REHABILITASI LAHAN TERDEGRADASI MELALUI
PENAMBAHAN AMELIORAN GAMBUT DAN JERAMI
PAPER
OLEH :
FIZRI
ZULKARNAEN SIREGAR / 110301052
AGROEKOTEKNOLOGI
1
PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2013
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis
panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat rahmat dan lindungan-Nya maka penulis dapat menyelesaikan artikel
ini tepat pada waktunya.
Adapun judul
dari artikel ini
adalah “REHABILITASI LAHAN TERDEGRADASI
MELALUI PENAMBAHAN AMELIORAN GAMBUT DAN JERAMI” yang merupakan tugas matakuliah Pengelolaan Tanah
dan Air, Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian,
Universitas Sumatera Utara, Medan.
Pada kesempatan ini
penulis mengucapkan terima
kasih kepada Dr. Ir. Hamidah Hanum, MP yang
merupakan Dosen Pengampu Matakuliah Pengelolaan Tanah dan Air yang telah membantu penulis sehingga artikel ini
dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Penulis menyadari bahwa artikel ini jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun demi kesempurnaan artikel ini. Akhir kata, penulis
mengucapkan terima kasih.
Medan, Desember 2012
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................... i
DAFTAR ISI......................................................................................................... ii
PENDAHULUAN
Latar
Belakang............................................................................................... 1
Tujuan
Penulisan............................................................................................ 2
TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian
Lahan Kering............................................................................... 3
Tanah
Mineral Masam dan Penyebarannya.................................................... 4
Kesuburan
Tanah........................................................................................... 7
PERMASALAHAN KESUBURAN TANAH................................................. 10
PENGELOLAAN KESUBURAN TANAH
Konsep
LEIA, LLEISA, dan HEIA........................................................... 14
Konsep
Mekanik dan Vegetatif.................................................................. 23
PENUTUP
Kesimpulan.................................................................................................. 29
Saran............................................................................................................ 29
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Lahan adalah salah satu sistem
bumi, yang bersama dengan sistem bumi yang lain, yaitu air alam dan atmosfer,
menjadi inti fungsi, perubahan, dan kemantapan ekosistem. Tanah berkedudukan
khas dalam masalah lingkungan hidup, merupakan kimah (aset) lingkungan dan
membentuk landasan hakiki bagi kemanusiaan (James, 1995).
Fungsi-fungsi vital yang dikerjakan
tanah dalam ekosistem mencakup: a) memberlanjutkan kegiatan, keaneka ragaman,
dan produktivitas hayati, b) mengatur dan membagi-bagi aliran air dan larutan,
c) menyaring, menyangga, mendegradasi, imobilisasi, dan detoksifikasi
bahan-bahan organik dan anorganik, termasuk hasil samping industri dan kota
serta endapan atmosfir, d) menyimpan dan mendaurkan hara dan unsur-unsur lain
di dalam biosfir bumi, dan e) memberikan topangan bagi bangunan sosio ekonomi
dan perlindungan bagi pemukiman manusia. Untuk keberlanjutan peri kehidupan dan
menjamin kesejahteraannya, manusia tidak mungkin mengabaikan upaya mencegah degradasi
berbagai fungsi tanah.
Tanah di manapun keberadaannya
merupakan komponen lingkungan hidup yang secara mutlak harus dilindungi atau
dihindarkan dari dampak yang merugikan, maka konservasi tanah menjadi suatu
keharusan bagi membuat lingkungan hidup terhunikan (Notohadipawiro, 2000;
Idjudin, 2006).
Cerapan (perception)
kebanyakan orang tentang mutu lingkungan selalu dilihat dari sisi air dan
udara. Mereka dapat menghargai air dan udara yang bersih dan segar.
Dibandingkan dengan penghargaan terhadap air dan udara, penghargaan kebanyakan
orang terhadap tanah tetap rudimenter (James, 1995).
Sudah ada peraturan
perundang-undangan mengenai baku mutu air dan udara, akan tetapi hingga saat
ini belum terwujud undang-undang yang mengatur baku mutu tanah. Dari perspektif
ilmu dan lingkungan, tanah adalah ekosistem yang beraneka pada skala lokal dan
sumberdaya alam yang sangat heterogen dari segi kimia, fisik, dan hayati. Maka
tanah menjadi penentu kapasitas lahan dalam produksi biomassa berguna, seperti
dalam budidaya pertanian, perkebunan, dan kehutanan (Idjudin, 2010).
Budidaya perkebunan di dataran
tinggi dihadapkan pada faktor pembatas biofisik seperti lereng yang relatif
curam, kepekaan tanah terhadap erosi dan longsor dan curah hujan yang tinggi.
Kesalahan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya lahan di dataran tinggi
dapat menimbulkan kerusakan biofisik berupa degradasi kesuburan tanah dan
ketersediaan air yang dampaknya tidak hanya dirasakan oleh masyarakat di lahan
dataran tinggi, tetapi juga di bagian hilirnya.
Sekitar 45% wilayah Indonesia
berupa dataran tinggi perbukitan dan pegunungan yang dicirikan oleh
topo-fisiografi yang sangat beragam, sehingga praktek budidaya pertanian di lahan
dataran tinggi memiliki posisi strategis dalam pembangunan pertanian nasional.
Selain memberikan manfaat bagi jutaan petani, lahan dataran tinggi juga
berperan penting dalam menjaga fungsi lingkungan daerah aliran sungai (DAS) dan
penyangga daerah di bawahnya
(Departemen Pertanian, 2006).
Tanaman pekebunan seperti kopi,
teh, kina, dan berbagai jenis buah buahan juga banyak diproduksi di lahan
pegunungan. Lahan pegunungan yang merupakan hulu DAS juga berperan penting
dalam menjaga tata air DAS itu sendiri, mempertahankan keanekaragaman hayati,
mengendalikan erosi, dan menambat karbon di atmosfer sehingga mengurangi
pemanasan global (Departemen Pertanian, 2006).
Berbagai tanaman hortikultura,
tanaman perkebunan, tanaman pangan, dan ternak dihasilkan di lahan pegunungan.
Sebagian besar tanaman sayursayuran dan bunga-bungaan dihasilkan di tanah Andisols
dan Alfisols dengan elevasi berkisar antara 350-1.500 m di atas permukaan laut (dpl).
Walaupun berpeluang untuk budidaya pertanian,
lahan pegunungan rentan terhadap longsor dan erosi, karena tingkat
kemiringannya, curah hujan relatif lebih tinggi, dan tanah tidak stabil. Bahaya
longsor dan erosi akan meningkat apabila lahan pegunungan yang semula tertutup
hutan dibuka menjadi areal pertanian tanaman semusim yang tidak menerapkan
praktek konservasi tanah dan air, atau menjadi areal peristirahatan dengan
segala fasilitas yang tidak ramah lingkungan.
Dalam beberapa tahun terakhir,
bencana alam banjir dan longsor makin meningkat, baik daya rusak maupun
intensitasnya. Bencana tersebut telah menimbulkan banyak korban manusia, harta,
lahan pertanian, infrastruktur dan sebagainya. Degradasi lahan juga semakin meningkat
dan meluas, terutama akibat tingginya tingkat erosi tanah, khususnya di daerah
pegunungan. Longsor dan erosi di kawasan pegunungan selain ditentukan oleh
karakteristik lahan dan kondisi iklim juga dipengaruhi oleh sistem dan teknik
budidaya pertanian di wilayah tersebut (Departemen Pertanian, 2006).
Materi yang dikemukakan dalam
makalah ini meliputi aspek pengolahan tanah, faktor penentu kepekaan lahan
terhadap longsor dan erosi, teknologi pengendalian longsor, teknologi budidaya
pada sistem usahatani konservasi, dan implikasi kebijakan. Substansi yang
disampaikan bersifat umum, sebagai landasan bagi penyusunan petunjuk teknis
oleh instansi yang berwenang di tingkat pusat dan daerah.
TINJAUAN PUSTAKA
Pengolahan
Lahan
Pengolahan
tanah
Pengolahan tanah meliputi berbagai
kegiatan fisik dan mekanik tanah yang bertujuan untuk membuat media perakaran
tanaman lebih baik. Di negara maju, petani sudah sangat tergantung pada alat
mesin pertanian (alsintan), baik untuk pengolahan tanah, penanaman benih,
penyiangan gulma, maupun untuk pemanenan hasil (Rachman et al., 2004).
Berbagai macam alsintan untuk
mengolah tanah terus dikembangkan, menghasilkan teknologi pengolahan tanah yang
efisien. Petani tidak punya pilihan lain kecuali menggunakan mesin-mesin
pertanian tersebut untuk meningkatkan hasil pertanian dan mengefisienkan
usahataninya. Akibatnya, tanah diolah dengan intensitas pengolahan yang terus meningkat.
Petani, pada awalnya, mendapatkan hasil panen yang tinggi, namun karena tanah
terus-menerus diolah, akibatnya tanah mengalami penurunan produktivitas
(Rachman et al., 2004).
Tanah yang diolah berlebihan tanpa tindakan
konservasi akan menjadi lebih cepat kering, lebih halus (powdery),
berstruktur buruk, dan kadar bahan organik tanahnya semakin rendah. Sebagai
akibat dari pengolahan yang sangat intensif ini, pada tahun 1930-an, misalnya,
terjadi tragedi hujan debu di Amerika Serikat yang menerbangkan debu dari lahan
pertanian ke lautan Alantik (Rachman et
al., 2004).
Pengolahan tanah dapat diartikan
sebagai kegiatan manipulasi mekanik terhadap tanah (Arsyad, 2000). Tujuannya
adalah untuk mencampur dan menggemburkan tanah, mengontrol tanaman pengganggu,
mencampur sisa tanaman dengan tanah, dan menciptakan kondisi kegemburan tanah
yang baik untuk pertumbuhan akar (Gill and Vanden Berg, 1967). Pengolahan tanah
dikerjakan untuk menggemburkan tanah, memperdalam jeluk efektif untuk perakaran,
dan memudahkan daya antar air dan udara (Notohadipawiro, 2000).
Setiap upaya pengolahan tanah akan
menyebabkan terjadinya perubahan sifat-sifat tanah. Tingkat perubahan yang
terjadi sangat ditentukan oleh jenis alat pengolahan tanah yang digunakan.
Penggunaan cangkul, misalnya, relatif tidak akan banyak menyebabkan terjadinya
pemadatan pada lapisan tanah bagian bawah. Namun demikian karena seringnya
tanah terbuka, terutama antara dua musim tanam, maka lebih riskan terhadap dispersi
agregat, erosi, dan proses iluviasi yang selanjutnya dapat memadatkan tanah
(Pankhurst and Lunch, 1993).
Penggunaan alat berat akan
menggemburkan tanah dan membolak-balikkan tanah sampai pada kedalaman 20 cm.
Namun, pada waktu yang bersamaan roda traktor menyebabkan terjadinya pemadatan
tanah dan berbagai efek negatif lainnya. Beberapa hasil penelitian menunjukkan
bahwa pengolahan tanah yang berlebihan menjadi penyebab utama terjadinya
kerusakan struktur tanah Suwardjo et al., 1989) dan kekahatan kandungan
bahan organik tanah. Kepedulian terhadap efek kurang menguntungkan dari
pengolahan tanah yang intensif mendorong para praktisi pertanian mencari
alternatif penyiapan lahan yang lebih rasional terhadap kelestarian lingkungan
hidup. Olah tanah konservasi (conservation tillage) menjadi
alternatif penyiapan lahan yang dilaporkan dapat mempertahankan produktivitas tanah
tetap tinggi (Wagger and Denton, 1991).
Namun demikian, terdapat beberapa
hasil penelitian yang melaporkan terjadinya penurunan hasil tanaman akibat olah
tanah konservasi (Ketcheson, 1980) atau tidak mempengaruhi hasil tanaman (Rao
and Dao, 1991 dalam Rachman et al., 2004). Adanya kontradiksi
hasil diduga disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain curah hujan dan
tekstur tanah. Pada curah hujan yang rendah, olah tanah konservasi umumnya
meningkatkan hasil tanaman.
Pengaruh yang sama diamati juga
pada tanah yang bertekstur berat. Hal lain yang menentukan keberhasilan olah
tanah konservasi adalah pemberian bahan organik dalam bentuk mulsa yang cukup, sehingga
mampu menekan pertumbuhan gulma. Olah tanah konservasi (OTK) adalah cara
penyiapan lahan yang menyisakan sisa tanaman di atas permukaan tanah sebagai
mulsa dengan tujuan untuk mengurangi erosi dan penguapan air dari permukaan
tanah (Rachman et al., 2004). Utomo (1995) mendefinisikan OTK sebagai
suatu cara pengolahan tanah yang bertujuan untuk menyiapkan lahan agar tanaman
dapat tumbuh dan berproduksi optimum, namun tetap memperhatikan aspek
konservasi tanah dan air. Olah tanah konservasi dicirikan oleh berkurangnya pembongkaran/pembalikan
tanah, penggunaan sisa tanaman sebagai mulsa, dan kadang-kadang disertai
penggunaan herbisida untuk menekan pertumbuhan gulma atau tanaman pengganggu
lainnya. Kelebihan penerapan sistem OTK dalam penyiapan lahan adalah: menghemat
tenaga dan waktu, meningkatkan kandungan bahan organik tanah, meningkatkan ketersediaan
air di dalam tanah, memperbaiki kegemburan tanah dan meningkatkan porositas
tanah, mengurangi erosi tanah, memperbaiki kualitas air, meningkatkan kandungan
fauna tanah, mengurangi penggunaan alsintan seperti traktor, menghemat
penggunaan bahan bakar, dan memperbaiki kualitas udara (Rachman et al., 2004).
Peranan OTK dalam mengurangi erosi
dan penguapan air dari permukaan tanah karena: (a) keberadaan sisa tanaman
dalam jumlah memadai di permukaan tanah; (b) kondisi permukaan tanah yang kasar
(rough), sarang (porous), berbongkah (cloddy), dan
bergulud (ridged); atau (c) kombinasi dari keduanya (Mannering and Fenster,
1983). Dengan demikian, nampak jelas bahwa keefektifan OTK ditentukan oleh penggunaan
sisa tanaman sebagai mulsa di permukaan tanah. Penggunaan mulsa tanpa dikaitkan
dengan OTK adalah kurang efisien, tetapi penerapan OTK tanpa menggunakan mulsa
adalah suatu kesalahan (Suwardjo, 1981).
Mulsa di permukaan tanah melindungi
permukaan tanah dari energi hempasan butirbutir hujan, mengurangi terjadinya
penyumbatan pori (soil crusting), sehingga meningkatkan volume air yang
terinfiltrasi, dan dapat juga mengurangi daya angkut aliran permukaan (Rachman et
al., 2004). Sedangkan kekasaran permukaan dapat meningkatkan kapasitas
penyimpanan air di zona pengolahan tanah, mengurangi daya angkut aliran
permukaan, dan mengurangi tingkat penyumbatan pori tanah. Beberapa cara
penyiapan lahan yang akhirakhir ini banyak diperkenalkan adalah tanpa olah tanah
(zero tillage), olah tanah seperlunya (reduced tillage),
dan olah tanah strip (strip tillage), yang kesemuanya merupakan
pengembangan dan memenuhi kriteria sebagai OTK (Rachman et al., 2004).
Kepekaan
tanah terhadap longsor dan erosi
Pengetahuan tentang faktor penentu
kepekaan tanah terhadap longsor dan erosi akan memperkaya kawasan dan
memperkuat landasan dari pengambil keputusan, penanggungjawab lapangan,
teknisi, penyuluh dan organisasi kemasyarakatan dalam menyusun program dan
melaksanakan teknik penanggulangan longsor dan erosi di daerah kewenangannya (Departemen Pertanian,
2006).
Longsor dan erosi adalah proses
berpindahnya tanah atau batuan dari satu tempat yang lebih tinggi ke tempat
yang lebih rendah akibat dorongan air, angin, atau gaya gravitasi. Proses
tersebut melalui tiga tahapan, yaitu pelepasan, pengangkutan atau pergerakan,
dan pengendapan. Perbedaan menonjol dari fenomena longsor dan erosi adalah volume
tanah yang dipindahkan, waktu yang dibutuhkan, dan kerusakan yang ditimbulkan.
Longsor memindahkan massa tanah dengan volume yang besar, adakalanya disertai
oleh batuan dan pepohonan, dalam waktu yang relatif singkat, sedangkan erosi
tanah adalah memindahkan partikel-partikel tanah dengan volume yang relatif
lebih kecil pada setiap kali kejadian hujan dan berlangsung dalam waktu yang
relatif lama. Dua bentuk longsor yang sering terjadi di daerah pegunungan
adalah (Departemen Pertanian, 2006): (1) guguran, yaitu pelepasan batuan atau tanah
dari lereng curam dengan gaya bebas atau bergelinding dengan kecepatan tinggi
sampai sangat tinggi. Bentuk longsor ini terjadi pada lereng yang sangat curam
(>100%); (2) peluncuran, yaitu pergerakan bagian atas tanah dalam volume
besar akibat keruntuhan gesekan antara bongkahan bagian atas dan bagian bawah
tanah. Bentuk longsor ini umumnya terjadi apabila terdapat bidang luncur pada
kedalaman tertentu dan tanah bagian atas dari bidang luncur tersebut telah
jenuh air.
Sekitar 45% luas lahan di Indonesia
berupa lahan pegunungan berlereng yang
peka terhadap longsor dan erosi (Tabel 1). Pegunungan dan perbukitan adalah
hulu sungai yang mengalirkan air permukaan secara gravitasi melewati celah-celah
lereng ke lahan yang letaknya lebih rendah. Keterkaitan antara daerah aliran
sungai (DAS) hulu, tengah, dan hilir dijelaskan sebagai berikut: (1) penggundulan
hutan di DAS hulu atau zona tangkapan hujan akan mengurangi resapan air hujan,
dan karena itu akan memperbesar aliran permukaan. Aliran permukaan adalah
pemicu terjadinya longsor dan/atau erosi dengan mekanisme yang berbeda; (2)
budidaya pertanian pada DAS tengah atau zona konservasi yang tidak tepat akan
memacu terjadinya longsor dan/atau erosi. Pengendalian aliran permukaan
merupakan kunci utama. Pada daerah yang tidak rawan longsor, memperbesar resapan
air dan sebagai konsekuensi adalah memperkecil aliran permukaan merupakan pilihan
utama. Sebaliknya, jika daerah tersebut rawan longsor, aliran permukaan perlu
dialirkan sedemikian rupa sehingga tidak menjenuhi tanah dan tidak memperbesar
erosi; (3) air yang meresap ke dalam lapisan tanah di zona tangkapan hujan dan
konservasi akan keluar berupa sumber-sumber air yang ditampung di badan-badan
air seperti sungai, danau, dan waduk untuk pembangkit listrik, irigasi, air
minum, dan penggelontoran kota.
Faktor yang mempengaruhi terjadinya
longsor dan erosi adalah faktor alam dan faktor manusia (Departemen Pertanian,
2006). Faktor alam yang utama adalah iklim, sifat tanah, bahan induk, elevasi,
dan lereng. Faktor manusia adalah semua tindakan manusia yang dapat mempercepat
terjadinya erosi dan longsor.
Curah hujan adalah salah satu unsur
iklim yang besar peranannya terhadap kejadian longsor dan erosi. Air hujan yang
terinfiltrasi ke dalam tanah dan menjenuhi tanah menentukan terjadinya longsor,
sedangkan pada kejadian erosi, air limpasan permukaan adalah unsur utama
penyebab terjadinya erosi. Curah hujan dengan
intensitas yang tinggi, misalnya 50 mm dalam waktu singkat (<1 jam), lebih
berpotensi menyebabkan erosi dibanding hujan dengan curahan yang sama namun
dalam waktu yang lebih lama (>1 jam). Namun curah hujan yang sama tetapi
berlangsung lama (>6 jam) berpotensi menyebabkan longsor, karena pada kondisi
tersebut dapat terjadi penjenuhan tanah oleh air yang meningkatkan massa tanah.
Intensitas hujan menentukan besar kecilnya erosi, sedangkan longsor ditentukan
oleh kondisi jenuh tanah oleh air hujan dan keruntuhan gesekan bidang luncur.
Curah hujan tahunan >2.000 mm terjadi pada sebagian besar wilayahIndonesia.
Kondisi ini berpeluang besar menimbulkan erosi, apalagi di wilayah pegunungan
yang lahannya didominasi oleh berbagai jenis tanah.
Tanah
Kedalaman,
tekstur, dan struktur tanah
Kedalaman atau solum, tekstur, dan
struktur tanah menentukan besar kecilnya air limpasan permukaan dan laju
penjenuhan tanah oleh air. Pada tanah bersolum dalam (>90 cm), struktur
gembur, dan penutupan lahan rapat, sebagian besar air hujan terinfiltrasi ke
dalam tanah dan hanya sebagian kecil yang menjadi air limpasan permukaan.
Sebaliknya, pada tanah bersolum dangkal, struktur padat, dan penutupan lahan
kurang rapat, hanya sebagian kecil air hujan yang terinfiltrasi dan sebagian besar
menjadi aliran permukaan.
Faktor lain yang menentukan kelongsoran
tanah adalah ketahanan gesekan bidang luncur. Faktor yang menentukan ketahanan
gesekan adalah: a) gaya saling menahan di antara dua bidang yang bergeser, dan
b) mekanisme saling mengunci di antara partikel-partikel yang bergeser. Untuk
kasus pertama, partikel hanya menggeser di atas partikel yang lain dan tidak terjadi
penambahan volume. Untuk kasus kedua, terjadi pemambahan volume karena partikel
yang bergeser mengatur kedudukannya sedemikian rupa, sehingga menyebabkan
keruntuhan. Ketahanan gesekan ditentukan oleh bentuk partikel. Pada partikel berbentuk
lempengan seperti liat, penambahan air mempercepat keruntuhan. Sebaliknya pada
partikel berbentuk butiran kuarsa dan feldspar, penambahan air memperlambat
keruntuhan.
Bahan
induk tanah
Sifat bahan induk tanah ditentukan
oleh asal batuan dan komposisi mineralogi yang berpengaruh terhadap kepekaan
erosi dan longsor. Di daerah pegunungan, bahan induk tanah didominasi oleh
batuan kokoh dari batuan volkanik, sedimen, dan metamorfik. Tanah yang terbentuk
dari batuan sedimen, terutama batu liat, batu liat berkapur atau marl dan batu
kapur, relatif peka terhadap erosi dan longsor. Batuan volkanik umumnya tahan
erosi dan longsor. Salah satu ciri lahan peka longsor adalah adanya rekahan
tanah selebar > 2 cm dan dalam >50 cm yang terjadi pada musim kemarau.
Tanah tersebut mempunyai sifat mengembang pada kondisi basah dan mengkerut pada
kondisi kering, yang disebabkan oleh tingginya kandungan mineral liat tipe 2:1
seperti yang dijumpai pada tanah Grumusol (Vertisols). Pada kedalaman tertentu
dari tanah Podsolik atau Mediteran terdapat akumulasi liat (argilik) yang pada
kondisi jenuh air dapat juga berfungsi sebagai bidang luncur pada kejadian
longsor.
Elevasi
Elevasi adalah istilah lain dari
ukuran ketinggian lokasi di atas permukaan laut. Lahan pegunungan berdasarkan
elevasi dibedakan atas dataran medium (350-700 m dpl) dan dataran tinggi
(>700 m dpl). Elevasi berhubungan erat
dengan jenis komoditas yang sesuai untukmempertahankan
kelestarian lingkungan. Badan Pertanahan Nasional menetapkan lahan pada
ketinggian di atas 1.000 m dpl dan lereng > 45% sebagai kawasan usaha
terbatas, dan diutamakan sebagai kawasan hutan lindung. Sementara, Departemen
Kehutanan menetapkan lahan dengan ketinggian > 2.000 m dpl dan/ atau lereng
> 40% sebagai kawasan lindung (protection zone).
Lereng
Lereng atau kemiringan lahan adalah
salah satu faktor pemicu terjadinya erosi dan longsor di lahan pegunungan.
Peluang terjadinya erosi dan longsor makin besar dengan makin curamnya lereng.
Makin curam lereng, makin besar pula volume dan kecepatan aliran permukaan yang
berpotensi menyebabkan erosi. Selain kecuraman, panjang lereng juga menentukan
besarnya longsor dan erosi. Makin panjang lereng, erosi yang terjadi makin besar.
Pada lereng >40% longsor terjadi, terutama disebabkan oleh pengaruh gaya
gravitasi. Kondisi wilayah/lereng dikelompokkan sebagai berikut (Departemen
Pertanian, 2006) :
ü Datar
: lereng < 3%, dengan beda tinggi < 2 m.
ü Berombak
: lereng 3-8%, dengan beda tinggi 2-10 cm.
ü Bergelombang
: lereng 8-15%, dengan beda tinggi 10-50 cm.
ü Berbukit
: lereng 15-30%, dengan beda tinggi 50-300 cm.
ü Bergunung
: lereng >30%, dengan beda tinggi >300 cm.
Erosi dan longsor sering terjadi di
wilayah berbukit dan bergunung, terutama pada tanah berpasir (Regosol atau
Psamments), Andosol (Andisols), tanah dangkal berbatu (Litosol atau Entisols),
dan tanah dangkal berkapur (Renzina atau Mollisols). Di wilayah bergelombang,
intensitas erosi dan longsor agak berkurang, kecuali pada tanah Podsolik
(Ultisols), dan Grumusol (Vertisols) yang terbentuk dari batuan induk batuliat,
napal, dan batukapur dengan kandungan liat 2:1 (Montmorilonit) tinggi, sehingga
pengelolaan lahan yang disertai oleh tindakan konservasi sangat diperlukan.
Dalam sistem budidaya pada lahan berlereng >15% lebih diutamakan campuran
tanaman semusim dengan tanaman tahunan atau sistem wanatani (agroforestry).
Pengendalian
longsor
Daerah rawan longsor harus
dijadikan areal konservasi, sehingga bebas dari kegiatan pertanian, pembangunan
perumahan, dan infrastruktur. Apabila lahan digunakan untuk perumahan maka
bahaya longsor akan meningkat, sehingga dapat mengancam keselamatan penduduk di
daerah tersebut dan di sekitarnya. Penerapan teknik pengendalian longsor diarahkan
ke daerah rawan longsor yang sudah terlanjur dijadikan lahan pertanian. Areal
rawan longsor yang belum dibuka direkomendasikan untuk tetap dipertahankan
dalam kondisi vegetasi permanen, seperti cagar alam (sanctuary reserve
area), kawasan konservasi (conservation zone), dan hutan
lindung (protection forest).
Pengendalian longsor dapat
direncanakan dan diimplementasikan melalui pendekatan mekanis (sipil teknis)
dan vegetatif atau kombinasi keduanya. Pada kondisi yang sangat parah,
pendekatan mekanis seringkali bersifat mutlak jika pendekatan vegetatif saja
tidak cukup memadai untuk menanggulangi longsor. Identifikasi dan Delineasi Daerah Rawan Longsor
Setiap jenis tanah mempunyai tingkat
kepekaan terhadap longsor yang berbeda. Langkah antisipatif yang perlu
dilakukan adalah memetakan sebaran jenis tanah pada skala 1:25.000 atau skala
lebih besar (1:10.000) pada hamparan lahan yang menjadi sasaran pembangunan
pertanian tanaman hortikultura, tanaman pangan, atau tanaman perkebunan. Berdasarkan
peta-peta tersebut dapat didelineasi bagian-bagian dari hamparan lahan yang
peka terhadap longsor dengan menggunakan nilai atau skor seperti dalam Tabel 2.
Kepekaan tanah terhadap longsor
dinilai dengan cara menjumlahkan skor dari masingmasing faktor. Tanah dengan
jumlah skor 6-10 digolongkan sebagai lahan dengan tingkat kepekaan rendah, skor
11-15 kepekaan sedang, dan 16-22 kepekaan tinggi. Lahan dengan tingkat kepekaan
tinggi tidak direkomendasikan untuk budidaya pertanian, pebangunan infrastruktur,
atau perumahan, tetapi dipertahankan sebagai vegetasi permanen (hutan).
Penerapan teknik pengendalian longsor
didasarkan atas konsep pengelolaan DAS. Dalam hal ini kawasan longsor dibagi ke
dalam tiga zona, yaitu: (1) hulu, zona paling atas dari lereng yang longsor,
(2) punggung, zona longsor yang berada di antara bagian hulu dan kaki kawasan longsor,
dan (3) kaki, zona bawah dari lereng yang longsor dan merupakan zona penimbunan
atau deposisi bahan yang longsor. Pengelolaan masing-masing segmen ditunjukkan
dalam Tabel 3. Pada masing-masing zona diterapkan teknik penanggulangan longsor
dengan pendekatan vegetatif atau mekanis.
Teknik
Pengendalian Longsor
Vegetatif
Pengendalian longsor dengan
pendekatan vegetatif pada prinsipnya adalah mencegah air terakumulasi di atas
bidang luncur (Departemen Pertanian, 2006). Sangat dianjurkan menanam jenis
tanaman berakar dalam, dapat menembus lapisan kedap air, mampu merembeskan air
ke lapisan yang lebih dalam, dan mempunyai massa yang relatif ringan. Jenis tanaman
yang dapat dipilih di antaranya adalah sonokeling, akar wangi, flemingia, kayu
manis, kemiri, cengkeh, pala, petai, jengkol, melinjo, alpukat, kakao, kopi,
teh, dan kelengkeng.
Mekanis/Sipil
Teknis
Ada beberapa pendekatan mekanis
atau sipil teknis yang dapat digunakan untuk mengendalikan longsor, sesuai
dengan kondisi topografi dan besar kecilnya tingkat bahaya longsor. Pendekatan
mekanis pengendalian longsor meliputi (Departemen Pertanian, 2004): (1)
pembuatan saluran drainase (Saluran pengelak, saluran penangkap, saluran
pembuangan), (2) pembuatan bangunan penahan material longsor, (3) pembuatan
bangunan penguat dinding/tebing atau pengaman jurang, dan (4) pembuatan
trap-trap terasering.
Saluran
drainase
Tujuan utama pembuatan saluran
drainase adalah untuk mencegah genangan dengan mengalirkan air aliran
permukaan, sehingga kekuatan air mengalir tidak merusak tanah, tanaman,
dan/atau bangunan konservasi lainnya. Di areal rawan longsor, pembuatan saluran
drainase ditujukan untuk mengurangi laju infiltrasi dan perkolasi, sehingga
tanah tidak terlalu jenuh air, sebagai faktor utama pemicu terjadinya longsor.
Bentuk saluran drainase, khususnya di lahan usahatani dapat dibedakan menjadi
(Departemen Pertanian, 2006): (a) Saluran pengelak, (b) saluran teras, dan (c) saluran
pembuangan air, termasuk bangunan terjunan.
Bangunan
Penahan Material Longsor
Konstruksi bangunan penahan
material longsor bergantung pada volume longsor. Jika longsor termasuk kategori
kecil, maka konstruksi bangunan penahan dapat menggunakan bahan yang tersedia
di tempat, misalnya bambu, batang dan ranting kayu. Apabila longsor termasuk
kategori besar, diperlukan konstruksi bangunan beton penahan yang permanen.
Beton penahan ini umumnya dibangun di tebing jalan atau tebing sungai yang
rawan longsor.
Bangunan
penguat tebing
Bangunan ini berguna untuk
memperkuat tebing-tebing yang rawan longsor, berupa konstruksi beton atau
susunan bronjong (susunan batu diikat kawat). Konstruksi bangunan menggunakan
perhitungan teknik sipil kering.
Sistim
Usahatani Konservasi pada Lahan Berlereng
Erosi di lahan-Iahan dataran tinggi
perlu dicegah, mengingat dua alasan yang kuat yaitu alasan teoritis dan
kenyataan yang terjadi di lapangan (Idjudin, 2009). Alasan teoritis, karena faktor
pembentukan tanah, antara lain waktu yang cukup lama (untuk membentuk tanah setebal
1 inchi memerlukan waktu antara 300 - 1.000 tahun). Alasan berdasarkan
kenyataan telah banyak bukti-bukti terjadinya lahan rusak bahkan berupa
gurun-gurun pasir (sejarah kerajaan purba abad ke-20).
Prinsip
usahatani konservasi
Budidaya pertanian di lahan
berlereng meliputi dua kegiatan pokok, yaitu kegiatan usahatani dan kegiatan
konservasi. Kedua kegiatan pada sebidang lahan pertanian terintegrasi menjadi
sistem usahatani (SUT) konservasi. Teknologi SUT konservasi yang diterapkan di DAS
Citanduy (Jawa Barat), DAS Jratunseluna (Jawa Tengah), dan DAS Brantas (Jawa
Timur) menggunakan faktor kemiringan lahan, kedalaman tanah, dan kepekaan tanah
terhadap erosi sebagai kriteria pengembangan model-model SUT konservasi
(Basid,1999).
Berdasarkan kriteria tersebut
disusun matrik seperti ditunjukkan pada Tabel 4. Tabel 4 menunjukkan matrik
pemilihan konservasi tanah mekanis dan komposisi tanaman semusim dan tanaman
tahunan berdasarkan kondisi kemiringan lahan, kedalaman tanah, dan kepekaaan
tanah terhadap erosi lahan usahatani. Teras bangku tidak dianjurkan pada tanah
yang bersolum dangkal dan kemiringannya sangat terjal (>40%). Pada tanah
yang dangkal dianjurkan membuat teras gulud, budidaya lorong, atau pagar hidup.
Pembuatan teras bangku relatif lebih mahal dan lebih sulit dibandingkan dengan
teknik konservasi mekanis lainnya. Dengan mempertimbangkan faktor biaya dan
tingkat kesulitan pembuatannya, disarankan untuk memilih teknik konservasi
tanah selain teras bangku. Semua jenis teras harus disertai dengan penanaman
tanaman penguat teras, seperti rumput dan legum yang juga merupakan sumber
pakan ternak. Tanaman tahunan yang ada pada sistem pertanaman lorong dan pagar
hidup dapat diperhitungkan sebagai bagian dari tanaman tahunan (Tabel 4).
Teknik
Pengendalian Erosi
Secara garis besar, teknik
pengendalian erosi dibedakan menjadi dua, yaitu teknik konservasi mekanik dan
vegetatif (Arsyad, 2000). Konservasi tanah secara mekanik adalah semua
perlakuan fisik mekanis dan pembuatan bangunan yang ditujukan untuk mengurangi aliran
permukaan guna menekan erosi dan meningkatkan kemampuan tanah mendukung
usahatani secara berkelanjutan. Pada prinsipnya konservasi mekanik dalam
pengendalian erosi harus selalu diikuti oleh cara vegetatif, yaitu penggunaan
tumbuhan/tanaman dan sisa-sisa tanaman/tumbuhan (misalnya mulsa dan pupuk hijau),
serta penerapan pola tanam yang dapat menutup permukaan tanah sepanjang tahun.
Teras bangku
Teras bangku atau teras tangga
dibuat dengan cara memotong panjang lereng dan meratakan tanah di bagian
bawahnya, sehingga terjadi deretan bangunan yang berbentuk seperti tangga. Pada
usahatani lahan kering, fungsi utama teras bangku adalah: (1) memperlambat
aliran permukaan; (2) menampung dan menyalurkan aliran permukaan dengan
kekuatan yang tidak sampai merusak; (3) meningkatkan laju infiltrasi; dan (4)
mempermudah pengolahan tanah.
Teras bangku dapat dibuat datar
(bidang olah datar, membentuk sudut 00 dengan bidang horizontal), miring ke
dalam/goler kampak (bidang olah miring beberapa derajat ke arah yang berlawanan
dengan lereng asli), dan miring ke luar (bidang olah miring ke arah lereng
asli). Teras biasanya dibangun di ekosistem lahan sawah tadah hujan, lahan tegalan,
dan berbagai sistem wanatani. Teras bangku miring ke dalam (goler kampak) dibangun
pada tanah yang permeabilitasnya rendah, dengan tujuan agar air yang tidak
segera terinfiltrasi menggenangi bidang olah dan tidak mengalir ke luar melalui
talud di bibir teras. Teras bangku miring ke luar diterapkan di areal di mana
aliran permukaan dan infiltrasi dikendalikan secara bersamaan, misalnya di
areal rawan longsor. Teras bangku goler kampak memerlukan biaya relatif lebih
mahal dibandingkan dengan teras bangku datar atau teras bangku miring ke luar,
karena memerlukan lebih banyak penggalian bidang olah.
Efektivitas teras bangku sebagai pengendali
erosi akan meningkat bila ditanami dengan tanaman penguat teras di bibir dan
tampingan teras. Rumput dan legum pohon merupakan tanaman yang baik untuk
digunakan sebagai penguat teras. Tanaman murbei sebagai tanaman penguat teras
banyak ditanam di daerah pengembangan ulat sutra. Teras bangku adakalanya dapat
diperkuat dengan batu yang disusun, khususnya pada tampingan. Model seperti ini
banyak diterapkan di kawasan yang berbatu.
Beberapa hal yang perlu mendapat
perhatian dalam pembuatan teras bangku adalah: a) dapat diterapkan pada lahan
dengan kemiringan 10-40%, tidak dianjurkan pada lahan dengan kemiringan >40%
karena bidang olah akan menjadi terlalu sempit, b) tidak cocok pada tanah
dangkal <40 cm), e) tidak cocok pada lahan usaha pertanian yang menggunakan
mesin pertanian, d) tidak dianjurkan pada tanah dengan kandungan aluminium dan
besi tinggi, dan e) Tidak dianjurkan pada tanah-tanah yang mudah longsor.
Teras gulud
Teras gulud adalah barisan guludan
yang dilengkapi dengan saluran air di bagian belakang gulud. Metode ini dikenal
pula dengan istilah guludan bersaluran. Bagian-bagian dari teras gulud terdiri
atas guludan, saluran air, dan bidang olah. Fungsi dari teras gulud hampir sama
dengan teras bangku, yaitu untuk menahan laju aliran permukaan dan meningkatkan
penyerapan air ke dalam tanah. Saluran air dibuat untuk mengalirkan aliran
permukaan dari bidang olah ke saluran pembuangan air. Untuk meningkatkan
efektivitas teras gulud dalam menanggulangi erosi dan aliran permukaan, guludan
diperkuat dengan tanaman penguat teras. Jenis tanaman yang dapat digunakan
sebagai penguat teras bangku juga dapat digunakan sebagai tanaman penguat teras
gulud. Sebagai kompensasi dari kehilangan luas bidang olah, bidang teras gulud
dapat pula ditanami dengan tanaman bernilai ekonomi (cash crops),
misalnya tanaman katuk dan cabai rawit.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan
dalam pembuatan teras gulud: a) teras gulud cocok diterapkan pada lahan dengan
kemiringan 10-40%, dapat juga pada lahan dengan kemiringan 40-60% namun relatif
kurang efektif, dan b) pada tanah yang permeabilitasnya tinggi, guludan dapat
dibuat menurut arah kontur. Pada tanah yang permeabilitasnya rendah, guludan
dibuat miring terhadap kontur, tidak lebih dari 1% ke arah saluran pembuangan.
Hal ini ditujukan agar air yang tidak segera terinfiltrasi ke dalam tanah dapat
tersalurkan ke luar ladang dengan kecepatan rendah.
Teras individu
Teras individu adalah teras yang
dibuat pada setiap individu tanaman, terutama tanaman tahunan. Jenis teras ini
biasa dibangun di areal perkebunan atau pertanaman buah-buahan.
Teras kebun
Teras kebun adalah jenis teras
untuk tanaman tahunan, khususnya tanaman perkebunan dan buah-buahan. Teras
dibuat dengan interval yang bervariasi menurut jarak tanam. Pembuatan teras
bertujuan untuk: (1) meningkatkan efisiensi penerapan teknik konservasi tanah,
dan (2) memfasilitasi pengelolaan lahan (land management facility) di
antaranya untuk fasilitas jalan kebun, dan penghematan tenaga kerja dalam
pemeliharaan kebun.
Rorak
Rorak merupakan lubang penampungan
atau peresapan air, dibuat di bidang olah atau saluran resapan. Pembuatan rorak
bertujuan untuk memperbesar peresapan air ke dalam tanah dan menampung tanah
yang tererosi. Pada lahan kering beriklim kering, rorak berfungsi sebagai
tempat pemanen air hujan dan aliran permukaan.
Dimensi rorak yang disarankan sangat
bervariasi, misalnya kedalaman
60 cm, lebar 50 cm, dan panjang berkisar antara 50-200 cm. Panjang rorak
dibuat sejajar kontur atau memotong lereng. Jarak ke samping antara satu rorak
dengan rorak lainnya berkisar 100-150 cm, sedangkan jarak horizontal 20 m pada
lereng yang landai dan agak miring sampai 10 m pada lereng yang lebih curam
(Departemen Pertanian, 2006).
Dimensi rorak yang akan dipilih
disesuaikan dengan kapasitas air atau sedimen dan bahan-bahan terangkut lainnya
yang akan ditampung. Sesudah periode waktu tertentu, rorak akan terisi oleh
tanah atau serasah tanaman. Agar rorak dapat berfungsi seeara terusmenerus, bahan-bahan
yang masuk ke rorak perlu diangkat ke luar atau dibuat rorak yang baru.
Komponen
Teknologi SUT Konservasi
Tanaman penutup tanah sebagai pupuk hijau
Tanaman penutup tanah pada umumnya adalah
jenis legum menjalar yang ditanam di antara tanaman tahunan, secara bergilir
dengan tanaman semusim atau tanaman tahunan dan sebagai tanaman pemula (pionir)
untuk rehabilitasi lahan kritis. Fungsi tanaman penutup adalah untuk menutupi
tanah dari terpaan langsung air hujan, rehabilitasi lahan kritis, menjaga
kesuburan tanah, dan menyediakan bahan organik. Berbagai tanaman legum seperti stilo
(Stylosanthes sp.),
sentro (Centrosema sp.), kalopo (Calopogonium sp.), puero atau kudu
(Pueraria sp.), dan Arachis sp.
Mulsa bahan hijauan
Mulsa dapat berasal dari hijauan
hasil pangkasan tanaman pagar, tanaman strip rumput, dan sisa tanaman. Bahan
tersebut disebarkan di atas permukaan tanah secara rapat untuk menghindari
kerusakan permukaan tanah dari terpaan hujan. Bahan hijauan atau sisa tanaman
juga dapat ditumpuk memanjang searah kontur, terutama bagi bahan hijauan yang mempunyai
struktur memanjang seperti batang dan daun jagung atau jerami padi dengan
maksud menghambat laju aliran permukaan (Suwardjo et al., 1989).
Mulsa biasanya merupakan kombinasi
antara sisa tanaman yang cepat melapuk dan lambat melapuk. Bahan hijauan atau
biomassa yang cepat melapuk (seperti sisa tanaman kacang-kacangan) berguna
untuk memperbaiki struktur tanah dan menyediakan hara secara cepat, sedangkan
biomassa yang relatif lambat melapuk (seperti jerami padi, batang jagung)
berguna untuk menghambat laju aliran permukaan.
IMPLIKASI KEBIJAKAN PERKEBUNAN
Sistem tanah adalah hasil
perkembangan selama jutaan tahun di bawah pengaruh banyak faktor. Sebagian
faktor melibatkan pengaruh lingkungan alami dan yang lain berkaitan dengan pengaruh
imbasan manusia. Dampak pengaruh dapat berupa perubahan kuantitas dan/atau kualitas.
Perubahan tanah. Dapat berpengaruh balik ke lingkungan. Kegiatan faktor
lingkungan yang bermaslahat ialah pengubah batuan dasar yang semula tidak
berharkat pertanian menjadi tanah yang berharkat pertanian. Lingkungan yang mendorong
terjadinya erosi tanah adalah contoh pengaruh buruk atas tanah.
Tanah yang berkemampuan mengekang
persebaran zat-zat pencemar dari sumber baur ke badan-badan air (pestisida,
pupuk) termasuk pengaruh baik tanah atas lingkungan. Pengaruh buruk tanah atas lingkungan
adalah pencurahan bahan erosi ke lahan hilir yang menurunkan kualitas tanah, ke
badan air yang menurunkan kapasitas salur/ simpan air, dan perentanan badan air
terhadap etrovikasi oleh lindian fosfat.
Institusi yang berwenang dan
terlibat dalam fasilitasi pengelolaan lahan dataran tinggi seyogyanya mempunyai
persepsi yang sama tentang SUT konservasi. Departemen Pertanian melalui
Peraturan Menteri Pertanian No. 47/ Pemerintah/OT.140/10/2006 telah menerbitkan
buku tentang Pedoman Umum Budidaya Pertanian Pada Lahan Pegunungan pada tahun
2006 sebagai acuan bagi terwujudnya sistem usahatani berkelanjutan pada dataran
tinggi/ lahan pegunungan. Hal ini merupakan landasan yang kuat untuk
memantapkan koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan sinergisme kegiatan sektor
atau sub-sektor di lapangan. Prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan yang
dianut internasional supaya dipertimbangkan untuk memperkuat dukungan politik
terhadap pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya lahan di daerah pegunungan.
Prinsip keberlanjutan adalah: (1) kerusakan hutan dan lahan tidak lebih cepat
dari regenerasi hutan dan lahan, (2) kepunahan jenis atau spesies tidak
melebihi evolusi jenis atau spesies itu sendiri, (3) laju erosi tanah tidak
lebih cepat dari pembentukan tanah, (4) emisi karbon tidak lebih tinggi dari fiksasi
karbon, dan (5) permintaan akan produk pertanian tidak lebih banyak dari
produksi pertanian.
Prinsip-prinsip pembangunan
berwawasan lingkungan dimaksudkan memperluas wawasan pengelolaan dan
pemanfaatan sumberdaya lahan, menggalang koordinasi, integrasi, sinkronisasi
dan sinergisme antar-pemerintah daerah yang menguasai satu atau lebih kawasan
DAS. Prinsip pembangunan berwawasan lingkungan adalah: (1) pembangunan
dirancang dengan memperhatikan aspirasi pengguna dan melibatkan pengguna, (2)
sasaran pembangunan dirancang tidak berdasarkan batas administrasi pemerintahan,
melainkan berdasarkan batas agroekologi, (3) aspek yang ditangani dalam pembangunan
bersifat holistik, (4) pendekatan sistem (untuk pertanian pendekatan sistem usahatani),
(5) perhatian terhadap kelestarian lingkungan, (6) keterkaitan antara DAS
hulutengah-hilir dipertimbangkan, (7) koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan
sinergisme antara instansi yang berwenang, dan (8) hukum diterapkan secara
konsekuen.
DAFTAR
PUSTAKA
Arsyad, S. 2000. Pengawetan Tanah dan Air. Departemen
Ilmu-llmu Tanah. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Basid, A. 1999. Analisis ekonomi penerapan teknologi
usahatani konservasi pada lahan kering berlereng di wilayah hulu DAS
jratunseluna jawa Tengah.
Brown, R.E, J.L. Havlin, D.J. Lyons, C.R. Fenster,
and G.A. Peterson. 1991. Longterm tillage and nitrogen effects on wheat
production in a wheat fallow rotation. p. 326 In Agronomy Abstracts. Annual
Meetings ASA, CSSA, and SSSA (Denver Colorado, Oct 27-Nov 1, 1991).
Departemen Pertanian, 2006. Peraturan Menteri Pertanian
Nomor: 47/Permentan/ OT.140/10/2006 Tentang Pedoman Umum Budidaya Pertanian
pada Lahan Pegunungan. Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian.
Idjudin, A.A. 2010. Diagnosis Kerusakan Lahan Pulau
Yamdena, dan Arahan Kebijakan serta Penyusunan Tata Ruang Wilayahnya. Disampaikan
pada acara Diskusi antara KTI dan Kementerian Kehutanan di Jakarta, 9-12-2010.
Hlm 15.
Gill, W.R. and G.E. Vanden Berg. 1967. Soil Dynamics
in Tillage a USDA Agric. Handb. N. 316. U.S. Government Printing, Washington,
DC
Idjudin, A.A. 2006. Dampak Penerapan Teknik Konervasi
di Lahan terhadap Produktivitasnya. Disertasi Doktor Sekolah Pasca Sarjana.
James, B.R. 1995. Conception of an idea: an International
Center for S,Society. Bulletin ISSS 89:65-67.
Ketcheson, J.W. 1980. Effect of tillage on fertilizer
requirements for corn on as - loam soil. Agron. J. 72: 40-542.
Larson, W.E. and G.J. Osborne. 1982. Tillage accomplishments
and potential. In Predicting Tillage Effects on Soil Physical Properties
and Processes. ASA Special Publication No. 44.
Notohadiprawiro, T. 2000. Tanah dan Lingkungan. Pusat
Studi Sumberdaya Lahan UGM. P3HTA (Proyek Penelitian Penyelamatan Hutan, Tanah
dan Air). 1990. Petunjuk teknis usaha tani konservasi daerah limpasan sungai. Dalam
Sukmana et al. (Eds.) Badan Litbang Pertanian. Jakarta.
Pankhurst, C.E. and J.M. Lynch. 1993. The role of
soil biota in sustainable agriculture. Pp 3-9. In C.E. Pankhurst, B.M.
Daube, V.V.S.R. Gupta, and P.R. Grace (Eds.) Soil Biota: Management in
Sustainable Farming Systems. CSIRO Press, Melbourne, Australia.
Philips, S.H. and H.M. Young Jr. 1973. Notillage Farming.
Reiman Associate, Milwauke, Wisconsin.
Rachman, A., A. Dariah, dan E. Husen, 2004. Olah
Tanah Konservasi. Teknologi Konservasi Tanah pada Lahan Kering. Puslitbangtanak.
Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian 2004.
Rao, S.C. and T.H. Dao. 1991. Tillage and N manajemen
effects on the yield and Nuse efficiency in winter wheat. P. 339. In Agronomy
Abstract. Annual Meeting, ASA, CSSA, and SSSA, Denver Colorado, Oct. 27-Nov. 1,
1991.
Sinukaban, N. 1990. Pengaruh pengolahan tanah
konservasi dan pemberian mulsa jerami terhadap produksi tanaman pangan dan
erosi hara. Pembrit. Penel. Tanah dan Pupuk 9:32-38.
Suwardjo. 1981. Peranan Sisa-sisa Tanaman dalam
Konservasi Tanah dan Air pada Usaha Tani Tanaman Semusim. Disertasi doctor
Sekolah Pasca Sarjana. IPB.
Suwardjo, H., A. Abdurachman, and S. Abujamin. 1989.
The use of c mulch to minimize tillage frequency. Pembrit. Penel. Tanah dan
Pupuk 31-37.
Swan, J.B., W.H. Paulson, A.E. Peterson, and R.L.
Higgs. 1991. Tillage management effetcs on seedbed physical conditions corn gr
yield. p. 343. In Agronomy Abstract. Annual Meetings, ASA, CSS SSSA,
Denver Colorado, Oct. 27 - Nov. 1, 1991.
Utomo, M. 1995. Kekerasan tanah dan serapan hara
tanaman jagung pada olah tanah konservasi jangka panjang. J. Tanah Trop. 1:1-7.
Wagger, M.G., and H.P. Denton. 1991. Consequences of
continuous and alternating tillage regimes on residue cover and grain yield in
a corn-soybean rotation. p. 344 In Agronomy Abstracts. Annual Meetings ASA,
CSSA, SSSA, Denver Colorado, Oct 27 - Nov 1, 1991.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar