Senin, 22 April 2013

REHABILITASI LAHAN TERDEGRADASI


REHABILITASI LAHAN TERDEGRADASI MELALUI PENAMBAHAN AMELIORAN GAMBUT DAN JERAMI



PAPER



OLEH :


FIZRI ZULKARNAEN SIREGAR / 110301052
AGROEKOTEKNOLOGI 1












PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2013


KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena  berkat rahmat dan lindungan-Nya maka penulis dapat menyelesaikan artikel ini tepat pada waktunya.
Adapun   judul    dari   artikel   ini    adalah   “REHABILITASI LAHAN TERDEGRADASI MELALUI PENAMBAHAN AMELIORAN GAMBUT DAN JERAMI”  yang   merupakan   tugas matakuliah Pengelolaan Tanah dan Air, Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.
Pada kesempatan   ini    penulis   mengucapkan   terima   kasih     kepada   Dr. Ir. Hamidah Hanum, MP yang merupakan Dosen Pengampu Matakuliah Pengelolaan Tanah dan Air yang telah membantu penulis sehingga artikel ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Penulis menyadari bahwa artikel ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan artikel ini. Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih.




Medan,      Desember 2012

Penulis

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................... i
DAFTAR ISI......................................................................................................... ii
PENDAHULUAN
Latar Belakang............................................................................................... 1
Tujuan Penulisan............................................................................................ 2

TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian Lahan Kering............................................................................... 3
Tanah Mineral Masam dan Penyebarannya.................................................... 4
Kesuburan Tanah........................................................................................... 7

PERMASALAHAN KESUBURAN TANAH................................................. 10
PENGELOLAAN KESUBURAN TANAH
Konsep LEIA, LLEISA, dan HEIA........................................................... 14
Konsep Mekanik dan Vegetatif.................................................................. 23

PENUTUP
Kesimpulan.................................................................................................. 29
Saran............................................................................................................ 29

DAFTAR PUSTAKA          30

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Lahan adalah salah satu sistem bumi, yang bersama dengan sistem bumi yang lain, yaitu air alam dan atmosfer, menjadi inti fungsi, perubahan, dan kemantapan ekosistem. Tanah berkedudukan khas dalam masalah lingkungan hidup, merupakan kimah (aset) lingkungan dan membentuk landasan hakiki bagi kemanusiaan (James, 1995).
Fungsi-fungsi vital yang dikerjakan tanah dalam ekosistem mencakup: a) memberlanjutkan kegiatan, keaneka ragaman, dan produktivitas hayati, b) mengatur dan membagi-bagi aliran air dan larutan, c) menyaring, menyangga, mendegradasi, imobilisasi, dan detoksifikasi bahan-bahan organik dan anorganik, termasuk hasil samping industri dan kota serta endapan atmosfir, d) menyimpan dan mendaurkan hara dan unsur-unsur lain di dalam biosfir bumi, dan e) memberikan topangan bagi bangunan sosio ekonomi dan perlindungan bagi pemukiman manusia. Untuk keberlanjutan peri kehidupan dan menjamin kesejahteraannya, manusia tidak mungkin mengabaikan upaya mencegah degradasi berbagai fungsi tanah.
Tanah di manapun keberadaannya merupakan komponen lingkungan hidup yang secara mutlak harus dilindungi atau dihindarkan dari dampak yang merugikan, maka konservasi tanah menjadi suatu keharusan bagi membuat lingkungan hidup terhunikan (Notohadipawiro, 2000; Idjudin, 2006).
Cerapan (perception) kebanyakan orang tentang mutu lingkungan selalu dilihat dari sisi air dan udara. Mereka dapat menghargai air dan udara yang bersih dan segar. Dibandingkan dengan penghargaan terhadap air dan udara, penghargaan kebanyakan orang terhadap tanah tetap rudimenter (James, 1995).
Sudah ada peraturan perundang-undangan mengenai baku mutu air dan udara, akan tetapi hingga saat ini belum terwujud undang-undang yang mengatur baku mutu tanah. Dari perspektif ilmu dan lingkungan, tanah adalah ekosistem yang beraneka pada skala lokal dan sumberdaya alam yang sangat heterogen dari segi kimia, fisik, dan hayati. Maka tanah menjadi penentu kapasitas lahan dalam produksi biomassa berguna, seperti dalam budidaya pertanian, perkebunan, dan kehutanan (Idjudin, 2010).
Budidaya perkebunan di dataran tinggi dihadapkan pada faktor pembatas biofisik seperti lereng yang relatif curam, kepekaan tanah terhadap erosi dan longsor dan curah hujan yang tinggi. Kesalahan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya lahan di dataran tinggi dapat menimbulkan kerusakan biofisik berupa degradasi kesuburan tanah dan ketersediaan air yang dampaknya tidak hanya dirasakan oleh masyarakat di lahan dataran tinggi, tetapi juga di bagian hilirnya.
Sekitar 45% wilayah Indonesia berupa dataran tinggi perbukitan dan pegunungan yang dicirikan oleh topo-fisiografi yang sangat beragam, sehingga praktek budidaya pertanian di lahan dataran tinggi memiliki posisi strategis dalam pembangunan pertanian nasional. Selain memberikan manfaat bagi jutaan petani, lahan dataran tinggi juga berperan penting dalam menjaga fungsi lingkungan daerah aliran sungai (DAS) dan penyangga daerah di bawahnya                   (Departemen Pertanian, 2006).
Tanaman pekebunan seperti kopi, teh, kina, dan berbagai jenis buah buahan juga banyak diproduksi di lahan pegunungan. Lahan pegunungan yang merupakan hulu DAS juga berperan penting dalam menjaga tata air DAS itu sendiri, mempertahankan keanekaragaman hayati, mengendalikan erosi, dan menambat karbon di atmosfer sehingga mengurangi pemanasan global (Departemen Pertanian, 2006).
Berbagai tanaman hortikultura, tanaman perkebunan, tanaman pangan, dan ternak dihasilkan di lahan pegunungan. Sebagian besar tanaman sayursayuran dan bunga-bungaan dihasilkan di tanah Andisols dan Alfisols dengan elevasi berkisar antara 350-1.500 m di atas permukaan laut (dpl).
Walaupun berpeluang untuk budidaya pertanian, lahan pegunungan rentan terhadap longsor dan erosi, karena tingkat kemiringannya, curah hujan relatif lebih tinggi, dan tanah tidak stabil. Bahaya longsor dan erosi akan meningkat apabila lahan pegunungan yang semula tertutup hutan dibuka menjadi areal pertanian tanaman semusim yang tidak menerapkan praktek konservasi tanah dan air, atau menjadi areal peristirahatan dengan segala fasilitas yang tidak ramah lingkungan.
Dalam beberapa tahun terakhir, bencana alam banjir dan longsor makin meningkat, baik daya rusak maupun intensitasnya. Bencana tersebut telah menimbulkan banyak korban manusia, harta, lahan pertanian, infrastruktur dan sebagainya. Degradasi lahan juga semakin meningkat dan meluas, terutama akibat tingginya tingkat erosi tanah, khususnya di daerah pegunungan. Longsor dan erosi di kawasan pegunungan selain ditentukan oleh karakteristik lahan dan kondisi iklim juga dipengaruhi oleh sistem dan teknik budidaya pertanian di wilayah tersebut (Departemen Pertanian, 2006).
Materi yang dikemukakan dalam makalah ini meliputi aspek pengolahan tanah, faktor penentu kepekaan lahan terhadap longsor dan erosi, teknologi pengendalian longsor, teknologi budidaya pada sistem usahatani konservasi, dan implikasi kebijakan. Substansi yang disampaikan bersifat umum, sebagai landasan bagi penyusunan petunjuk teknis oleh instansi yang berwenang di tingkat pusat dan daerah.
















TINJAUAN PUSTAKA
Pengolahan Lahan
Pengolahan tanah
Pengolahan tanah meliputi berbagai kegiatan fisik dan mekanik tanah yang bertujuan untuk membuat media perakaran tanaman lebih baik. Di negara maju, petani sudah sangat tergantung pada alat mesin pertanian (alsintan), baik untuk pengolahan tanah, penanaman benih, penyiangan gulma, maupun untuk pemanenan hasil (Rachman et al., 2004).
Berbagai macam alsintan untuk mengolah tanah terus dikembangkan, menghasilkan teknologi pengolahan tanah yang efisien. Petani tidak punya pilihan lain kecuali menggunakan mesin-mesin pertanian tersebut untuk meningkatkan hasil pertanian dan mengefisienkan usahataninya. Akibatnya, tanah diolah dengan intensitas pengolahan yang terus meningkat. Petani, pada awalnya, mendapatkan hasil panen yang tinggi, namun karena tanah terus-menerus diolah, akibatnya tanah mengalami penurunan produktivitas (Rachman et al., 2004).
Tanah yang diolah berlebihan tanpa tindakan konservasi akan menjadi lebih cepat kering, lebih halus (powdery), berstruktur buruk, dan kadar bahan organik tanahnya semakin rendah. Sebagai akibat dari pengolahan yang sangat intensif ini, pada tahun 1930-an, misalnya, terjadi tragedi hujan debu di Amerika Serikat yang menerbangkan debu dari lahan pertanian ke lautan Alantik                                (Rachman et al., 2004).
Pengolahan tanah dapat diartikan sebagai kegiatan manipulasi mekanik terhadap tanah (Arsyad, 2000). Tujuannya adalah untuk mencampur dan menggemburkan tanah, mengontrol tanaman pengganggu, mencampur sisa tanaman dengan tanah, dan menciptakan kondisi kegemburan tanah yang baik untuk pertumbuhan akar (Gill and Vanden Berg, 1967). Pengolahan tanah dikerjakan untuk menggemburkan tanah, memperdalam jeluk efektif untuk perakaran, dan memudahkan daya antar air dan udara (Notohadipawiro, 2000).
Setiap upaya pengolahan tanah akan menyebabkan terjadinya perubahan sifat-sifat tanah. Tingkat perubahan yang terjadi sangat ditentukan oleh jenis alat pengolahan tanah yang digunakan. Penggunaan cangkul, misalnya, relatif tidak akan banyak menyebabkan terjadinya pemadatan pada lapisan tanah bagian bawah. Namun demikian karena seringnya tanah terbuka, terutama antara dua musim tanam, maka lebih riskan terhadap dispersi agregat, erosi, dan proses iluviasi yang selanjutnya dapat memadatkan tanah (Pankhurst and Lunch, 1993).
Penggunaan alat berat akan menggemburkan tanah dan membolak-balikkan tanah sampai pada kedalaman 20 cm. Namun, pada waktu yang bersamaan roda traktor menyebabkan terjadinya pemadatan tanah dan berbagai efek negatif lainnya. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa pengolahan tanah yang berlebihan menjadi penyebab utama terjadinya kerusakan struktur tanah Suwardjo et al., 1989) dan kekahatan kandungan bahan organik tanah. Kepedulian terhadap efek kurang menguntungkan dari pengolahan tanah yang intensif mendorong para praktisi pertanian mencari alternatif penyiapan lahan yang lebih rasional terhadap kelestarian lingkungan hidup. Olah tanah konservasi (conservation tillage) menjadi alternatif penyiapan lahan yang dilaporkan dapat mempertahankan produktivitas tanah tetap tinggi (Wagger and Denton, 1991).
Namun demikian, terdapat beberapa hasil penelitian yang melaporkan terjadinya penurunan hasil tanaman akibat olah tanah konservasi (Ketcheson, 1980) atau tidak mempengaruhi hasil tanaman (Rao and Dao, 1991 dalam Rachman et al., 2004). Adanya kontradiksi hasil diduga disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain curah hujan dan tekstur tanah. Pada curah hujan yang rendah, olah tanah konservasi umumnya meningkatkan hasil tanaman.
Pengaruh yang sama diamati juga pada tanah yang bertekstur berat. Hal lain yang menentukan keberhasilan olah tanah konservasi adalah pemberian bahan organik dalam bentuk mulsa yang cukup, sehingga mampu menekan pertumbuhan gulma. Olah tanah konservasi (OTK) adalah cara penyiapan lahan yang menyisakan sisa tanaman di atas permukaan tanah sebagai mulsa dengan tujuan untuk mengurangi erosi dan penguapan air dari permukaan tanah (Rachman et al., 2004). Utomo (1995) mendefinisikan OTK sebagai suatu cara pengolahan tanah yang bertujuan untuk menyiapkan lahan agar tanaman dapat tumbuh dan berproduksi optimum, namun tetap memperhatikan aspek konservasi tanah dan air. Olah tanah konservasi dicirikan oleh berkurangnya pembongkaran/pembalikan tanah, penggunaan sisa tanaman sebagai mulsa, dan kadang-kadang disertai penggunaan herbisida untuk menekan pertumbuhan gulma atau tanaman pengganggu lainnya. Kelebihan penerapan sistem OTK dalam penyiapan lahan adalah: menghemat tenaga dan waktu, meningkatkan kandungan bahan organik tanah, meningkatkan ketersediaan air di dalam tanah, memperbaiki kegemburan tanah dan meningkatkan porositas tanah, mengurangi erosi tanah, memperbaiki kualitas air, meningkatkan kandungan fauna tanah, mengurangi penggunaan alsintan seperti traktor, menghemat penggunaan bahan bakar, dan memperbaiki kualitas udara (Rachman et al., 2004).
Peranan OTK dalam mengurangi erosi dan penguapan air dari permukaan tanah karena: (a) keberadaan sisa tanaman dalam jumlah memadai di permukaan tanah; (b) kondisi permukaan tanah yang kasar (rough), sarang (porous), berbongkah (cloddy), dan bergulud (ridged); atau (c) kombinasi dari keduanya (Mannering and Fenster, 1983). Dengan demikian, nampak jelas bahwa keefektifan OTK ditentukan oleh penggunaan sisa tanaman sebagai mulsa di permukaan tanah. Penggunaan mulsa tanpa dikaitkan dengan OTK adalah kurang efisien, tetapi penerapan OTK tanpa menggunakan mulsa adalah suatu kesalahan (Suwardjo, 1981).
Mulsa di permukaan tanah melindungi permukaan tanah dari energi hempasan butirbutir hujan, mengurangi terjadinya penyumbatan pori (soil crusting), sehingga meningkatkan volume air yang terinfiltrasi, dan dapat juga mengurangi daya angkut aliran permukaan (Rachman et al., 2004). Sedangkan kekasaran permukaan dapat meningkatkan kapasitas penyimpanan air di zona pengolahan tanah, mengurangi daya angkut aliran permukaan, dan mengurangi tingkat penyumbatan pori tanah. Beberapa cara penyiapan lahan yang akhirakhir ini banyak diperkenalkan adalah tanpa olah tanah (zero tillage), olah tanah seperlunya (reduced tillage), dan olah tanah strip (strip tillage), yang kesemuanya merupakan pengembangan dan memenuhi kriteria sebagai OTK                       (Rachman et al., 2004).


Kepekaan tanah terhadap longsor dan erosi
Pengetahuan tentang faktor penentu kepekaan tanah terhadap longsor dan erosi akan memperkaya kawasan dan memperkuat landasan dari pengambil keputusan, penanggungjawab lapangan, teknisi, penyuluh dan organisasi kemasyarakatan dalam menyusun program dan melaksanakan teknik penanggulangan longsor dan erosi di daerah kewenangannya                           (Departemen Pertanian, 2006).
Longsor dan erosi adalah proses berpindahnya tanah atau batuan dari satu tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah akibat dorongan air, angin, atau gaya gravitasi. Proses tersebut melalui tiga tahapan, yaitu pelepasan, pengangkutan atau pergerakan, dan pengendapan. Perbedaan menonjol dari fenomena longsor dan erosi adalah volume tanah yang dipindahkan, waktu yang dibutuhkan, dan kerusakan yang ditimbulkan. Longsor memindahkan massa tanah dengan volume yang besar, adakalanya disertai oleh batuan dan pepohonan, dalam waktu yang relatif singkat, sedangkan erosi tanah adalah memindahkan partikel-partikel tanah dengan volume yang relatif lebih kecil pada setiap kali kejadian hujan dan berlangsung dalam waktu yang relatif lama. Dua bentuk longsor yang sering terjadi di daerah pegunungan adalah (Departemen Pertanian, 2006): (1) guguran, yaitu pelepasan batuan atau tanah dari lereng curam dengan gaya bebas atau bergelinding dengan kecepatan tinggi sampai sangat tinggi. Bentuk longsor ini terjadi pada lereng yang sangat curam (>100%); (2) peluncuran, yaitu pergerakan bagian atas tanah dalam volume besar akibat keruntuhan gesekan antara bongkahan bagian atas dan bagian bawah tanah. Bentuk longsor ini umumnya terjadi apabila terdapat bidang luncur pada kedalaman tertentu dan tanah bagian atas dari bidang luncur tersebut telah jenuh air.
Sekitar 45% luas lahan di Indonesia berupa lahan pegunungan berlereng  yang peka terhadap longsor dan erosi (Tabel 1). Pegunungan dan perbukitan adalah hulu sungai yang mengalirkan air permukaan secara gravitasi melewati celah-celah lereng ke lahan yang letaknya lebih rendah. Keterkaitan antara daerah aliran sungai (DAS) hulu, tengah, dan hilir dijelaskan sebagai berikut: (1) penggundulan hutan di DAS hulu atau zona tangkapan hujan akan mengurangi resapan air hujan, dan karena itu akan memperbesar aliran permukaan. Aliran permukaan adalah pemicu terjadinya longsor dan/atau erosi dengan mekanisme yang berbeda; (2) budidaya pertanian pada DAS tengah atau zona konservasi yang tidak tepat akan memacu terjadinya longsor dan/atau erosi. Pengendalian aliran permukaan merupakan kunci utama. Pada daerah yang tidak rawan longsor, memperbesar resapan air dan sebagai konsekuensi adalah memperkecil aliran permukaan merupakan pilihan utama. Sebaliknya, jika daerah tersebut rawan longsor, aliran permukaan perlu dialirkan sedemikian rupa sehingga tidak menjenuhi tanah dan tidak memperbesar erosi; (3) air yang meresap ke dalam lapisan tanah di zona tangkapan hujan dan konservasi akan keluar berupa sumber-sumber air yang ditampung di badan-badan air seperti sungai, danau, dan waduk untuk pembangkit listrik, irigasi, air minum, dan penggelontoran kota.
Faktor yang mempengaruhi terjadinya longsor dan erosi adalah faktor alam dan faktor manusia (Departemen Pertanian, 2006). Faktor alam yang utama adalah iklim, sifat tanah, bahan induk, elevasi, dan lereng. Faktor manusia adalah semua tindakan manusia yang dapat mempercepat terjadinya erosi dan longsor.
Curah hujan adalah salah satu unsur iklim yang besar peranannya terhadap kejadian longsor dan erosi. Air hujan yang terinfiltrasi ke dalam tanah dan menjenuhi tanah menentukan terjadinya longsor, sedangkan pada kejadian erosi, air limpasan permukaan adalah unsur utama penyebab terjadinya erosi. Curah  hujan dengan intensitas yang tinggi, misalnya 50 mm dalam waktu singkat (<1 jam), lebih berpotensi menyebabkan erosi dibanding hujan dengan curahan yang sama namun dalam waktu yang lebih lama (>1 jam). Namun curah hujan yang sama tetapi berlangsung lama (>6 jam) berpotensi menyebabkan longsor, karena pada kondisi tersebut dapat terjadi penjenuhan tanah oleh air yang meningkatkan massa tanah. Intensitas hujan menentukan besar kecilnya erosi, sedangkan longsor ditentukan oleh kondisi jenuh tanah oleh air hujan dan keruntuhan gesekan bidang luncur. Curah hujan tahunan >2.000 mm terjadi pada sebagian besar wilayahIndonesia. Kondisi ini berpeluang besar menimbulkan erosi, apalagi di wilayah pegunungan yang lahannya didominasi oleh berbagai jenis tanah.



Tanah
Kedalaman, tekstur, dan struktur tanah
Kedalaman atau solum, tekstur, dan struktur tanah menentukan besar kecilnya air limpasan permukaan dan laju penjenuhan tanah oleh air. Pada tanah bersolum dalam (>90 cm), struktur gembur, dan penutupan lahan rapat, sebagian besar air hujan terinfiltrasi ke dalam tanah dan hanya sebagian kecil yang menjadi air limpasan permukaan. Sebaliknya, pada tanah bersolum dangkal, struktur padat, dan penutupan lahan kurang rapat, hanya sebagian kecil air hujan yang terinfiltrasi dan sebagian besar menjadi aliran permukaan.
Faktor lain yang menentukan kelongsoran tanah adalah ketahanan gesekan bidang luncur. Faktor yang menentukan ketahanan gesekan adalah: a) gaya saling menahan di antara dua bidang yang bergeser, dan b) mekanisme saling mengunci di antara partikel-partikel yang bergeser. Untuk kasus pertama, partikel hanya menggeser di atas partikel yang lain dan tidak terjadi penambahan volume. Untuk kasus kedua, terjadi pemambahan volume karena partikel yang bergeser mengatur kedudukannya sedemikian rupa, sehingga menyebabkan keruntuhan. Ketahanan gesekan ditentukan oleh bentuk partikel. Pada partikel berbentuk lempengan seperti liat, penambahan air mempercepat keruntuhan. Sebaliknya pada partikel berbentuk butiran kuarsa dan feldspar, penambahan air memperlambat keruntuhan.
Bahan induk tanah
Sifat bahan induk tanah ditentukan oleh asal batuan dan komposisi mineralogi yang berpengaruh terhadap kepekaan erosi dan longsor. Di daerah pegunungan, bahan induk tanah didominasi oleh batuan kokoh dari batuan volkanik, sedimen, dan metamorfik. Tanah yang terbentuk dari batuan sedimen, terutama batu liat, batu liat berkapur atau marl dan batu kapur, relatif peka terhadap erosi dan longsor. Batuan volkanik umumnya tahan erosi dan longsor. Salah satu ciri lahan peka longsor adalah adanya rekahan tanah selebar > 2 cm dan dalam >50 cm yang terjadi pada musim kemarau. Tanah tersebut mempunyai sifat mengembang pada kondisi basah dan mengkerut pada kondisi kering, yang disebabkan oleh tingginya kandungan mineral liat tipe 2:1 seperti yang dijumpai pada tanah Grumusol (Vertisols). Pada kedalaman tertentu dari tanah Podsolik atau Mediteran terdapat akumulasi liat (argilik) yang pada kondisi jenuh air dapat juga berfungsi sebagai bidang luncur pada kejadian longsor.
Elevasi
Elevasi adalah istilah lain dari ukuran ketinggian lokasi di atas permukaan laut. Lahan pegunungan berdasarkan elevasi dibedakan atas dataran medium      (350-700 m dpl) dan dataran tinggi (>700 m dpl). Elevasi berhubungan erat
dengan jenis komoditas yang sesuai untukmempertahankan kelestarian lingkungan. Badan Pertanahan Nasional menetapkan lahan pada ketinggian di atas 1.000 m dpl dan lereng > 45% sebagai kawasan usaha terbatas, dan diutamakan sebagai kawasan hutan lindung. Sementara, Departemen Kehutanan menetapkan lahan dengan ketinggian > 2.000 m dpl dan/ atau lereng > 40% sebagai kawasan lindung (protection zone).
Lereng
Lereng atau kemiringan lahan adalah salah satu faktor pemicu terjadinya erosi dan longsor di lahan pegunungan. Peluang terjadinya erosi dan longsor makin besar dengan makin curamnya lereng. Makin curam lereng, makin besar pula volume dan kecepatan aliran permukaan yang berpotensi menyebabkan erosi. Selain kecuraman, panjang lereng juga menentukan besarnya longsor dan erosi. Makin panjang lereng, erosi yang terjadi makin besar. Pada lereng >40% longsor terjadi, terutama disebabkan oleh pengaruh gaya gravitasi. Kondisi wilayah/lereng dikelompokkan sebagai berikut (Departemen Pertanian, 2006) :
ü  Datar : lereng < 3%, dengan beda tinggi < 2 m.
ü  Berombak : lereng 3-8%, dengan beda tinggi 2-10 cm.
ü  Bergelombang : lereng 8-15%, dengan beda tinggi 10-50 cm.
ü  Berbukit : lereng 15-30%, dengan beda tinggi 50-300 cm.
ü  Bergunung : lereng >30%, dengan beda tinggi >300 cm.
Erosi dan longsor sering terjadi di wilayah berbukit dan bergunung, terutama pada tanah berpasir (Regosol atau Psamments), Andosol (Andisols), tanah dangkal berbatu (Litosol atau Entisols), dan tanah dangkal berkapur (Renzina atau Mollisols). Di wilayah bergelombang, intensitas erosi dan longsor agak berkurang, kecuali pada tanah Podsolik (Ultisols), dan Grumusol (Vertisols) yang terbentuk dari batuan induk batuliat, napal, dan batukapur dengan kandungan liat 2:1 (Montmorilonit) tinggi, sehingga pengelolaan lahan yang disertai oleh tindakan konservasi sangat diperlukan. Dalam sistem budidaya pada lahan berlereng >15% lebih diutamakan campuran tanaman semusim dengan tanaman tahunan atau sistem wanatani (agroforestry).
Pengendalian longsor
Daerah rawan longsor harus dijadikan areal konservasi, sehingga bebas dari kegiatan pertanian, pembangunan perumahan, dan infrastruktur. Apabila lahan digunakan untuk perumahan maka bahaya longsor akan meningkat, sehingga dapat mengancam keselamatan penduduk di daerah tersebut dan di sekitarnya. Penerapan teknik pengendalian longsor diarahkan ke daerah rawan longsor yang sudah terlanjur dijadikan lahan pertanian. Areal rawan longsor yang belum dibuka direkomendasikan untuk tetap dipertahankan dalam kondisi vegetasi permanen, seperti cagar alam (sanctuary reserve area), kawasan konservasi (conservation zone), dan hutan lindung (protection forest).
Pengendalian longsor dapat direncanakan dan diimplementasikan melalui pendekatan mekanis (sipil teknis) dan vegetatif atau kombinasi keduanya. Pada kondisi yang sangat parah, pendekatan mekanis seringkali bersifat mutlak jika pendekatan vegetatif saja tidak cukup memadai untuk menanggulangi longsor. Identifikasi dan Delineasi Daerah Rawan Longsor
Setiap jenis tanah mempunyai tingkat kepekaan terhadap longsor yang berbeda. Langkah antisipatif yang perlu dilakukan adalah memetakan sebaran jenis tanah pada skala 1:25.000 atau skala lebih besar (1:10.000) pada hamparan lahan yang menjadi sasaran pembangunan pertanian tanaman hortikultura, tanaman pangan, atau tanaman perkebunan. Berdasarkan peta-peta tersebut dapat didelineasi bagian-bagian dari hamparan lahan yang peka terhadap longsor dengan menggunakan nilai atau skor seperti dalam Tabel 2.
Kepekaan tanah terhadap longsor dinilai dengan cara menjumlahkan skor dari masingmasing faktor. Tanah dengan jumlah skor 6-10 digolongkan sebagai lahan dengan tingkat kepekaan rendah, skor 11-15 kepekaan sedang, dan 16-22 kepekaan tinggi. Lahan dengan tingkat kepekaan tinggi tidak direkomendasikan untuk budidaya pertanian, pebangunan infrastruktur, atau perumahan, tetapi dipertahankan sebagai vegetasi permanen (hutan).
Penerapan teknik pengendalian longsor didasarkan atas konsep pengelolaan DAS. Dalam hal ini kawasan longsor dibagi ke dalam tiga zona, yaitu: (1) hulu, zona paling atas dari lereng yang longsor, (2) punggung, zona longsor yang berada di antara bagian hulu dan kaki kawasan longsor, dan (3) kaki, zona bawah dari lereng yang longsor dan merupakan zona penimbunan atau deposisi bahan yang longsor. Pengelolaan masing-masing segmen ditunjukkan dalam Tabel 3. Pada masing-masing zona diterapkan teknik penanggulangan longsor dengan pendekatan vegetatif atau mekanis.
Teknik Pengendalian Longsor
Vegetatif
Pengendalian longsor dengan pendekatan vegetatif pada prinsipnya adalah mencegah air terakumulasi di atas bidang luncur (Departemen Pertanian, 2006). Sangat dianjurkan menanam jenis tanaman berakar dalam, dapat menembus lapisan kedap air, mampu merembeskan air ke lapisan yang lebih dalam, dan mempunyai massa yang relatif ringan. Jenis tanaman yang dapat dipilih di antaranya adalah sonokeling, akar wangi, flemingia, kayu manis, kemiri, cengkeh, pala, petai, jengkol, melinjo, alpukat, kakao, kopi, teh, dan kelengkeng.

Mekanis/Sipil Teknis
Ada beberapa pendekatan mekanis atau sipil teknis yang dapat digunakan untuk mengendalikan longsor, sesuai dengan kondisi topografi dan besar kecilnya tingkat bahaya longsor. Pendekatan mekanis pengendalian longsor meliputi (Departemen Pertanian, 2004): (1) pembuatan saluran drainase (Saluran pengelak, saluran penangkap, saluran pembuangan), (2) pembuatan bangunan penahan material longsor, (3) pembuatan bangunan penguat dinding/tebing atau pengaman jurang, dan (4) pembuatan trap-trap terasering.
Saluran drainase
Tujuan utama pembuatan saluran drainase adalah untuk mencegah genangan dengan mengalirkan air aliran permukaan, sehingga kekuatan air mengalir tidak merusak tanah, tanaman, dan/atau bangunan konservasi lainnya. Di areal rawan longsor, pembuatan saluran drainase ditujukan untuk mengurangi laju infiltrasi dan perkolasi, sehingga tanah tidak terlalu jenuh air, sebagai faktor utama pemicu terjadinya longsor. Bentuk saluran drainase, khususnya di lahan usahatani dapat dibedakan menjadi (Departemen Pertanian, 2006): (a) Saluran pengelak, (b) saluran teras, dan (c) saluran pembuangan air, termasuk bangunan terjunan.
Bangunan Penahan Material Longsor
Konstruksi bangunan penahan material longsor bergantung pada volume longsor. Jika longsor termasuk kategori kecil, maka konstruksi bangunan penahan dapat menggunakan bahan yang tersedia di tempat, misalnya bambu, batang dan ranting kayu. Apabila longsor termasuk kategori besar, diperlukan konstruksi bangunan beton penahan yang permanen. Beton penahan ini umumnya dibangun di tebing jalan atau tebing sungai yang rawan longsor.
Bangunan penguat tebing
Bangunan ini berguna untuk memperkuat tebing-tebing yang rawan longsor, berupa konstruksi beton atau susunan bronjong (susunan batu diikat kawat). Konstruksi bangunan menggunakan perhitungan teknik sipil kering.
Sistim Usahatani Konservasi pada Lahan Berlereng
Erosi di lahan-Iahan dataran tinggi perlu dicegah, mengingat dua alasan yang kuat yaitu alasan teoritis dan kenyataan yang terjadi di lapangan (Idjudin, 2009). Alasan teoritis, karena faktor pembentukan tanah, antara lain waktu yang cukup lama (untuk membentuk tanah setebal 1 inchi memerlukan waktu antara 300 - 1.000 tahun). Alasan berdasarkan kenyataan telah banyak bukti-bukti terjadinya lahan rusak bahkan berupa gurun-gurun pasir (sejarah kerajaan purba abad ke-20).
Prinsip usahatani konservasi
Budidaya pertanian di lahan berlereng meliputi dua kegiatan pokok, yaitu kegiatan usahatani dan kegiatan konservasi. Kedua kegiatan pada sebidang lahan pertanian terintegrasi menjadi sistem usahatani (SUT) konservasi. Teknologi SUT konservasi yang diterapkan di DAS Citanduy (Jawa Barat), DAS Jratunseluna (Jawa Tengah), dan DAS Brantas (Jawa Timur) menggunakan faktor kemiringan lahan, kedalaman tanah, dan kepekaan tanah terhadap erosi sebagai kriteria pengembangan model-model SUT konservasi (Basid,1999).
Berdasarkan kriteria tersebut disusun matrik seperti ditunjukkan pada Tabel 4. Tabel 4 menunjukkan matrik pemilihan konservasi tanah mekanis dan komposisi tanaman semusim dan tanaman tahunan berdasarkan kondisi kemiringan lahan, kedalaman tanah, dan kepekaaan tanah terhadap erosi lahan usahatani. Teras bangku tidak dianjurkan pada tanah yang bersolum dangkal dan kemiringannya sangat terjal (>40%). Pada tanah yang dangkal dianjurkan membuat teras gulud, budidaya lorong, atau pagar hidup. Pembuatan teras bangku relatif lebih mahal dan lebih sulit dibandingkan dengan teknik konservasi mekanis lainnya. Dengan mempertimbangkan faktor biaya dan tingkat kesulitan pembuatannya, disarankan untuk memilih teknik konservasi tanah selain teras bangku. Semua jenis teras harus disertai dengan penanaman tanaman penguat teras, seperti rumput dan legum yang juga merupakan sumber pakan ternak. Tanaman tahunan yang ada pada sistem pertanaman lorong dan pagar hidup dapat diperhitungkan sebagai bagian dari tanaman tahunan (Tabel 4).
Teknik Pengendalian Erosi
Secara garis besar, teknik pengendalian erosi dibedakan menjadi dua, yaitu teknik konservasi mekanik dan vegetatif (Arsyad, 2000). Konservasi tanah secara mekanik adalah semua perlakuan fisik mekanis dan pembuatan bangunan yang ditujukan untuk mengurangi aliran permukaan guna menekan erosi dan meningkatkan kemampuan tanah mendukung usahatani secara berkelanjutan. Pada prinsipnya konservasi mekanik dalam pengendalian erosi harus selalu diikuti oleh cara vegetatif, yaitu penggunaan tumbuhan/tanaman dan sisa-sisa tanaman/tumbuhan (misalnya mulsa dan pupuk hijau), serta penerapan pola tanam yang dapat menutup permukaan tanah sepanjang tahun.
Teras bangku
Teras bangku atau teras tangga dibuat dengan cara memotong panjang lereng dan meratakan tanah di bagian bawahnya, sehingga terjadi deretan bangunan yang berbentuk seperti tangga. Pada usahatani lahan kering, fungsi utama teras bangku adalah: (1) memperlambat aliran permukaan; (2) menampung dan menyalurkan aliran permukaan dengan kekuatan yang tidak sampai merusak; (3) meningkatkan laju infiltrasi; dan (4) mempermudah pengolahan tanah.
Teras bangku dapat dibuat datar (bidang olah datar, membentuk sudut 00 dengan bidang horizontal), miring ke dalam/goler kampak (bidang olah miring beberapa derajat ke arah yang berlawanan dengan lereng asli), dan miring ke luar (bidang olah miring ke arah lereng asli). Teras biasanya dibangun di ekosistem lahan sawah tadah hujan, lahan tegalan, dan berbagai sistem wanatani. Teras bangku miring ke dalam (goler kampak) dibangun pada tanah yang permeabilitasnya rendah, dengan tujuan agar air yang tidak segera terinfiltrasi menggenangi bidang olah dan tidak mengalir ke luar melalui talud di bibir teras. Teras bangku miring ke luar diterapkan di areal di mana aliran permukaan dan infiltrasi dikendalikan secara bersamaan, misalnya di areal rawan longsor. Teras bangku goler kampak memerlukan biaya relatif lebih mahal dibandingkan dengan teras bangku datar atau teras bangku miring ke luar, karena memerlukan lebih banyak penggalian bidang olah.
Efektivitas teras bangku sebagai pengendali erosi akan meningkat bila ditanami dengan tanaman penguat teras di bibir dan tampingan teras. Rumput dan legum pohon merupakan tanaman yang baik untuk digunakan sebagai penguat teras. Tanaman murbei sebagai tanaman penguat teras banyak ditanam di daerah pengembangan ulat sutra. Teras bangku adakalanya dapat diperkuat dengan batu yang disusun, khususnya pada tampingan. Model seperti ini banyak diterapkan di kawasan yang berbatu.
Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dalam pembuatan teras bangku adalah: a) dapat diterapkan pada lahan dengan kemiringan 10-40%, tidak dianjurkan pada lahan dengan kemiringan >40% karena bidang olah akan menjadi terlalu sempit, b) tidak cocok pada tanah dangkal <40 cm), e) tidak cocok pada lahan usaha pertanian yang menggunakan mesin pertanian, d) tidak dianjurkan pada tanah dengan kandungan aluminium dan besi tinggi, dan e) Tidak dianjurkan pada tanah-tanah yang mudah longsor.
Teras gulud
Teras gulud adalah barisan guludan yang dilengkapi dengan saluran air di bagian belakang gulud. Metode ini dikenal pula dengan istilah guludan bersaluran. Bagian-bagian dari teras gulud terdiri atas guludan, saluran air, dan bidang olah. Fungsi dari teras gulud hampir sama dengan teras bangku, yaitu untuk menahan laju aliran permukaan dan meningkatkan penyerapan air ke dalam tanah. Saluran air dibuat untuk mengalirkan aliran permukaan dari bidang olah ke saluran pembuangan air. Untuk meningkatkan efektivitas teras gulud dalam menanggulangi erosi dan aliran permukaan, guludan diperkuat dengan tanaman penguat teras. Jenis tanaman yang dapat digunakan sebagai penguat teras bangku juga dapat digunakan sebagai tanaman penguat teras gulud. Sebagai kompensasi dari kehilangan luas bidang olah, bidang teras gulud dapat pula ditanami dengan tanaman bernilai ekonomi (cash crops), misalnya tanaman katuk dan cabai rawit.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan teras gulud: a) teras gulud cocok diterapkan pada lahan dengan kemiringan 10-40%, dapat juga pada lahan dengan kemiringan 40-60% namun relatif kurang efektif, dan b) pada tanah yang permeabilitasnya tinggi, guludan dapat dibuat menurut arah kontur. Pada tanah yang permeabilitasnya rendah, guludan dibuat miring terhadap kontur, tidak lebih dari 1% ke arah saluran pembuangan. Hal ini ditujukan agar air yang tidak segera terinfiltrasi ke dalam tanah dapat tersalurkan ke luar ladang dengan kecepatan rendah.
Teras individu
Teras individu adalah teras yang dibuat pada setiap individu tanaman, terutama tanaman tahunan. Jenis teras ini biasa dibangun di areal perkebunan atau pertanaman buah-buahan.
Teras kebun
Teras kebun adalah jenis teras untuk tanaman tahunan, khususnya tanaman perkebunan dan buah-buahan. Teras dibuat dengan interval yang bervariasi menurut jarak tanam. Pembuatan teras bertujuan untuk: (1) meningkatkan efisiensi penerapan teknik konservasi tanah, dan (2) memfasilitasi pengelolaan lahan (land management facility) di antaranya untuk fasilitas jalan kebun, dan penghematan tenaga kerja dalam pemeliharaan kebun.
Rorak
Rorak merupakan lubang penampungan atau peresapan air, dibuat di bidang olah atau saluran resapan. Pembuatan rorak bertujuan untuk memperbesar peresapan air ke dalam tanah dan menampung tanah yang tererosi. Pada lahan kering beriklim kering, rorak berfungsi sebagai tempat pemanen air hujan dan aliran permukaan.
Dimensi rorak yang disarankan sangat bervariasi, misalnya kedalaman             60 cm, lebar 50 cm, dan panjang berkisar antara 50-200 cm. Panjang rorak dibuat sejajar kontur atau memotong lereng. Jarak ke samping antara satu rorak dengan rorak lainnya berkisar 100-150 cm, sedangkan jarak horizontal 20 m pada lereng yang landai dan agak miring sampai 10 m pada lereng yang lebih curam (Departemen Pertanian, 2006).
Dimensi rorak yang akan dipilih disesuaikan dengan kapasitas air atau sedimen dan bahan-bahan terangkut lainnya yang akan ditampung. Sesudah periode waktu tertentu, rorak akan terisi oleh tanah atau serasah tanaman. Agar rorak dapat berfungsi seeara terusmenerus, bahan-bahan yang masuk ke rorak perlu diangkat ke luar atau dibuat rorak yang baru.
Komponen Teknologi SUT Konservasi
Tanaman penutup tanah sebagai pupuk hijau
Tanaman penutup tanah pada umumnya adalah jenis legum menjalar yang ditanam di antara tanaman tahunan, secara bergilir dengan tanaman semusim atau tanaman tahunan dan sebagai tanaman pemula (pionir) untuk rehabilitasi lahan kritis. Fungsi tanaman penutup adalah untuk menutupi tanah dari terpaan langsung air hujan, rehabilitasi lahan kritis, menjaga kesuburan tanah, dan menyediakan bahan organik. Berbagai tanaman legum seperti stilo               (Stylosanthes sp.), sentro (Centrosema sp.), kalopo (Calopogonium sp.), puero atau kudu (Pueraria sp.), dan Arachis sp.
Mulsa bahan hijauan
Mulsa dapat berasal dari hijauan hasil pangkasan tanaman pagar, tanaman strip rumput, dan sisa tanaman. Bahan tersebut disebarkan di atas permukaan tanah secara rapat untuk menghindari kerusakan permukaan tanah dari terpaan hujan. Bahan hijauan atau sisa tanaman juga dapat ditumpuk memanjang searah kontur, terutama bagi bahan hijauan yang mempunyai struktur memanjang seperti batang dan daun jagung atau jerami padi dengan maksud menghambat laju aliran permukaan (Suwardjo et al., 1989).
Mulsa biasanya merupakan kombinasi antara sisa tanaman yang cepat melapuk dan lambat melapuk. Bahan hijauan atau biomassa yang cepat melapuk (seperti sisa tanaman kacang-kacangan) berguna untuk memperbaiki struktur tanah dan menyediakan hara secara cepat, sedangkan biomassa yang relatif lambat melapuk (seperti jerami padi, batang jagung) berguna untuk menghambat laju aliran permukaan.


















IMPLIKASI KEBIJAKAN PERKEBUNAN
Sistem tanah adalah hasil perkembangan selama jutaan tahun di bawah pengaruh banyak faktor. Sebagian faktor melibatkan pengaruh lingkungan alami dan yang lain berkaitan dengan pengaruh imbasan manusia. Dampak pengaruh dapat berupa perubahan kuantitas dan/atau kualitas. Perubahan tanah. Dapat berpengaruh balik ke lingkungan. Kegiatan faktor lingkungan yang bermaslahat ialah pengubah batuan dasar yang semula tidak berharkat pertanian menjadi tanah yang berharkat pertanian. Lingkungan yang mendorong terjadinya erosi tanah adalah contoh pengaruh buruk atas tanah.
Tanah yang berkemampuan mengekang persebaran zat-zat pencemar dari sumber baur ke badan-badan air (pestisida, pupuk) termasuk pengaruh baik tanah atas lingkungan. Pengaruh buruk tanah atas lingkungan adalah pencurahan bahan erosi ke lahan hilir yang menurunkan kualitas tanah, ke badan air yang menurunkan kapasitas salur/ simpan air, dan perentanan badan air terhadap etrovikasi oleh lindian fosfat.
Institusi yang berwenang dan terlibat dalam fasilitasi pengelolaan lahan dataran tinggi seyogyanya mempunyai persepsi yang sama tentang SUT konservasi. Departemen Pertanian melalui Peraturan Menteri Pertanian No. 47/ Pemerintah/OT.140/10/2006 telah menerbitkan buku tentang Pedoman Umum Budidaya Pertanian Pada Lahan Pegunungan pada tahun 2006 sebagai acuan bagi terwujudnya sistem usahatani berkelanjutan pada dataran tinggi/ lahan pegunungan. Hal ini merupakan landasan yang kuat untuk memantapkan koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan sinergisme kegiatan sektor atau sub-sektor di lapangan. Prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan yang dianut internasional supaya dipertimbangkan untuk memperkuat dukungan politik terhadap pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya lahan di daerah pegunungan. Prinsip keberlanjutan adalah: (1) kerusakan hutan dan lahan tidak lebih cepat dari regenerasi hutan dan lahan, (2) kepunahan jenis atau spesies tidak melebihi evolusi jenis atau spesies itu sendiri, (3) laju erosi tanah tidak lebih cepat dari pembentukan tanah, (4) emisi karbon tidak lebih tinggi dari fiksasi karbon, dan (5) permintaan akan produk pertanian tidak lebih banyak dari produksi pertanian.
Prinsip-prinsip pembangunan berwawasan lingkungan dimaksudkan memperluas wawasan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya lahan, menggalang koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergisme antar-pemerintah daerah yang menguasai satu atau lebih kawasan DAS. Prinsip pembangunan berwawasan lingkungan adalah: (1) pembangunan dirancang dengan memperhatikan aspirasi pengguna dan melibatkan pengguna, (2) sasaran pembangunan dirancang tidak berdasarkan batas administrasi pemerintahan, melainkan berdasarkan batas agroekologi, (3) aspek yang ditangani dalam pembangunan bersifat holistik, (4) pendekatan sistem (untuk pertanian pendekatan sistem usahatani), (5) perhatian terhadap kelestarian lingkungan, (6) keterkaitan antara DAS hulutengah-hilir dipertimbangkan, (7) koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan sinergisme antara instansi yang berwenang, dan (8) hukum diterapkan secara konsekuen.



DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, S. 2000. Pengawetan Tanah dan Air. Departemen Ilmu-llmu Tanah. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

Basid, A. 1999. Analisis ekonomi penerapan teknologi usahatani konservasi pada lahan kering berlereng di wilayah hulu DAS jratunseluna jawa Tengah.

Brown, R.E, J.L. Havlin, D.J. Lyons, C.R. Fenster, and G.A. Peterson. 1991. Longterm tillage and nitrogen effects on wheat production in a wheat fallow rotation. p. 326 In Agronomy Abstracts. Annual Meetings ASA, CSSA, and SSSA (Denver Colorado, Oct 27-Nov 1, 1991).

Departemen Pertanian, 2006. Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 47/Permentan/ OT.140/10/2006 Tentang Pedoman Umum Budidaya Pertanian pada Lahan Pegunungan. Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian.

Idjudin, A.A. 2010. Diagnosis Kerusakan Lahan Pulau Yamdena, dan Arahan Kebijakan serta Penyusunan Tata Ruang Wilayahnya. Disampaikan pada acara Diskusi antara KTI dan Kementerian Kehutanan di Jakarta, 9-12-2010. Hlm 15.

Gill, W.R. and G.E. Vanden Berg. 1967. Soil Dynamics in Tillage a USDA Agric. Handb. N. 316. U.S. Government Printing, Washington, DC

Idjudin, A.A. 2006. Dampak Penerapan Teknik Konervasi di Lahan terhadap Produktivitasnya. Disertasi Doktor Sekolah Pasca Sarjana.

James, B.R. 1995. Conception of an idea: an International Center for S,Society. Bulletin ISSS 89:65-67.

Ketcheson, J.W. 1980. Effect of tillage on fertilizer requirements for corn on as - loam soil. Agron. J. 72: 40-542.

Larson, W.E. and G.J. Osborne. 1982. Tillage accomplishments and potential. In Predicting Tillage Effects on Soil Physical Properties and Processes. ASA Special Publication No. 44.

Notohadiprawiro, T. 2000. Tanah dan Lingkungan. Pusat Studi Sumberdaya Lahan UGM. P3HTA (Proyek Penelitian Penyelamatan Hutan, Tanah dan Air). 1990. Petunjuk teknis usaha tani konservasi daerah limpasan sungai. Dalam Sukmana et al. (Eds.) Badan Litbang Pertanian. Jakarta.

Pankhurst, C.E. and J.M. Lynch. 1993. The role of soil biota in sustainable agriculture. Pp 3-9. In C.E. Pankhurst, B.M. Daube, V.V.S.R. Gupta, and P.R. Grace (Eds.) Soil Biota: Management in Sustainable Farming Systems. CSIRO Press, Melbourne, Australia.

Philips, S.H. and H.M. Young Jr. 1973. Notillage Farming. Reiman Associate, Milwauke, Wisconsin.

Rachman, A., A. Dariah, dan E. Husen, 2004. Olah Tanah Konservasi. Teknologi Konservasi Tanah pada Lahan Kering. Puslitbangtanak. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian 2004.

Rao, S.C. and T.H. Dao. 1991. Tillage and N manajemen effects on the yield and Nuse efficiency in winter wheat. P. 339. In Agronomy Abstract. Annual Meeting, ASA, CSSA, and SSSA, Denver Colorado, Oct. 27-Nov. 1, 1991.

Sinukaban, N. 1990. Pengaruh pengolahan tanah konservasi dan pemberian mulsa jerami terhadap produksi tanaman pangan dan erosi hara. Pembrit. Penel. Tanah dan Pupuk 9:32-38.

Suwardjo. 1981. Peranan Sisa-sisa Tanaman dalam Konservasi Tanah dan Air pada Usaha Tani Tanaman Semusim. Disertasi doctor Sekolah Pasca Sarjana. IPB.

Suwardjo, H., A. Abdurachman, and S. Abujamin. 1989. The use of c mulch to minimize tillage frequency. Pembrit. Penel. Tanah dan Pupuk 31-37.

Swan, J.B., W.H. Paulson, A.E. Peterson, and R.L. Higgs. 1991. Tillage management effetcs on seedbed physical conditions corn gr yield. p. 343. In Agronomy Abstract. Annual Meetings, ASA, CSS SSSA, Denver Colorado, Oct. 27 - Nov. 1, 1991.

Utomo, M. 1995. Kekerasan tanah dan serapan hara tanaman jagung pada olah tanah konservasi jangka panjang. J. Tanah Trop. 1:1-7.

Wagger, M.G., and H.P. Denton. 1991. Consequences of continuous and alternating tillage regimes on residue cover and grain yield in a corn-soybean rotation. p. 344 In Agronomy Abstracts. Annual Meetings ASA, CSSA, SSSA, Denver Colorado, Oct 27 - Nov 1, 1991.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar