjukkan penampilan  pertumbuhan dan hasil produksi tebu yang baik.   Sebaliknya, pada kondisi tanah yang kurang subur sebagai akibat terdapatnya faktor pembatas yang dapat  disebabkan  oleh  keterbatasa sifa fisik  dan  atau  sifat  kimia,  akan menyebabkan  pertumbuhatanamaterhambat  dan  hasil  gula  yang  diperoleh tidak akan maksimal.  Pada kondisi kesuburan tanah tidak menguntungkan, maka untuk memaksimalkan  hasil pertumbuhan tanaman sering dilakukan manipulasi oleh manusia melalui budidaya.  Salah satu upaya yang dilakukan adalah melalui manipulasi fisik untuk mencapai kondisi status fisik tanah yang menguntungkan bagi           pertumbuhan   perakaran         dan manipulasi            kimia   untuk   meningkatkan ketersediaan hara yang biasanya dilakukan melalui  penambahan hara dari luar tanah melalui pemupukan (Soedhono, 2009).
Kesuburatanah  menentukan  keberhasilan  budidaya  tebu,  menyangkut aspefaktor  pembatas fisik dan kimia tanah. Sifafisik tanah yanmenonjol adalah drainase /  permeabilitas, tekstur dan ruang pori. Sedangkan sifat kimia tanah adalah kadar bahan organik, pH, ketersediaan hara esensial dan KTK tanah.. Kemasaman tanah (pH) yang terbaik untuk tanaman tebu adalah pada kisaran 6,0
7,0 namun masih dapat tumbuh pada kisaran pH 4,5 - 7,5. Kesuburan tanah (status hara),  berdasarkan hasil penelitian P3GI untuk  menentukan kesesuaian lahan bagi tanaman tebu dengan kriteria N total > 1,5, P2O5 tersedia > 75 ppm, K2O tersedia > 150 ppm dan kejenuhan Al > 4 bulan, masa tanam yang optimal pada akhir musim kemarau sampai awal musim hujan yaitu pertengahan Oktober sampai dengamasa tanam juga dapat  pada akhir  musim hujan  sampai awal musim kemara(pola II) dengan kondisi tanah ringan,  ngompol dapadiolah sepanjang musim. Pada daerah basah (bulan kering 2 bulan) masa tanam tebu terbaik pada awal musim kemarau (Anonimus, 2009).
Biologi Hama
Menurut Kalshoven (1981), klasifikasi penggerek batang tebu raksasa adalah sebagai berikut :
Kingdom         : Animalia
Filum               : Arthropoda
Class                : Insecta
Ordo                : Lepidoptera
Famili              : Cossidae
Genus              : Phragmatoecia
Spesies            : P. castanae Hubner.


Telur
Bentuk telur oval dan dapat menghasilkan telur sebanyak 282-376 butir perbetina. Peletakan telur dalam gulungan daun kering, terutama pada pucuk tanaman yang mati puser. Masa hidup stadia telur antara 9-10 hari           (Pramono, 2007).
Larva
Larva yang baru menetas panjangnya + 2,5 mm, dan berwarna kelabu. Semakin  tua  umur  larva,  warna  badan  berubah  menjadi  kuning  coklat  dan kemudian kuning putih,  disamping itu warna garis-garis hitam membujur pada permukaan abdomen sebelah atas juga semakin jelas (Pratama, 2009).
Selanjutnya larva menggerek dan masuk ke dalam ruas tebu. Stadia larva terdiri dari 10 instar. Lama stadia larva sekitar 78-82 hari (Pramono, 2007).
Pupa
Stadia pupa berlangsung selama 14-19 hari di dalam ruas batang tebu. Pada awalnya pupa berwarna kuning muda kemudian menjadi coklat tua dengan panjang 2,5-3 cm (jantan) dan 3,5-4 cm (betina) (Gambar 3). Gambar 3. Pupa P. Castanae Hubner. Apabila pupa ini menetas menjadi imago, maka kulit pupa tertinggal dan menonjol ke luar dari lubang gerekan (Pramono, 2007).
Imago
Stadia imago ditandai dengan warna sayap depan coklat kelabu dan ujung sayap terdapat noktah berwarna ungu kehitaman. Bagian atas kepala terdapat rambut-rambut semacam jambul yang berwarna putih kuning (Gambar 4).
Gejala Serangan
Hama penggerek batang raksasa menyerang tanaman tua maupun muda. Serangan pada tanaman muda menyebabkan tanaman mati pucuk. Pada serangan berat, bagian dalam batang tebu hancur dimakan oleh larva PBR
Larva masuk ke dalam batang dengan membuat lorong gerekan dari pelepah daun. Bila populasi hama tinggi, juga dapat menyebabkan kematian pada tanaman tua. Kerugian yang ditimbulkan mengakibatkan penurunan bobot batang, serta penurunan kualitas dan kuantitas nira (Diyasti, 2010).

Pengendalian
Secara umum pengendalian hama penggerek batang tebu raksasa (P. castanae Hubner.) yaitu: 1. Sanitasi Kebun dengan memusnahkan sumber inokulum berupa serasah daun kering, sisa batang dan pucuk tebu pasca tebangan, serta memusnahkan gelagah yang merupakan inang hama PBR. 2. Eradikasi tanaman dengan memanen tebu lebih awal yaitu sekitar umur 7-8 bulan. 3. Secara hayati dengan melepas musuh alami yaitu Tumidiclava sp. dan S. inferens serta penggunaan cendawan entomopatogen Beauveria bassiana dan Metarhizium anisopliae (Diyasti, 2010).

PERMASALAHAN
Kerugian yang disebabkan oleh hama dan penyakit tanaman tebu diperkirakan mencapai 37% dari total produksi, dan 13% di antaranya karena serangan hama. Di Amerika Serikat, kerugian akibat serangan hama jika diuangkan mencapai US$7,70 miliar per tahun atau Rp61,60 triliun per tahun. Fase pertumbuhan tanaman dalam proses perkecambahan sangat tergantung kepada ketersedian air dan makanan yang terdapat dalam bibit.  Bibit dengan kualitas  yang jelek, misalnya diperoleh dari umur bibit yang sudah tua yang  kondisi  distribusi  ai dan  hara  dalam  jaringan  lembaga  tunas  sudah berkurang akan menyulitkan terjadinya inisiasi tumbuh tunas.  Selain itu misalnya kondisi bibit yang terinfeksi hama penyakit akan  menyebabkan hambatan dalam proses inisiasi pertunasan dan fase pertumbuhan tanaman  lainnya.  Kemudian jumlah  bibit  yang  ditanam  sangat  mempengaruhi  jumlah  tunas  dan  populasi pertumbuhan  tanaman.  Meskipun  pada  awal  perkecambahan,  jumlah  tunas berkorelas dengan      jumlah mata yang        berinisias menjad tunas,    namun sesungguhnya pola pertumbuhan populasi tebu akan mengalami keseimbangan mencapai  populasi optimal disebabkan antara masing-masing tunas akan terjadi persaingan  terhada faktor   lingkungan  tumbuh Artinya  pola  pertumbuhan populastanaman  pada  periode  pertunasan  maksimal.


PEMBAHASAN
Kerugian yang disebabkan oleh hama dan penyakit tanaman tebu diperkirakan mencapai 37% dari total produksi, dan 13% di antaranya karena serangan hama. Hal ini sesuari dengan Aritonang (2011) yang menyatakan bahwa Kerugian yang disebabkan oleh hama dan penyakit tanaman tebu diperkirakan mencapai 37% dari total produksi, dan 13% di antaranya karena serangan hama. Di Amerika Serikat, kerugian akibat serangan hama jika diuangkan mencapai US$7,70 miliar per tahun atau Rp61,60 triliun per tahun
Fase pertumbuhan tanaman dalam proses perkecambahan sangat tergantung kepada ketersedian air dan makanan yang terdapat dalam bibit.  Bibit dengan kualitas  yang jelek. Hal ini sesuai dengan Soedhono (2009) yang menyatakan bahwa  Fase pertumbuhan tanaman dalam proses perkecambahan sangat tergantung kepada ketersedian air dan makanan yang terdapat dalam bibit.  Bibit dengan kualitas  yang jelek, misalnya diperoleh dari umur bibit yang sudah tua yang  kondisi  distribusi  ai dan  hara  dalam  jaringan  lembaga  tunas  sudah berkurang akan menyulitkan terjadinya inisiasi tumbuh tunas.  Selain itu misalnya kondisi bibit yang terinfeksi hama penyakit akan  menyebabkan hambatan dalam proses inisiasi pertunasan dan fase pertumbuhan tanaman  lainnya.  Kemudian jumlah  bibit  yang  ditanam  sangat  mempengaruhi  jumlah  tunas  dan  populasi pertumbuhan  tanaman.  Meskipun  pada  awal  perkecambahan,  jumlah  tunas berkorelas dengan           jumlah mata yang        berinisias menjad tunas,           namun sesungguhnya pola pertumbuhan populasi tebu akan mengalami keseimbangan mencapai  populasi optimal disebabkan antara masing-masing tunas akan terjadi persaingan  terhada faktor   lingkungan  tumbuh Artinya  pola  pertumbuhan populastanaman  pada  periode  pertunasan  maksimal.
Bentuk telur oval, datar dan mengkilap. Telur berwarna putih dan akan berubah menjadi hitam sebelum menetas. Hal ini sesuai dengan David (1986) yang menyatakan bahwa Bentuk telur oval, datar dan mengkilap. Telur berwarna putih dan akan berubah menjadi hitam sebelum menetas. Telur memiliki panjang 0,75 - 1,25 mm dengan rata-rata 0,95 mm. Masa inkubasi berkisar antara 4 - 6 hari dengan rata- rata sebesar 5,13 ± 0,78.
Larva yang baru menetas panjangnya + 2,5 mm, dan berwarna kelabu. Semakin  tua  umur  larva. Hal ini sesuai dengan Pratama (2009) yang menyatakan bahwa Larva yang baru menetas panjangnya + 2,5 mm, dan berwarna kelabu. Semakin  tua  umur  larva,  warna  badan  berubah  menjadi  kuning  coklat  dan kemudian kuning putih,  disamping itu warna garis-garis hitam membujur pada permukaan abdomen sebelah atas juga semakin jelas.
Ngengat bergerak lamban-lamban. Ngengat betina lebih besar daripada ngengat jantan. Imago mempunyai sayap dan dada berwarna kecoklatan. Hal ini sesuai dengan David (1986) yang menyatakan bahwa Ngengat bergerak lamban-lamban. Ngengat betina lebih besar daripada ngengat jantan. Imago mempunyai sayap dan dada berwarna kecoklatan.Abdomen imago betina biasanya  juga lebih besar daripada yang jantan Betina dewasa dan jantan memiliki masa 4 - hari  dengan rata-rata 6,37 dan 7,22 hari.  Jumlah maksimum telur yang diletakkan oleh betina adalah 400.
Larva  muda  yang  baru  menetas  hidup  dan  menggerek  jaringan  dalam pupus daun yang masih menggulung, sehingga apabila gulungan daun ini nantinya membuka maka akan terlihat luka-luka berupa lobang grekan yang tidak teratur pada  permukaan  daun.  Setelabeberapa  hari  hidup  dalam  pupus  daun,  larva kemudian  akan  keluar  dan  menuju  ke  bawah  serta  menggerek  pelepah  daun hingga menembus masuk ke dalam ruas batang. Selanjutnya  larva hidup dalam ruas-ruas batang tebu. Hal ini sesuai dengan Pratama, Dkk. Yang menyatakan bahwa Larva  muda  yang  baru  menetas  hidup  dan  menggerek  jaringan  dalam pupus daun yang masih menggulung, sehingga apabila gulungan daun ini nantinya membuka maka akan terlihat luka-luka berupa lobang grekan yang tidak teratur pada  permukaan  daun.  Setelabeberapa  hari  hidup  dalam  pupus  daun,  larva kemudian  akan  keluar  dan  menuju  ke  bawah  serta  menggerek  pelepah  daun hingga menembus masuk ke dalam ruas batang. Selanjutnya  larva hidup dalam ruas-ruas batang tebu. Di sebelah luar ruas-ruas muda yang digerek akan didapati tepung gerek. Daun tanaman yang terserang terdapat bercak-bercak putih bekas gerekan  yang tidak teratur. Bercak putih ini menembus kulit luar daun. Gejala serangan pada batang tebu ditandai adanya lobang gerek pada permukaan batang. Apabila  ruas-ruas batang tersebut dibelah membujur maka akan terlihat lorong- lorong gerek yang  memanjang. Gerekan ini kadang-kadang menyebabkan titik tumbuh mati, daun muda layu atau kering. Biasanya dalam satu batang terdapat lebih dari satu ulat penggerek.
Umumnya pengendalian penggerek batang tebu raksasa yang digunakan adalah: Secara  kultur  teknis  yaitu  sanitasi  lahan,  penanaman  dengan sistem hamparan. Memotong bagian tanaman yang terserang dan membakarnya. Secara mekanis yaitu pengutipan ulat ulat di lapangan. Secara biologis yaitu         dengan memanfaatkan            musu alami berupa pelepasan parasit telur Trichogramma spp.,  dan parasit larva Diatraeophaga striatalis Tns.Secara kimiawi yaitu dengan pemakaian insektisida yaitu Agrothion 50 EC (3 l/ha), Azodrin 15 WSC ( 5 l/ha) hal ini sesuai dengan Pratama (2009) yang menyatakan bahwa Umumnya pengendalian penggerek batang bergaris (C. sacchariphagus) yang digunakan adalah: Secara  kultur  teknis  yaitu  sanitasi  lahan,  penanaman  dengan  sistem hamparan. Memotong bagian tanaman yang terserang dan membakarnya. Secara mekanis yaitu pengutipan ulat ulat di lapangan. Secara biologis yaitu dengan memanfaatkan musuh alami berupa pelepasan parasit telur Trichogramma spp., dan parasit larva Diatraeophaga striatalis Tns. Secara kimiawi yaitu dengan pemakaian insektisida yaitu Agrothion 50 EC (3 l/ha), Azodrin 15 WSC ( 5 l/ha).

  
KESIMPULAN
1.      Kerugian yang disebabkan oleh hama dan penyakit tanaman tebu diperkirakan mencapai 37% dari total produksi, dan 13% di antaranya karena serangan hama.
2.      Fase pertumbuhan tanaman dalam proses perkecambahan sangat tergantung kepada ketersedian air dan makanan yang terdapat dalam bibit.
3.      Gejala serangan pada batang tebu ditandai adanya lobang gerek pada permukaan batang.
4.      Umumnya pengendalian penggerek batang raksasa yang digunakan adalah: Secara  kultur  teknis  yaitu  sanitasi  lahan,  penanaman  dengan  sistem hamparan. Memotong bagian tanaman yang terserang dan membakarnya. Secara mekanis yaitu pengutipan ulat ulat di lapangan. Secara biologis yaitu dengan memanfaatkan musuh alami berupa pelepasan parasit telur Trichogramma spp., dan parasit larva Diatraeophaga striatalis Tns.



DAFTAR PUSTAKA
BPTTD. 1979.  Hama dan Penyakit Tanaman Tebu. Balai Penelitian Tanaman  Tebu dan Tembakau Deli, Medan. Hlm. 15-16
Ditjenbun. 2011. Lalat Sturmiopsis Sahabat Petani Tebu. (di unduh 3 September  2011)
Diyasti, F. 2010. Waspada Penggerek Batang Tebu Raksasa. (di unduh 29  November 2010)
Easwakamoorthy, S., H. David, G. Santhalakshmi, M. Shanmudasundaram, V.  Nandagopal and N. K. Kurup. 1990. Toxicity Of Certain Insecticides To  Sturmiopsis inferens, A Larva Parasite Of Sugarcane Moth Borers.  Sugarcane Breeding Institute, India.
Ganeshan, S. and A. Rajabalee. 1997. Parasitoid of The Sugarcane Spotted Borer,  Chilo sacchariphagus (Lepidoptera: Pyralidae), in Mauritius. Mauritius  Sugar Industry Reasearch Institute, Riduit, Mauritius.
Hasyim, A., Kamisar dan K. Nakamura. 2003. Mortalitas Stadia Pradewasa Hama  Penggulung Daun Pisang Erionata thrax (L) yang Disebabkan oleh  Parasitoid. J.Hort. 13(2). hlm. 114-199
Indriyanti, D. R. 1987. Pengaruh Pelepasan Ngengat Mandul Chilo auricilius  Dudgeon (Lepidoptera: Pyralidae) Hasil Radiasi Sinar Gamma dengan Empat Variasi Dosis, Terhadap Penurunan Populasi Ngengat F-1.  IPB,  Bogor.
Kalshoven, L.G.E. 1981. The Pest of Crop in Indonesia. Revised and Translated  by PA. Vander Lean. PT. Ichtiar Baru-Van Hoove. Jakarta.
Mau, R.F.L. dan Martin L. Jayma Kessing. 1993. Pelopidas thrax L. Dep. Ento.  Honolulu, Hawai.
Nugroho, B. W. 1986. Pengamatan Hama Penting Tanaman Tebu            (Saccharum officinarum Linn.) di Kecamatan Babakan, Wilayah Kerja
Pabrik Gula Tersana Baru PT. Perkebunan XIV (Persero) Kabupaten  Cirebon. IPB. Bogor.
Pramono, D. 2005. Pengelolaan Hama Tebu Secara Terpadu-2. Penerbit Dioma,  Malang.
Pramono, D. 2007. Program Early Warning System (EWS) Sebagai Dasar  Penentuan Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Hama Secara Terpadu  (PHT) Pada Penggerek Batang Raksasa di Kawasan PTPN II Persero,  Sumatera Utara. Kelti Proteksi Tanaman. P3GI Pasuruan.
Pratama, Z., Iwan dan M., Miftahul, Z. 2010.  Pengaruh Kombinasi Waktu  Pelepasan Yang Berbeda Antara  Diatraeophaga striatalis Tns.  Dan  Trichogramma chilonis Terhadap Persentase Kerusakan Tanaman Tebu  (Saccharum officinarum Linn.) Yang Disebabkan Oleh  Chilo auricilus Dudgeon. Universitas Negeri Surabaya
Purnomo, W. 2006. Parasitisasi Dan Kapasitas  Reproduksi                                     Cotesia flavires Cameron (Hymenoptera: Braconidae) Pada Inang dan  Instar Yang Berbeda Di Laboratorium. (di unduh 29 November 2010)
Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI). 2008. Konsep Peningkatan  Rendemen Industri Gula Indonesia. (di unduh 29 N0vember 2010)
Sallam, NS and PG Allsopp. 1998.  Chilo spp. Incursion Management Plan  Version 2. BSES Limited Publication.
Saragih, R., Harahap C. F. dan Boedijono. 1982. Perkawinan  S. inferens Town.  Lalat Parasit dari P. castanae Hubner. BPPTD. Hlm. 2
Saragih, R., Zuraida, B. dan Z. Abidin. 1986. Pembiakan S. inferens Town. dan  Kemampuan Memarasit P.  castanae Hubner. Prosiding Temu Ilmiah  Entomologi Perkebunan Indonesia 1986. hlm. 143
Sarwani, M. 2008. Teknologi Budidaya Pisang.  Balai Besar Pengkajian dan  Pengembangan Teknologi Pertanian. Lampung.
Soma AG and S. Ganeshan. 1998. Status of The Sugar Cane Spotted  Borer,      Chilo saccharifagus Bojer (Lepidoptera: Pyralidae: Crambinae ),  In  Mauritius. Food and Agric. Research Council, Reduit.
Sunaryo, Suroyo, dan H. Ubandi. 1988. Biologi Sturmiopsis inferens. Pertemuan Tengah Tahun II Budidaya Tebu Lahan Kering P3GI, Pasuruan. 9p.
Suryana, A., 2007. Prospek Dan Arah Pengembangan Agribisnis Tebu. Badan  Penelitian Dan Pengembangan Pertanian, Jakarta.
Verly, G. C., Grandwell, G.N. and Hassel, M. P. 1973. Insect Population Ecology  and Analitical Approach Black Well. Publisher Oxford, London. P. 209 Way, M. and S. Rutherford. 2011. Update On Chilo. South African Sugarcane Reasearch Institute. P. 12
Wirioatmodjo, B. 1977. Biologi Lalat Jatiroto,  Diatraeophaga striatalis Townsend, dan Penerapannya dalam Pengendalian Penggerek Berkilat,  Chilo auricilius Dudgeon. IPB. Bogor.