PENGELOLAAN LAHAN RAWA DENGAN TEKNIK
KONSERVASI DAN REHABILITASI
PAPER
OLEH :
TRIA
MENTARI SIREGAR
110301057
AET
1
PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2013
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis
panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat rahmat dan lindungan-Nya maka penulis dapat menyelesaikan paper
ini tepat pada waktunya.
Adapun judul
dari paper ini
adalah PENGELOLAAN LAHAN RAWA DENGAN TEKNIK
KONSERVASI DAN REHABILITASI yang merupakan tugas matakuliah Pengelolaan Tanah
dan Air, Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian,
Universitas Sumatera Utara, Medan.
Pada kesempatan ini
penulis mengucapkan terima
kasih kepada Dr. Ir. Hamidah Hanum, MP yang
merupakan Dosen Pengampu Matakuliah Pengelolaan Tanah dan Air yang telah membantu penulis sehingga paper ini
dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Penulis menyadari bahwa paper ini jauh
dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun demi kesempurnaan paper ini. Akhir kata, penulis mengucapkan
terima kasih.
Medan, Januari 2013
Penulis
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR.......................................................................................... i
DAFTAR
ISI......................................................................................................... ii
PENDAHULUAN
Latar Belakang............................................................................................... 1
Tujuan Penulisan............................................................................................ 2
Degradasi lahan sulfat masam........................................................................ 4
Pemasaman in-situ............................................................................... 5
Pemasaman akibat aliran air............................................................... 7
......... Kawasan non reklamasi................................................................................. 9
Kawasan reklamasi....................................................................................... 10
Pengelolaan air............................................................................................. 12
Konsep dasar............................................................................................... 13
Strategi pengelolaan air............................................................................... 14
Pengapuran.................................................................................................. 14
Pemupukan.................................................................................................. 18
PENUTUP............................................................................................................... 20
DAFTAR
PUSTAKA........................................................................................ 21
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Pada umumnya lahan pertanian di
Indonesia, baik lahan sawah, lahan kering maupun lahan rawa selaiu mengalami
proses degradasi dengan intensilas yang berlainan, yang disebabkan oleh perlakuan
manusia dan faktor alam. Proses yang destruktif tersebut mengakibatkan
penurunan kualitas tanah dan tingkat produktivitas lahan. Apabila dibiarkan
terus berianjut, produktivitasnya akan menurun terus, sehingga mencapai tingkat
yang sangat rendah atau tidak produktif sama sekali. Oleh karena itu, perlu
dilakukan pencegahan melalui penerapan tindakan konservasi tanah dan air, serta
rehabilitasi lahan, yang seharusnya merupakan bagian dari usaha budidaya
pertanian.
Konservasi diartikan sebagai
tindakan pencegahan terhadap terjadinya proses degradasi lahan pertanian.
Sedangkan rehabilitasi merupakan upaya meningkatkan kembali produktivitas lahan
yang sebelumnya telah mengalami degradasi. Apabila dibandingkan dengan lahan
sawah maupun lahan kering, lahan rawa lebih memeriukan upaya konservasi, dan kehati-hatian
dalam mengelolanya. Menurut Widjaja-Adhi et al. (1992), lahan rawa
tergoiong ekosistem yang tidak saja marginal tetapi juga fragil, sehingga untuk
menjadikannya produktif diperlukan perencanaan yang teliti, pemanfatan dan
penerapan teknologi yang sesuai, serta pengelolaan tanah dan air yang tepat.
Pengelolaan lahan pertanian rawa
yang salah di berbagai lokasi di Kalimantan dan Sumatera, telah mengakibatkan
perubahan karakteristik tanah, dan menurunkan produktivitasnya, bahkan sebagian
menjadi tidak produktif sama sekali. Lahan yang telah mengalami degradasi
berat, biasanya sulit sekali direhabilitasi dan memeriukan biaya tinggi. Untuk
menilai apakah degradasi lahan sudah mencapai suatu batas yang merugikan, telah
ditetapkan kriteria kerusakan beberapa sifat tanah. Agar kondisi lahan tidak
lebih rendah dari batas ambangnya, maka penggunaan lahan rawa seyogyanya
mengikuti poia yang teratur. Oalam kondisi belum terganggu, pada dasamya di
antara sungai-sungai alami di kawasan rawa pasang surut dijumpai lahan dengan
gambut sangat daiam. Dari tengah ke arah sungai-sungai alami dijumpai gambut
dangkal, tanah sulfat masam potensial, dan lahan-lahan yang terpengaruh oleh
luapan sungai. Variabilitas tanah ini berimplikasi pada pola penggunaannya yang
juga bervariasi tergantung pada hidrotopografi.
Tujuan
Penulisan
Untuk
mengetahui pengelolaan lahan rawa dengan teknik konservasi dan rehabilitasi.
DEGRADASI LAHAN
Berdasarkan kondisi hidrologinya,
lahan rawa dapat dibedakan menjadi lahan rawa pasang surut dan non pasang surut
yang disebut juga lahan rawa lebak. Lahan rawa pasang surut lebih sensitif
terhadap proses degradasi dibandingkan dengan lahan rawa lebak, karena pada
lahan tersebut dijumpai tanah-tanah bermasalah, yaitu tanah sulfat masam dan
tanah gambut. Kemasaman, keracunan (toxicity), penurunan permukaan tanah
(subsidence), gambut kering tak balik (irreversible drying effect), kualitas
air yang buruk merupakan masalah-masalah utama yang akan muncul jika salah
dalam mengelola lahan rawa pasang surut. Sedangkan pada lahan rawa lebak hampir
tidak dijumpai proses degradasi tersebut.
Ada 2 prinsip dasar yang harus
dipertimbangkan di dalam pengelolaan lahan rawa, yaitu (a) apakah lahan rawa
akan direklamasi secara total (total reclaimed), atau (b) hanya
direklamasi sebagian (minimum disturbance). Kedua prinsip tersebut periu
ditetapkan sebelum memutuskan untuk mengelola lahan rawa, baik untuk pertanian,
pemukiman transmigran maupun untuk penggunaan yang lainnya. Strategi yang akan
dikembangkan di daiam mengeloia lanan rawa berbeda antara kedua prinsip
tersebut.
Widjaja-Adhi (1997) mengemukakan
beberapa faktor penyebab degradasi pada lahan rawa, antara lain (a) reklamasi
lahan dengan membangun saiuran drainase daiam dimensi besar, yang memungkinkan
drainase beriebihan (over drain) yang mengakibatkan pint teroksidasi dan
gambut mengering tak balik (irreversible drying effect), (b) penerapan
sistem pemanfaatan lahan yang tidak memperhatikan tipologi lahan dan tipe
luapan, (c) pembakaran gambut yang berakibat pada munculnya tanah sulfat masam
yang umumnya berada di bawahnya.
Di Indonesia, seluas 20,1 juta ha
lahan rawa pasang surut telah direklamasi untuk pertanian yang dimulai sejak
Repelita I tahun 1969. Kondisi lahan setelah reklamasi menjadi rusak karena
proses pemasaman tanah. Pembukaan lahan untuk menunjang program transmigrasi
dilaksanakan dengan membangun jaringan irigasi/drainase daiam dimensi besar.
Penggalian saiuran daiam ukuran besar tersebut mengakibatkan tereksposnya
lapisan pirit (FeSa) hingga teroksidasi, dan tanah menjadi masam.
Pengalaman-pengalaman di daiam mengkonservasi, mereklamasi, dan merehabilitasi
lahan rawa pasang surut dilakukan melalui berbagai proyek seperti P4S, P3S,
LAWOO-AARD, SWAMPS I dan II, ISDP, dan SUP serta kegiatan-kegiatan penelitian
yang dilaksanakan oleh Proyek Pengelolaan Sumberdaya Lahan Balai Penelitian
Tanah akan diuraikan dan didiskusikan. Analisis kebijakan disertakan sebagai
implikasi pengelolaan lahan rawa pasang surut dan dampaknya terhadap
lingkungan.
Degradasi
lahan sulfat masam
Tanah sulfat masam berkembang dari
bahan induk besi sulfida yang kaya kandungan besi dan sulfur (FeS). Pirit
terakumulasi pada tanah tergenang yang kaya kandungan bahan organik dan
mendapat tambahan sulfur yang umumnya dari air laut (Dent, 1986).
Pembentukan pirit membutuhkan
sumber unsur besi (dan sedimen), unsur sulfur (umumnya dan air laut), bakteri
pereduksi (telah ada di hampir seluruh kawasan pantai), sumber energi (bahan
organik dari bakau), dan pada kondisi pasang surut (Van Mensvoort, 1996). Tanah
sulfat masam terbentuk oleh oksidasi bahan sulfidik dimana konsentrasi asam
sulfat yang dihasilkan dari oksidasi senyawa sulfur tersebut melebihi
konsentrasi basa-basa yang mempunyai kemampuan menetralisir kemasaman dan pH
menurun di bawah 4 (Rons dan van Breemen, 1982).
Degradasi pada lahan sulfat masam
umumnya didominasi oleh (a) proses pemasaman tanah dan air sebagai akibat dari
oksidasi pirit, dan (b) pencucian basa-basa sebagai dampak dari pencucian asam.
Pemasaman yang terjadi dapat dibedakan menjadi dua yaitu, (a) pemasaman in-situ,
dan (b) pemasaman akibat aliran air.
Pemasaman
in-situ
Pada kondisi tereduksi (saat
tergenang air), pirit dapat dipertahankan stabil. Tetapi pada saat permukaan
air bawah permukaan (groundwater) menurun hingga melebihi kedalaman
lapisan pint, pirit akan teroksidasi dan tanah menjadi masam. Kondisi ini bisa
terjadi pada saat reklamasi dijalankan dengan menggali saluran-saluran
irigasi/drainase berdimensi besar, seperti saluran primer, sekunder, dan
tersier. Pirit teroksidasi mengnasilkan asam sulfat dengan tahapan reaksi
sebagai berikut: I
FeS2(s)
+ 7/2 O2(aq,a) + H2O -»
Fe2+(aq) + 2 SO42-(aq) +
2 H+ ...............(1)
Fe2+(aq)
+ 1/4 02(aq,g) + H+ -»
Fe3+(aq)+ y2 H2O...........
.................... .....(2)
FeS2(si
+ 14 Fe3+(aq) + 8 H2O -»15 Fe2+(aq) + 16 H+(aq)
+ 2SOA2 ............(3)
Fe2+(aq)
+ 1/402(aq,B, + 3/2H20 -» FeO.OH(s) + 2 H...................,..........(4)
Meskipun besi III oksida merupakan hasil reaksi, jarosite
umumnya terbentuk lebih awal, dengan reaksi sebagai berikut (Van Breemen, 1972)
:
FeS2+15O2+5/2H2O+%
K* -* % KFe3(SO4)2(OH)6+4/3SO42-+3H+......(5)
Jarosite stabil pada kondisi teroksidasi dan masam, yaitu pada nilai redoks
potensial > 400-500 mV dengan pH 2-4, Jika konsentrasi asam sulfat (H2SO4)
yang terbentuk pada reaksi (4) melebihi kapasitas penyangga (buffering
capacity) tanah, pH tanah akan menurun kurang dari 4.
Pemasaman akibat oksidasi pirit
merupakan proses degradasi yang berakibat pada penurunan produktivitas Iahan.
Pada kondisi pH kurang dari 4, aluminium akan terlarut dalam larutan tanah yang
akan mencapai konsentrasi yang meracuni tanaman (Moorman dan Van Breemen,
1978). Dent (1986) mereview beberapa penelitian sebelumnya mengenai
masalah-masalah yang akan muncul jika tanah sulfat masam dikeloia untuk tanaman
Iahan kering, yaitu kelarutan aluminium (AI3+), besi III (Fe3+),
mangan (Mn2*), dan ion hidrogen (H4) meningkat,
ketersediaan fosfat menurun akibat terbentuknya aluminium-fosfat yang tidak
larut, basa-basa tertukar menjadi menurun, dan terjadi defisiensi hara.
Pada kondisi tergenang, misalnya
jika tanah sulfat masam dikeloia untuk padi sawah atau kolam ikan, kemasaman
bisa dikurangi, tetapi akan muncuf permasalahan baru, yaitu keracunan besi II
(Fe2+), keracunan hidrogen sulfida (H2S), dan keracunan
CO2 dan asam-asam organik jika bahan organik tinggi. Keracunan besi
pada Iahan sawah berpengaruh buruk terhadap pertumbuhan tanaman padi.
Pada musim kering, tanah-tanah di
daerah rawa pasang surut secara fisik mengalami retakan (cracking) tergantung
dari tipe mineral Hat tanahnya. Meskipun tidak semua tanah sulfat masam
didominasi mineral liat tipe 2:1 (smectite), tetapi jika proporsinya
cukup tinggi maka pada kondisi kering tanah mudah menjadi retak, dan pada
kondisi tergenang pada saat musim hujan tanah mengembang. Retakan-retakan di
permukaan (top soil) ini bisa mengakibatkan masuknya oksigen ke datam
lapisan tanah yang lebih dalam, dan pirit akan teroksidasi. Menurut Hanhart dan
Duong van Ni (1993), proses pemasaman dapat disebabkan oleh 3 proses, yaitu (a)
drfusi, (b) retakan (cracking), dan (c) pencucian (leaching) asam-asam
dari saluran-saluran air.
Pemasaman
akibat aliran air
Selain proses in-situ sebagaimana
dijelaskan sebelumnya, proses pemasaman di suatu tempat di kawasan lahan rawa
pasang surut bertanah sulfat masam atau gambut dapat disebabkan oleh aliran air
masam yang berasal dan tempat-tempat yang telah mengalami pemasaman. Salah satu
contoh proses pemasaman yang disebabkan oleh aliran air yang berasal dari hutan
sekunder yang telah mengalami pemasaman akibat reklamasi dan aktivitas manusia
di dalam hutan tersebut dijumpai di Unit Tatas, Kalimantan Tengah (Kselik et
al., 1993). Pengaruh buruk dari aliran air masam tersebut dapat
ditanggulangi dengan membangun saluran drainase intersepsi (interceptor
drained) antara hutan sekunder dengan lahan yang dikelola .
Saluran drainase intersepsi sangat
nyata pengaruhnya dalam memperbaiki kualitas air di lahan pertanian .
Konsentrasi sulfat (SO42) pada lahan di dekat hutan
sekunder jauh lebih tinggi dibandingkan dengan lahan yang dikelola untuk padi
sawah. Demikian juga ha! yang sama dijumpai untuk konsentrasi besi II (Fe2+).
Sebaliknya pH meningkat ke arah menjauh dari hutan sekunder. Hal ini karena
aliran air yang masam dengan konsentrasi SO42" dan
Fe2+ yang tinggi dari hutan sekunder terhalang oleh saluran drainase
intersepsi. Air dari hutan sekunder yang masuk ke saluran drainase tersebut
selanjutnya dibuang pada saat air surut. Saluran drainase intersepsi yang
diaplikasikan di Unit Tatas, Kalimantan Tengah berdimensi lebar 1 m dan dalam 1
m dengan panjang yang mengikuti lebar petakan lahan sawah.
Meskipun kemasaman yang timbul bisa
dinetralisir dengan pemanfaatan kapur (Charoenchamratcheep et a/., 1982;
Ponnamperuma dan Solivas, 1982; Moctar Toure, 1982; Smilde, 1990), tetapi kebutuhan
kapur tergolong tinggi terutama jika kandungan pint di dalam tanah masih tinggi
(Dent, 1986).
Pencucian (flushing) sebagai
salah satu strategi pengelolaan air tidak hanya mengurangi kemasaman, tetapi
berdampak pada tercucinya basa-basa yang diperlukan untuk pertumbuhan dan
produksi tanaman. Dari penelitiannya di Unit Tatas, Kalimantan Tengah pada
tanah sulfat masam aktual dengan tipe luapan B dengan menerapkan sistem aliran
satu arah untuk pencucian, Subagyono et al. (1994) menemukan bahwa
selain meneuei, asam Ca2+ dan Mg2+ juga ikut tercuci. Hal
ini terbukti bahwa kandungan Ca2+ dan Mg2+ di dalam tanah
pada lahan yang dicuci lebih rendah dari pada lahan yang digenangi (Gambar
8.4). Tanpa introduksi kapur sebagai sumber Ca2+ dan Mgz+,
tanah akan mengalami defisiensi unsur hara tersebut.
Umumnya tanah gambut sangat masam,
pH 3-4,5 dan kandungan bahan organik < 5%. Fraksi organik tanah gambut
mengandung lignin, selulosa, hemiselulosa, dan protein, tannin, resin dalam
jumlah yang relatif sedikit. Kandungan abu, K2O, P2O5,
dan SiO2 pada tanah lapisan atas menurun setelah deforestasi, tetapi
CaO dan MgO cenderung meningkat. Kandungan nitrogen tanah gambut berkisar
antara 2.000-4.000 kg/ha pada kedalaman 0-20 cm, tetapi hanya sebagian kecil
yang tersedia bagi tanaman (Driessen dan Dudal, 1989).
TEKNOLOGI KONSERVASI
Konservasi lahan rawa mencakup
kegiatan perlindungan, pengawetan dan peningkatan fungsi dan manfaat. Oleh
karena itu, berdasarkan fungsinya lahan rawa dibedakan menjadi tiga kawasan,
yaitu (1) kawasan lindung, (2) kawasan pengawetan, dan (3) kawasan reklamasi
untuk peningkatan fungsi dan manfaat. Kawasan lindung dan pengawetan disebut
juga kawasan non-reklamasi atau non-budidya, sedangkan kawasan reklamasi
disebut juga kawasan budidaya. Pengelolaan lahan rawa menjaga keseimbangan
antara kawasan budidaya dan non-budidaya serta kelestarian sumberdaya alam rawa
(Widjaja-Adhi, 1997).
Kawasan
non reklamasi
Kawasan non reklamasi adalah
lahan-lahan yang relatif belum terganggu oleh tindakan manusia, terdiri atas
lahan gambut sangat dalam (> 3 m) dengan vegetasi alami. Menurut
Widjaja-Adhi (1997), lahan tersebut dapat dijadikan kawasan konservasi dengan
berbagai tujuan, antara lain : (a) sebagai kawasan tampung hujan, (b) sebagai
kawasan untuk perlindungan hewan dan tanaman langka, dan (c) untuk keperluan
penelitian masa depan yang melibatkan ekosistem gambut di lahan rawa pasang
surut.
Kawasan tampung hujan merupakan
daerah penyangga yang berfungsi sebagai penampung dan pendistribusian air untuk
keperluan irigasi di musim kemarau untuk sawah-sawah di sekelilingnya. Hutan
suaka alam praktis bisa dikembangkan di kawasan ini, karena umumnya masih
memiliki vegetasi alami dan sebagai tempat hewan-hewan langka hidup dan
berkembang biak.
Di bawah lapisan gambut umumnya
adalah tanah sulfat masam potensial, yaitu tanah sulfat masam yang belum
mengalami pemasaman karena terpeliharanya kondisi reduksi. Konservasi lahan
gambut sekaligus menghindari munculnya tanah sulfat masam di permukaan, dan
menghindari degradasi lahan akibat pemasaman tanah.
Kawasan
reklamasi
Lahan-lahan di kawasan ini umumnya
telah mengalami degradasi yang sebagian besar disebabkan oleh proses pemasaman.
Penyebab lain dari penurunan produktivitas lahan di kawasan ini antara lain
adalah penurunan permukaan tanah (subsidence), genangan (water logging),
polusi lingkungan perairan oleh asam-asam organik dan anorganik serta unsur
beracun seperti besi (Fe2+), dan keracunan (toxicity) oleh
unsur bersifat racun bagi tanaman. Untuk tidak terjadi proses degradasi yang
berkelanjutan, maka lahan-lahan di kawasan ini perlu tindakan konservasi.
Kawasan ini dicirikan dengan telah
dibangunnya jaringan irigasi/drainase. Untuk lahan dengan tanah sulfat masam,
mempertahankan tinggi muka air di atas lapisan pint merupakan strategi yang
bisa dilakukan untuk mempertahankan tanah dalam kondisi tereduksi dan mencegah
terjadinya pemasaman akibat oksidasi pirit. Pengelolaan air sekaligus clapat
difungsikan sebagai tindakan konservasi tanah.
Untuk menghindari kerusakan lahan
yang berkelanjutan, sistem pengelolaan lahan harus didasarkan pada tipologi
lahan dan tipe luapan. Pada dasamya sawah merupakan alternatif yang sangat
memungkinkan untuk mempertahankan tanah dalam kondisi tergenang dan reduktif.
Namun demikian, bervariasinya tipologi lahan pada setiap kawasan dengan tipe
luapan yang berbeda berimplikasi pada pola pengelolaan yang berbeda.
Widjaja-Adhi ef al. (1992) mengetengahkan afternatif sistem pengelolaan
rawa pasang surut berdasarkan tipologi lahan dan tipe luapan
REHABILITASI LAHAN RAWA
Lahan rawa yang telah terdegradasi
dan menurun produktivftasnya periu direhabilitasi terlebih dahulu, agar usaha
pertanian menjadi iebih efisien dan menguntungkan. Pengalaman menunjukkan bahwa
pengelolaan air memegang peranan penting dalam kebertiasilan rehabilitasi dan
pengelolaan lahan rawa (Kselik, 1990; Sevenhuysen, 1990; Widjaja-Adhi et
al., 1990; Ritzema et al., 1993; Mansur et al,, 1995; Hanhart
dan Duong van Ni, 1993; Subagyono et al., 1997; Kselik ef a/., 1993;
Subagyono et al., 1998). Peningkatan produktivitas lahan dan produksi
tanaman akan Iebih tinggi jika pengelolaan air ini dikombinasikan dengan
pengelolaan tanah melalui pengapuran (liming), pemupukan dan pemberian
bahan amelioran.
Pengeloaan
air
Pengelolaan air berperan sangat
penting di dalam rehabilitasi lahan rawa pasang surut bertanah sulfat masam dan
gambut. Selama hampir 2 dasa warsa terakhir (1985-2001), penelitian-penelitian
pengelolaan air yang dilaksanakan oleh berbagai proyek seperti Proyek SWAMPS II,
Proyek kerjasama antara Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dan Land
and Water Research Group (LAWOO) Belanda, Proyek Penelitian dan
Pengembangan Pertanian Rawa Terpadu atau Integrated Swamp Development
Project (ISDP), Proyek Lahan gambut Sejuta Hektar (PLG) maupun Proyek Penelitian
Sumberdaya Lahan Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat telah menghasilkan
komponen teknologi utama pengelolaan air yang meliputi (a) sistem aliran satu
arah (oneway flow system), (b) sistem drainase dangkal intensif, (c)
sistem drainase intersepsi (interceptor drain), (d) sistem drainase
berkala (intermittent drain), (e) irigasi dengan air pasang dan
pencucian, dan (f) sistem tabat.
Konsep
dasar
Untuk meningkatkan produktivitas
iahan rawa pasang surut, pengelolaan air memegang peranan sangat penting. Pada
Iahan rawa pasang surut bertanah gambut, konservasi air merupakan upaya penting
selain upaya drainase Iahan. Pengelolaan air dilakukan dengan memperhatikan
kedaiaman gambut, tingkat pelapukan gambut, lapisan bawah gambut (substratum),
ada tidaknya bahan pengkayaan, dan tipe luapan pasang surut. Kawasan
konservasi sebagai kawasan tampung hujan dialokasikan di bagian hutu sungai
rawa (Widjaja-Adhi
et al., 1992).
Sementara itu, untuk menangguiangi,
mengurangi, dan menghilangkan kemasaman serta untuk meningkatkan hasil
komoditas yang dibudidayakan di Iahan sulfat masam, pengelolaan air dtdasarkan
pada tipologi Iahan pasang surut dan tipe luapan. Tipoiogi Iahan sulfat masam
potensial dengan tipe luapan A, tipologi Iahan sulfat masam aktual dengan tipe
luapan B, C, D (Retzema ef al.,
1993).
Berdasarkan kemampuan arus pasang
mencapai daratan, maka tipe luapan pada iahan rawa pasang surut dibedakan
menjadi 4 macam tipe fuapan (Kselik, 1990; Widjaja-Adhi et al., 1992). Tipe
A : Lahan yang selalu terfuapi air pasang, baik pada saat pasang maksimum (spring
tide) maupun pasang minimum (neap tide). Tipe B : Lahan yang
tertuapi air pasang pada saat pasang besar. Tipe C : Lahan yang tidak pemah terfuapi
air pasang, tetapi air pasang berpengaruh pada air tanah dan kedaiaman muka air
tanah kurang dari 50cm. TipeD : Lahan yang tidak pemah tertuapi air pasang,
tetapi air pasang berpengaruh pada air tanah dan kedaiaman muka air tanah lebih
dari 50cm.
Strategi
pengelolaan air
Strategi pengelolaan air didasarkan
pada tipologi lahan dan tipe luapan. Masing-masing tipologi lahan mempunyai
sifat dan karakteristik yang berbeda, sehingga strategi pengelolaan aimya perlu
dibedakan. Strategi pengelolaan air secara spesifik dibedakan menjadi 2, yaitu
(a) pengelolaan air di tingkat tersier, dan (b) pengelolaan air mikro di lahan
petani. Keduanya harus sinergis dengan sistem irigasi/drainase di tingkat makro
(primer dan sekunder) yang telah dibangun. Beberapa sistem irigasi/drainase
yang telah dibangun sejak Pelita I tahun 1969, antara lain adalah sistem garpu (fork
system) atau disebut juga sistem kolam (kolam system), sistem anjir
dan hand!) dan kombinasinya yang dijumpai di Kalimantan Selatan dan Kalimantan
Tengah. Sistem sisir tunggal (single comb system) dan ganda (couple
comb system), kombinasi sistem garpu dan sistem sisir dan sistem tangga
dijumpai di Sumatera Selatan. Sistem anjir dan handil adalah dua sistem
drainase khas penduduk Banjar yang merupakan teknologi lokal.
Pengapuran
(liming)
Salah satu teknoiogi yang dapat
digunakan untuk rehabilitasi lahan sulfat masam aktual (SMA) di daerah rawa
pasang surut adalah kapur. Kapur sebagai bahan pembenah tanah sangat beraiasan
untuk diberikan pada tanah SMA untuk padi sawah selama penggenangan tanah beium
dapat menaikkan pH tanah di atas 4,25-4,50. Sesuai dengan tingkat sensivitas
dari beberapa tanaman pangan terhadap kemasaman tanah dari yang paling tahan
sampai sangat sensitif, maka padi sangat tahan terhadap kemasaman tanah,
kemudian diikuti jagung dan kedele. Tanaman pangan dapat tumbuh di tanah SMA
setelah tanahnya diberi kapur, sehinga pH tanah disekitar akar > 4,25-4,50
untuk padi, > pH 4,50-5,00 untuk jagung, dan > 5,00-5,50 untuk kedele.
Konsep pengapuran yang mencapai puluhan sampai ratusan ton per ha untuk tanaman
pangan hendaknya ditinggalkan, kemudian perlu diteliti lebih lanjut mengingat
keberadaan mineral liat 2:1 (smektit) yang telah rusak sebagaimana dicinkan
bentuk difraksi sinar-X Hat 2:1 yang cembung. Kebutuhan kapur (KK) tanah SMA
yang d'rtetapkan berdasarkan 100% kali niiai Al-dd KC11 N menghasilkan
ekuivalen takaran kapur yang berlebihan atau overestimasi. Al-Jabri (2002a)
memperoleh bahwa KK untuk padi pada tanah SMA sekitar < 3 t/ha, jika KK ditetapkan
berdasarkan Al-dd dengan KCI 0,25 N. Sebaliknya, jika KK tanah SMA
Belawang ditetapkan berdasarkan Al-dd dengan KC11 N maka takarannya
dapat mencapai 14-15 t/ha. KK yang tinggi tersebut disebabkan Al yang semula
dalam bentuk tidak dapat ditukar dalam struktur mineral liat 2:1 yang telah
rusak oleh oksidasi pint turut terekstrak oleh KCI 1 N. KK berdasarkan
100% nilai Al-dd KCI 1 N tidak akurat, sebab keberadaan liat 2:1 yang
rusak mensuplai Al tidak hanya dalam bentuk tidak dapat ditukar, tetapi juga Al
dapat ditukar (Al-Jabri ef al., 2000b).
Fakta-fakta diperoleh bahwa KK
berdasarkan 100% kali nilai Al-dd 1 A/ KCI terlalu tinggi ditunjukkan oleh
hasil penelitian berikut: (1) KK optimum untuk jagung varietas Arjuna 1,50
t/ha, atau setara 24% nilai Al-dd 1 N KCI ( nilai Al-dd tanah SMA di Tri
Mulyo 6,36 cmol/kg) dan 2,71 t/ha, atau setara 38% nilai Al-dd 1 N KCI
(nilai Al-dd tanah SMA di Harapan Makmur 6.98 cmol/kg) (Al-Jabri et al.,
2000a). Takaran kapur 1,50 dan 2,71 t/na tersebut berdasarkan turunan pertama
dari persamaan kuadratiknya.
Takaran kapur berdasar turunan
pertama dari persamaan kuadratik temyata lebih rendah dari nilai Al-dd dengan
KCI 0.25 N (label 8.4). Sehubungan dengan KK ekuivalen dari 100% nilai
Al-dd KG! 0,25 N sedikit lebih tinggi, maka larutan garam KCI masih
perlu diencerkan dengan normalitas < 0,25 N. Fakta
ini memperkuat hipotesis bahwa metode pengukuran KK ekuivalen 100% kali nilai
Al-dd KCI 1 N tidak bertafcu umum untuk semua tanah SMA, sebab garam KCI
1 N tertaki kuat Formulasi mode) adalah cara lain untuk menetapkan KK
yang tebii reakstik. Penetapan KK secara tidak langsung dengan formulasi model
sudah dkjunakan sejak lama, tetaoi tidak berlaku umum. Penetapan KK dengan
formulasi mode) spesifik lokasi dengan tipologi lahan SMA untuk tanaman padi
tetah oiperoteh (AkJabri, 2002b). Pada awaJnya formulasi model dibangun dengan
mengukur kemasaman tanah secara langsung terhadap respons tanaman. Kemudtan,
takaran KK diestimasi dari sifat-sifat tanah yang dianggap paling berpengaruh
tanpa hams mengukur kemasaman tanah secara langsung.
Beberapa formulasi model KK yang
pemah dikembangkan, antara iain: (1) KK = 0,11[% liat + (5 x % bahan organik)]
(Joret et al., 1990); (2) KK = [pH 6,50-pH tanah] x % bahan organik untuk
tanah-tanah dengan Al-dd rendah (Keeny dan Corey , 1963); (3) KK = faktor.
[Al-dd - % kejenuhan Al, (KTK efektif)] untuk kedelai yang ditanam pada tanah
Ultisols di Sitiung (Sumatera Barat) yang didominasi mineral liat 1:1 (Wade ef al.,
1987). Formulas! model KK bersifat kondisional dapat digunakan untuk
menentukan takaran kapur, sebab aktivitas komponen-komponen kemasaman tersebut
sangat kompleks dan irrteraksinya dalam keadaan yang sebenarnya sangat sulit
dideteksi. Formulas! model dalam bentuk persamaan regresi linear, dimana
KK-inkubasi = fungsi Al-dd dengan KCI yang dimodifikasi dengan normalitas garam
KCI diencerkan < 1 N. Beberapa keuntungan penggunaan formulas! model,
antara lain: (1) tidak hanya menjelaskan fakta-fakta yang teramati, tetap! juga
meramal kejadian-kejadian yang pada saat itu tidak teramati, (2) mengatasi
masafah ketidak akuratan data yang terukur, (3) menjelaskan bahwa dua atau
lebih elemen pembentuk sistem saling berhubungan, sebab pada dasamya suatu
sistem terdiri atas peubah-peubah yang saling tergantung satu sama lain dan
bekerja sama dalam menjelaskan sekumpuian fakta untuk mencapai suatu tujuan
(Gaspersz, 1991).
Formulasi model dapat dikatakan
tidak mantap jika nilai dugaan dan parameter memiliki ragam yang besar maka
harus dimodifikasi, sehingga teori dapat menjawab masalah dengan lebih tepat
dan benar. Peramaian KK dari data aktual laboratorium sebaiknya divalidasi
dengan nilai aktual produksi tanaman, sebab data peubah bebas dan peubah tidak
betas bersifat kondisional. Oleh karena itu, pada waktu mengkonstruksJnya harus
dilakukan dengan cermat (Hasibuan,
1988).
Informasi yang harus diketahui
sehubungan dengan KK, maka dipastikan dahulu bahwa % kejenuhan Ca terhadap KTK
< 25% (Haby ef al., 1990). Jika pH tanah SMA < 4,00 dengan %
kejenuhan Ca < 25% dipastikan tanaman padi perlu kapur. Meskipun % kejenuhan
Ca ditingkatkan > 25% dapat memperbaiki pertumbuhan tanaman, tetapi KK
disesuaikan dengan batas pH terendah dimana tanaman padi dapat tumbuh. Sesuai
dengan McLean et al. (1983), bahwa pH tanah berkorelasi lebih baik
terhadap hasil dari pada % kejenuhan basa. Jadi, jika padi akan ditanam pada
tanah SMA maka % kejenuhan Ca diatas 25% dan pH tanah terendah 4,50. Telah
dilaporkan oieh LJebhardt (1981) dan Sholeh et al. (2001), bahwa
kation-kation basa tidak signifikan terhadap peningkatan hasil.
Pemupukan
Tanaman padi yang dikembangkan di
daerah pasang surut yang didominasi oleh tanah sulfat masam setelah pint
teroksidasi (pH tanah < 3,0) setelah musim tanam kedua tidak mau tumbuh.
Kemudian lahan dibiarkan terlantar dan ditumbuhi tanaman semak dan
menjadikannya sebagai lahan bongkor. Lahan bongkor tersebut bertipotogi lahan
SMA atau gambut tidak produktif. Meskipun demikian, produktivitas lahan bongkor
tersebut sangat rendah, tetapi dapat diperbaiki dengan pemberian pupuk hara
makro primer (N, P, dan K), hara sekundair (Ca) dan hara mikro (Cu dan Zn).
Jumlah pupuk yang dibenkan dapat ditentukan melalui analisis tanah secara
preskriptif. Tanaman padi varietas IR-42 yang ditanam pada tanah SMA di Karang
Agung Uiu (Sumsel) dengan perlakuan 1,50 ton kapur dan 140 kg P/ha (700 kg
TSP/ha) untuk mencapai 100% kebutuhan P ekstemal (P larutan 0,02 ppm P)
menghasilkan gabah kering giling (GKG) tertinggi sebanyak 8,67 t/ha (label
8.7). Periu diingat bahwa tanaman tidak respons terhadap pupuk P jika pH tanah
< 3,00. Oteh karena itu, pH tanah harus diketahui dahulu sebelum pupuk P
dibenkan. Jadi, jika pH tanah berkisar antara 4,25-4,50, maka kapur tidak harus
dibenkan.
Tanaman kedelai dapat ditanam pada
tanah SMA di Basarang (Kalteng) pada akhir musim hujan dengan perlakuan 8 ton
kapur/ha dan 100 kg P/ha (500 kg TSP/ha) menghasilkan biji tertinggi sebanyak
2,12 t/ha Kebutuhan kapur yang tinggi (8 ton kapur/ha) masih bersifat
mencari-cari, karena metode penetapannya bukan metode untuk tanah dart daerah
rawa, sehingga tidak dapat disamakan dengan tanah mineral masam berasal dan
daerah rawa pasang surut Kebutuhan pupuk P dapat ditentukan melalui pendekatan
kurva erapan P jika batas kritis P larutan untuk suatu jenis tanaman telah
diketahui (Fox dan Kamprath, 1970). Meskipun sampai saat ini hanya batas kritis
P larutan untuk padi saja yang baru diketahui pada tanah mineral masam adalah
0,015 ppm P (AJ-Jabri ef al., 1997), tetapi untuk tanah SMA tidak jauh
berbeda. Batas kritis P larutan untuk tanaman pangan lainnya (jagung dan
kedele) yang ditanam pada lahan rawa yang didominasi tanah mineral dan gambut
belum didokumentasikan.
Lahan gambut dangkal tebal 50-100
cm (G-1), gambut sedang tebal 100-200 cm (G-2), dan gambut dalam tebal 200-300
cm (G-3) yang berupa lahan bongkor sangat beralasan untuk direhabilitasi, dan
ditanami berbagai jenis komoditas tanaman sesuai dengan kesesuaian lahannya.
Meskipun setiap tipologi lahan gambut tersebut berbeda, tetapi pada umumnya
lahan gambut dihadapkan pada kendala-kendala sifat fisik, kimia, dan biologi
(Widjaja-Adhi, 1988). Kendala sifat fistk tanah gambut antara lain subsidence
jika didrainase, mengering tidak balik dan mudah tererosi, permeabilitas
horizontal tinggi. Kendala sifat kimia tanah gambut antara lain pH dan
kejenuhan basa sangat rendah, rasio C/N tinggi, status hara P, K, Ca, Mg, Cu,
Zn rendah. Kendala sifat biologi tanah gambut dicirikan oleh keterbatasan
aktivitas mikrobioiogi karena kemasaman tanahnya sangat tinggi. Produktivitas
lahan gambut dapat
PENUTUP
Mengingat cukup luasnya lahan rawa
di Indonesia, yaitu lebih dari 33 juta ha, maka keberadaan dan perkembangan
lahan yang memiliki sifat tidak stabtl ini perlu terus dipantau. Pengalaman
terdahulu mengajarkan bahwa kesalahan langkah dalam mereklamasi lahan rawa
mengakibatkan kerusakan lahan itu sendiri beserta lingkungannya, seperti
terlihat pada Proyek Lahan Gambut (PLG) satu juta ha di Kalimantan Tengah. Sekali
lahan rawa mengalami kerusakan atau degradasi berat, maka proses pemulihannya
kembaii memerlukan waktu yang sangat panjang, dapat mencapai waktu ratusan
tahun.
Selain itu, kegiatan penelitian
reklamasi, pengelolaan dan rehabilitasi lahan rawa perlu terus direncanakan dan
dilaksanakan dengan lebih baik, agar dapat ditemukan metoda yang lebih efektif
dan efisien. Teknologi dan informasi yang diperoleh perlu didiseminasikan
kepada para pengguna lahan rawa khususnya dan masyarakat luas pada umumnya.
Jaringan komunikasi antar peneliti dan peminat lahan rawa perlu dibangun, tidak
hanya di dalam negeri, tetapi juga seyogyanya meiuas ke tataran intemasional,
karena permasalahan lahan rawa merupakan permasalahan semua negara yang
memiliki lahan rawa.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Jabri, M. 2002a. Penetapan kebutuhan kapur dan
pupuk fosfat untuk tanaman padi (Oryza sativa L) pada tanah sulfat masam
aktual Belawang-Kalimantan Selatan. Disertasi. Program Pascasarjana. UNPAD. Bandung.
Al-Jabri, M., Sulaini, dan Suwalan. 2000a. Pemupukan
kapur, fosfat, dan kalium pada tanaman jagung dan padi di tanah sulfat masam
lahan pasang surut Jambi. Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan
Pengembangan Pertanian di Lahan Rawa. Cipayung, 25-27 Juli. ISDP.
Puslitbangtan. Badan Litbang. Pertanian.
Al-Jabri, M., Maryono, M.E. Suryadi, K. Kusumah, S.
Dwiningsih, dan DA Suriadikarta. 2000b. Pengaruh keberadaan mineral Hat smektit
terhadap pengukuran kebutuhan kapur untuk tanah sulfat masam aktual. Prosiding
Seminar Nasional Reorientasi Pendayagunaan Sumberdaya Tanah, Iklim, dan Pupuk.
Cipayung-Bogor, 31 Oktober-2 November.
AI-Jabri, M., Sholeh, L.R. Wdowati, A.
Hamid, J.S. Adiningslh, dan I P.G. Widjaja-Adhi. 1997. Penelitian uji fosfat
tanah dan analisis tanaman sebagai dasar rekomendasi pemupukan sawah bukaan
baru. Pros. No. 13/Pen. Tanah. Puslittanak, Badan Litbang Pertanian.
AI-Jabri, M. dan H. Suwardjo. 1986.
Penelitian pengaruh cara pengelolaan tanah gambut terhadap pertumbuhan tanaman
padi. Pros. No. 6/Pen. Tanah. Hal: 341-355. Cipayung, Bogor, 18-20 Maret 1986.
Aribawa, I B., A. Supardi, M.
AI-Jabri, dan I P.G. Widjaja-Adhi. 1997. Rehabilitasi lahan tidur pasang surut
jenis suifat masam di Basarang, Kuala Kapuas, Kalteng. Presiding Pertemuan
Pembahasan dan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat Bidang Kimia
dan Biologi Tanah. Cisarua, Bogor, 4-6 Maret 1997.
Auxtero, E.A. and J. Shamsuddin. 1991.
Growth of oil palm (Elaeis guinensis) seedlings on acid sulfate soils as
affected water regime and Al. Rant and Soil. 137:243-257.
Bouman, S.A.M. and P.M. Driessen.
1985. Physical properties of peat soils affecting rice-based cropping systems,
p 71-83 In IRRI. Soil Physics and Rice. International Rice Research
Institute. Los Banos. Laguna. Philippines.
Chairuddin, Iriansyah, O. Klepper, and
H.D. Rijksen. 1990. Environmental and socio-economic aspects of fish and
fisheries in an area of acid sulphate soils, Pulau Petak, Indonesia, p 374-392.
In AARD/LAWOO Paper Workshop on Acid Sulphate Soils in the Humid
Tropics. Bogor.
Charoenchamratcheep, C., B. Tantisira,
P. Chttnuson, and V. Sinaiem. 1982. Effect of liming and fertilizer application
on acid sulphate soils for improvement of rice production in Thailand, p
157-171. In Dost and Van Breemen (Eds.). Proceedings of the
Bangkok Symposium on Acid Sulphate Soils. ILRI Pub). 31. Wageningen. The
Netherlands.
De Geus and Jan G. 1973. Fertiizer
guide for the tropics and subtropics. Centre d'Etude de I'Azote, Zurich. Second
Edition. 774 p.
Derrt, D. 1986. Acid Sulphate Soils: A
baseline for research and development. ILRI Publ. 39. International Land
Reclamation and Improvement. Wageningen. The Nethertancls. 204 p.
Driessen, P.M. and R. Dudal. 1989.
Lecture Notes on the Geography, Formation, Properties and Use of the Major
Soils of the World. Agricultural University Wageningen and Kathoiieke
Universrtert Leuven. Wageningen. Leuven. Belgium.
Fox, R.L, and E.J. Kamprath. 1970.
Phosphate sorption isotherms for evaluating the phosphate requirements of
soils. Sort Sci. Soc. Am. Proc. 34: 902-907.
Gaspersz , V. 1991. Metode perancangan
percobaan. Penerbit. CV. ARMICO. Bandung.
Haby, V.A., M.P. Russelle, and E,O.
Skogley. 1990, Testing soils for potassium, calcium, and magnesium, pp. 181-
228. In Westerman, R. L (Ed.). Soil testing and plant analysis. Soil
Science Society of America., inc. Madison, Wisconsin. USA.
Hanhart, K., and Ouong van Ni. 1993.
Water management on rice fields at Hoa An, Mekong Delta, Vietnam. In Dent
and Van Mensvoort (Eds.). Selected Papers of the Ho Chi Minh City Symposium on
Acid Sulphate Soils. ILRI Publ. 53. International Institute for Land
Reclamation and Improvement. Wageningen. The Netherlands. 425 p.
Hartatik, W., I G.M. Subiksa, dan D.A.
Suriadikarta. 2000. Ameliorasi lahan gambut di Ai Sugihan Kin, Sumatera
Selatan. Presiding Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Pertanian di
Lahan Rawa. Cipayung, 25-27 Juli. ISDP. Puslitbangtan. Badan Litbang.
Pertanian.
Hasibuan, K.M. 1988. Pemodelan
matematik di dalam biologi populasi. PAU-IP8 bekerjasama dengan Lembaga
Sumberdaya Informasi IP6.
Joret, G., H. Matterre, and M.
Cabazan. 1990. L'appreciation des besoins en chaux des sots de limon d'apres
leur etat de saturation en bases exchangeables, p: 105-126. In Westerman,
R. L (Ed.). Soil testing and plant analysis. Soil Science Society of America.,
Inc. Madison, Wisconsin. USA.
Jumakir, S. Suwalan, K Bambang, dan T.
Afihamsyah. 2000. Kajian beberapa varietas unggu! padi di lahan pasang suruL
Presiding Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Lahan Rawa.
Cipayung, 25-27 Juii. ISDP. Puslitbangtan. Badan Litbang. Pertanian.
Keerty, D.R., and R.B. Corey. 1963.
Factor affecting the lime requirement of Wisconsin sois. SoB Sci. See. Am.
Proc. 27:277-280.
Konsten, C.J.M., S. Suping, I B.
Aribawa, and I P.G. WkijajaAdhi. 1990. Chemical processes in acid sulphate
soils in Pulau Petak, South and Central Kalimantan, Indonesia p 109-135. In AARD/LAWOO
Paper Workshop on Actd Sulphate Soils in the Humid Tropics. Bogor.
KselHc, RAL 1990. Water Management on
Acid Sulphate Soils at Pulau Petak, Kalimantan. In AARD/LAWOO Paper
Workshop on Acid Sulphate Soils in the Humid Tropics. Bogor.
Kselik, RAL., K.W. Smikte, H.P.
Ritzema, K. Subagyono, S. Saragih, M. Damanik, and H. Suwardjo. 1993.
Integrated research on water management soil fertility and cropping systems on
acid sulphate soils in South Kalimantan, Indonesia. In Dent and Van
Mensvoort (Eds.). Selected Papers of the Ho Chi Minh City Symposium on Acid
Sulphate Soils. ILRI Publ. 53. International Institute for Land Reclamation and
Improvement. Wageningen. The Netherlands. 425 pp.
Liebhardt W.C. 1981. The basic cation
saturation ratio concept of lime and potassium recommendations on Delaware's
Coastal Plain Soils . Soil Sci. Soc. Am. J. 45: 544-549.
Lindsay, W.L 1979. Chemical equilibria
in soils. John Witey & Sons, New York. Chichester. Brisbane. Toronto. 449p.
Mansur, D., D.A. Suriadikarta, I G.M.
Subiksa, dan I P.G. Widjaja-Adhi. 1995. Pengaruh tata air dan pencampuran
gambut terhadap pertumbuhan dan hasil padi di lahan bergambut. hal. 113-120
Da/am Sunihardi, A. Musaddad, Trip Alihamsyah dan Inu G. ismail (Eds.)
Teknologi Produksi dan Pengembangan Sistem Usahatani di Lahan Rawa. Kumpulan
Hastl Penelitian. Proyek Penelitian Pengembangan Pertanian Rawa Terpadu-ISDP.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
McLean, E.G., R.C. Hartwig, D.J.
Eckert, and G.B. TripteiL 1983. Basic cation saturation ratios as a basis for
fertilizing and frriing agronomic crops. II, Field studies. Agron. J.
75:635-639.
Moctar Toure. 1982. Improvement of
acid sulphate softs: Effects of ftne, wood ash, green manure and preflooding.
p. 223-236. In Dost and Van Breemen (Eds.). Proceedings of the
Bangkok Symposium on Acid Sulphate Soils. ILRI Publ. 31. Wageningen. The
Netherlands.
Ritzema, H.P.. RAL Kseft, and K.
Subagyono. 1993. Water Management Strategies to Ameforate and Use Acid Sulphate
Soils in the Humid Tropics. ILRI. Wageningen. The Netherlands.
Sabftiam, S., T.B. Prasetyo, and S.
Dohong. 1995. Phenolic acids in Indonesian peat P. 289-292 In Rietey and
Page (Eds.). Biodiversity and Sustainability of Tropical Peatland Proceedings
of the International Symposium on
Biodiversity, Environmental Importance and
Sustainability o Tropical Peats and Peatland. Palangkaraya, 4-8 September 1995.
Segeren, W.A. and H. Smith. 1980. Drainage of Newly
Reclaimed Marine Clayey Sediments, Peat Soils, and Acis Sulphate Soils. In
Drainage Principles and Applications. Vol. IV. Design and Management of Drainage
Systems. ILRI Publ. 16. Wageningen. The Nettiertands.
Sevenhuysen, RJ. 1990. The water management puzzle:
A Summary of the Research, p 338-346 In AARD/LAWOO Paper Workshop on
Acid Sulphate Soils in the Humid Tropics. Bogor.
Shamshuddin, J., S.R. Syed Omar, and A.R. Anuar.
2003. A New Paradigm in Tropical Soil Management. Department of Land
Management, Faculty of Agriculture Universiti Putra Malaysia, 43000 Serdang,
Selangor, Malaysia. Kongres Nasional VIII. Padang 21-23 Juli 2003.
Sholeh, U. Sudiatna, dan Maryam. 2001. Nisbah
kejenuhan kation basa sebagai dasar pemupukan Ca, Mg, dan K untuk padi sawah.
Presiding Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Pupuk.
Cisarua-Bogor 30-31 Oktober2001. Puslitbangtanak. Badan Litbang Pertanian.
Smilde, K.W. 1990. Lime and Fertilizer Application
for Crop Yield Improvement, p 224-237. In AARD/LAWOO Paper Workshop on
Acid Sulphate Soils in the Humid Tropics. Bogor.
Sri Ratmini, N.P., I G.M. Subiksa, dan Komaruddin.
2000. Rehabilitasi lahan sulfat masam Karang Agung Ulu, Sumatera Selatan.
Presiding Seminar Nasional Peneiitian dan Pengembangan Pertanian di Lahan Rawa.
Cipayung, 25-27 Juli. ISDP. Puslitbangtan. Badan Litbang. Pertanian.
Subagyono, K., E. Ananto, I M.O. Adnyana, and I P.G.
Widjaja-Adhi. 1998. Water management strategies for farming system development
in tidal swamp areas of South Sumatra. IARD Journal, Vol. 20 No. 4:83-90.
Subagyono, K., I P.G. Widjaja-Adhi, T. Alihamsyah,
E. Ananto, dan I G.M. Subiksa. 1997. Petunjuk Peiaksanaan Penataan Lahan dan
Air untuk Pengembangan SUP Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan. Proyek
Pengembangan SUP Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan. Badan Peneiitian dan
Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. (Tidak dipublikasi).
Subagyono, K., H. Suwardjo, A. Abas Id., dan I P.G.
Widjaja-Adhi. 1994. Pengaruh pencucian, kapur, dan pemupukan K terhadap sifat
kimia tanah, kualitas air, dan hasil padi pada tanah sulfat masam di Unit
Tatas, Kalimantan Tengah. Pemb. Pen. Tanah dan Pupuk, No. 12: 35-47.
Subagyono, K., H. Suwardjo, dan I P.G. Widjaja-Adhi.
1992. Kontribusi Beberapa Teknik Reklamasi terhadap Perbaikan Mutu Lahan Pasang
Surut Bertanah Sulfat Masam. Makalah disampaikan pada Seminar Pengembangan