PENGELOLAAN UNSUR HARA PADA LAHAN GAMBUT
DENGAN TEKNIK AMELIORASI
PAPER
Oleh :
YOKE
BLANDINA L. S.
110301045
PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2013
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................... i
DAFTAR ISI......................................................................................................... ii
PENDAHULUAN
Latar
Belakang............................................................................................... 1
Tujuan
Penulisan............................................................................................ 2
Kegunaan
Penulisan....................................................................................... 3
KARAKTERISTIK TANAH GAMBUT
Kesuburan
Tanah Gambut............................................................................. 4
Sifat
Kimia Tanah Gambut............................................................................ 8
AMELIORASI DAN PEMUPUKAN PADA TANAH GAMBUT.............. 11
KESIMPULAN................................................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 25
PENDAHULUAN
Luas lahan gambut di Indonesia
diperkirakan 11 juta ha yang tersebar di Pulau Sumatera, Kalimantan, dan Irian
Jaya (Papua), hampir 1/3 luas lahan rawa di Indonesia. Tanah gambut merupakan
tanah yang tersusun dari bahan organik, baik dengan ketebalan lebih dari 45 cm
ataupun terdapat secara berlapis bersama tanah mineral pada ketebalan 80 cm
serta mempunyai tebal lapisan bahan organik lebih dari 50 cm. Tanah gambut atau
tanah organik dikenal juga sebagai Organosol atau Histosol.
Berdasarkan proses dan lokasi
pembentukannya, tanah gambut dipilah menjadi: (a) gambut pantai atau pasang
surut, yaitu gambut yang dominan dipengaruhi oleh pasang surut air laut; (b)
gambut pedalaman, yaitu gambut yang tidak dipengaruhi oleh pasang surut air
laut; (c) gambut peralihan (transisi), yaitu gambut yang terdapat di antara
gambut pantai dan gambut pedalaman. Widjaja Adhi (1988) menggolongkan tanah
gambut berdasarkan ketebalan bahan organik, tanah yang mempunyai ketebalan
gambut kurang dari 50 cm sebagai tanah bergambut. Selanjutnya tanah gambut
dibedakan berdasar kedalamannya, yaitu: gambut dangkal (50-100 cm), gambut
sedang (100-200 cm), gambut dalam (200-300 cm) dan gambut sangat dalam (>300
cm).
Tanah-tanah lainnya yang tergolong
ke dalam tanah yang banyak mengandung bahan organik dan terletak di dataran
aluvium ialah tanah gley humus yaitu tanah-tanah yang memiliki ketebalan gambut
kurang dari 30 cm dengan kadar karbon antara 15 hingga 30% (Koswara, 1973).
Tanah gambut tebal di Indonesia
umumnya mengandung kurang dari 5% fraksi inorganik dan sisanya fraksi organik
yaitu lebih dari 95%. Fraksi organik terdiri senyawa-senyawa humat sekitar 10
hingga 20%, sebagian besar terdiri atas senyawa-senyawa non humat yang meliputi
senyawa lignin, selulosa, hemiselulosa, lilin, tannin, resin, suberin, sejumlah
kecil protein, dan lain-lain.
Sedangkan senyawa-senyawa humat
terdiri atas asam humat, himatomelanat dan humin (Stevenson, 1994; Tan, 1993).
Sebagian besar gambut tropika mempunyai kemasaman yang relatif tinggi (pH 3-5)
dan umumnya mengandung kurang dari 5% fraksi inorganik (Driessen, 1978).
Polak (1975) mengemukakan bahwa
gambut yang ada di Sumatera dan Kalimantan umumnya didominasi oleh bahan
kayu-kayuan. Oleh karena itu komposisi bahan organiknya sebagian besar adalah
lignin yang umumnya melebihi 60% dari bahan kering, sedangkan kandungan
komponen lainnya seperti selulosa, hemiselulosa, dan protein umumnya tidak
melebihi 11%.
Gambut di Indonesia umumnya
merupakan gambut ombrogen, terutama gambut pedalaman yang terdiri atas gambut
tebal dan miskin akan unsur hara, digolongkan ke dalam tingkat oligotrofik
(Radjagukguk, 1997). Sedangkan pada gambut pantai pada umumnya tergolong ke
dalam gambut eutrofik karena adanya pengaruh air pasang surut. Air pasang surut
mengandung bahan-bahan halus dan bahan terlarut lain yang berasal dari daratan
karena terbawa oleh aliran air sungai pada waktu banjir atau berasal dari
lautan karena naiknya air laut pada saat terjadinya pasang (Andriesse, 1974;
Leiwakabessy, 1978).
Tujuan
Penulisan
Untuk
mengetahui pengelolaan hara pada lahan rawa gambut.
Kegunaan
Penulisan
Sebagai
tugas Matakuliah Pengelolaan Tanah dan Air. Dan sebagai bahan informasi bagi
pihak yang membutuhkan.
KARAKTERISTIK TANAH GAMBUT
Kesuburan
tanah gambut
Kesuburan alamiah tanah
gambut sangat beragam, tergantung pada beberapa faktor: (a) ketebalan lapisan
tanah gambut dan tingkat dekomposisi, (b) komposisi tanaman penyusunan gambut,
dan (c) tanah mineral yang berada dibawah lapisan tanah gambut (Andriesse,
1974). Polak (1949) menggolongkan gambut kedalam tiga tingkat kesuburan yang
didasarkan pada kandungan P2O5, CaO, K2O, dan kadar abunya, yaitu : (1) gambut
eutrofik dengan tingkat kesuburan yang tinggi, (2) gambut mesotrofik dengan tingkat
kesuburan yang sedang, dan (3) gambut oligotrofik dengan tingkat kesuburan yang
rendah.
Tingginya kandungan basa-basa
gambut eutrofik disebabkan pembentukannya dipengaruhi oleh air payau (campuran
air laut dan air sungai). Gambut mesotrofik pembentukannya dipengaruhi oleh air
sungai, sedangkan gambut oligotrofik pembentukannya dipengaruhi oleh air hujan (Leiwakabessy, 1978).
Tanah gambut di Indonesia sebagian
besar bereaksi masam hingga sangat masam dengan pH kurang dari 4,0. Hasil penelitian
Halim (1987) dan Salampak (1999) diperoleh nilai kisaran pH H2O (1:5) yaitu
tanah gambut pedalaman Berengbengkel Kalimantan Tengah sebesar 3,25 hingga
3,75.
Sedangkan pH H2O tanah
gambut dari Air Sugihan Kiri Sumatera Selatan lebih tinggi yaitu sebesar
4,1-4,3 (Hartatik et al., 2004). Nilai kapasitas tukar kation tanah
gambut berkisar antara 100 hingga 300 me/100 g tanah, hal ini disebabkan oleh
muatan negatif bergantung pH yang sebagian besar dari gugus karboksil dan gugus
hidroksil dari fenol (Driessen dan Soepraptohardjo, 1974).
Menurut Andriesse (1974) dan
Driessen (1978), kapasitas tukar kation (KTK) gambut ombrogen di Indonesia
sebagian besar ditentukan oleh fraksi lignin dan senyawa humat. Tanah gambut di
Indonesia, terutama tanah gambut ombrogen mempunyai komposisi vegetasi penyusun
gambut yang didominasi oleh tumbuhan yang berasal dari bahan kayukayuan. Bahan
kayu-kayuan umumnya banyak mengandung senyawa lignin yang dalam proses
degradasinya akan menghasilkan asam-asam fenolat (Stevenson, 1994).
Kandungan kation basa-basa (Ca, Mg,
K, dan Na) umumnya terdapat dalam jumlah yang rendah terutama pada gambut
tebal. Semakin tebal gambut, kandungan abu semakin rendah, kandungan Ca dan Mg
menurun dan reaksi tanah menjadi lebih masam (Driessen dan Soepraptohardjo,
1974). Kandungan basa-basa yang rendah disertai dengan nilai KTK yang tinggi,
sehingga ketersediaan basa-basa menjadi rendah. Rendahnya kandungan basa-basa
pada gambut pedalaman berhubungan erat dengan proses pembentukannya yang lebih
banyak dipengaruhi oleh air hujan (Leiwakabessy, 1978). Kejenuhan basa (KB)
tanah gambut pedalaman pada umumnya sangat rendah. Tanah gambut pedalaman
Berengbengkel Kalimantan Tengah mempunyai nilai KB kurang dari 10% (Tim
Institut Pertanian Bogor, 1974), demikian juga nilai KB tanah gambut dataran
rendah Riau (Suhardjo dan Widjaja-Adhi, 1976).
Unsur fosfor (P) pada tanah gambut
sebagian besar dijumpai dalam bentuk P organik, yang selanjutnya akan mengalami
proses mineralisasi menjadi P inorganik oleh jasad mikro. Sebagian besar
senyawa P organik berada dalam bentuk ester ortofosfat, sebagian lagi dalam
bentuk mono dan diester. Ester yang telah diidentifikasi terdiri atas inositol
fosfat, fosfolipid, asam nukleat, nukleotida, dan gula fosfat, ketiga senyawa
pertama bersifat dominan.
Fraksi P organik diperkirakan
mengandung 2% P sebagai asam nukleat, 1% sebagai fosfolipid, 35% inositol
fosfat, dan sisanya belum teridentifikasi. Di dalam tanah, pelepasan inositol
fosfat sangat lambat dibandingkan ester lainnya, sehingga senyawa ini banyak
terakumulasi, dan kadarnya di dalam tanah menempati lebih dari setengah P
organik atau kira-kira seperempat total P tanah. Senyawa inositol heksafosfat dapat
bereaksi dengan Fe atau Al membentuk garam yang sukar larut, demikian juga
terhadap Ca. Dalam keadaan demikian, garam ini sukar didegradasi oleh mikroba
(Stevenson, 1994).
Penelitian pada tanah Histosol yang
tidak diusahakan, dan didrainase yang mengandung bahan mineral yang tinggi,
termasuk besi feri (Fe3+) dan Ca yang tinggi akan menurunkan mobilitas dan
degradasi fosfat. Dari total P fraksi terbesar yaitu fraksi P organik tidak
labil dan yang resisten. Asam fulvat berasosiasi dengan P sebesar 12% dari
total P. Fosfat residu berturut-turut sebesar 13; 29; dan 8% dari total P tanah
pada Histosol yang diusahakan, tidak diusahakan, dan yang digenangi (Ivanoff et
al., 1998).
Proses mineralisasi P organik oleh
jasad mikro sangat dipengaruhi oleh nisbah C dan P. Bila nisbah C dan P
mencapai 300 akan terjadi immobilisasi P oleh jasad mikro, P akan digunakan
sebagai energi dan penyusun struktur sel jasad mikro. Sedangkan bila nisbah C
dan P mencapai 200, proses mineralisasi akan berjalan lebih cepat daripada
proses immobilisasi, sehingga P akan dapat lebih tersedia bagi tanaman. Menurut
Tisdale et al. (1985) proses mineralisasi akan lebih konstan bila nisbah
C, N, dan P mencapai nilai sebesar 100:10:1. Dengan demikian proses mineralisasi
yang terjadi pada tanah gambut berlangsung lambat, karena nisbah C dan P sangat
lebar (Miller dan Donahue, 1990).
Pada tanah gambut kandungan unsur
mikro umumnya terdapat dalam jumlah yang sangat rendah, dan dapat menyebabkan
gejala defisiensi bagi tanaman. Tanah yang berkadar bahan organik tinggi
seperti gambut, sebagian besar hara mikro, terutama Cu dikhelat cukup kuat oleh
bahan organik sehingga tidak tersedia bagi tanaman (Kanapathy, 1972). Grup
karboksilat dan fenolat pada tapak reaktif tanah gambut dapat membentuk senyawa
kompleks dengan unsur mikro, sehingga mengakibatkan unsur mikro menjadi tidak
tersedia bagi tanaman. Selain itu adanya kondisi reduksi yang kuat menyebabkan
unsur mikro direduksi menjadi bentuk logamnya yang tidak bermuatan.
Menurut Driessen (1978) kandungan
unsur mikro tanah gambut pada lapisan bawah umumnya lebih rendah dibandingkan
lapisan atas. Namun dapat juga kandungan unsur mikro pada lapisan bawah dapat
lebih tinggi apabila terjadi pencampuran dengan bahan tanah mineral yang ada di
lapisan bawah gambut tersebut.
Sifat kimia tanah gambut
Tingkat kemasaman tanah gambut
berhubungan erat dengan kandungan asam-asam organiknya, yaitu asam humat dan
asam fulvat (Andriesse,
1974; Miller dan Donahue, 1990). Bahan organik yang telah mengalami dekomposisi
mempunyai gugus reaktif seperti karboksil (–COOH) dan fenol (C6H4OH)
yang mendominasi kompleks pertukaran dan dapat bersifat sebagai asam lemah sehingga
dapat terdisosiasi dan menghasilkan ion H dalam jumlah banyak.
Diperkirakan bahwa 85 sampai 95%
muatan pada bahan organik disebabkan karena kedua gugus karboksil dan fenol
tersebut. Dekomposisi bahan organik dalam keadaan anaerob akan menghasilkan beberapa
senyawa dan gas, antara lain adalah metan, hidrogen sulfida, etilen, asam
asetat, asam butirat, asam laktat, dan asam-asam organik lainnya seperti asam-asam
fenolat. Sebagian besar dari asam-asam
ini bersifat racun bagi tanaman (Tsutsuki dan Kondo, 1995).
Tanah-tanah gambut di Indonesia
mempunyai kandungan lignin yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanah-tanah gambut
yang berada di daerah yang beriklim sedang (Driessen dan Suhardjo, 1976; Driessen,
1978). Lignin tersebut akan mengalami proses degradasi menjadi senyawa humat,
dan selama proses degradasi tersebut akan dihasilkan asam-asam fenolat
(Kononova, 1968).
Beberapa jenis asam fenolat yang
umum dijumpai dalam tanah adalah asam vanilat, p-kumarat, p-hidroksibenzoat,
salisilat, galat, sinapat, gentisat, dan asam siringat (Tsutsuki, 1984).
Asam-asam fenolat tersebut berpengaruh langsung terhadap proses biokimia dan
fisiologi tanaman, serta penyediaan hara di dalam tanah. Beberapa hasil
penelitian menunjukkan bahwa asam-asam fenolat bersifat fitotoksik bagi tanaman
dan menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat (Stevenson, 1994).
Konsentrasi asam fenolat sebesar
0,6-3,0 mM dapat menghambat pertumbuhan akar padi sampai 50%, sedangkan pada
konsentrasi 0,001 hingga 0,1 mM dapat mengganggu pertumbuhan beberapa tanaman (Tsutsuki,
1984). Pengaruh asam p-hidroksibenzoat yang diberikan terusmenerus
sampai panen dengan konsentrasi >0,1 mM menurunkan bobot kering tanaman
bagian atas dan biji pada saat panen (Tadano et al., 1992).
Wang et al. (1967)
mendapatkan pada konsentrasi asam p-hidroksibenzoat sebesar 7-70 mM dapat
menekan pertumbuhan tanaman jagung, gandum, dan kacang-kacangan. Sedangkan pada
konsentrasi 180 mM tidak berpengaruh terhadap tanaman tebu, tetapi pada
konsentrasi asam p-hidroksibenzoat 360 mM berpengaruh terhadap pertumbuhan
akar tanaman tebu.
Hartley dan Whitehead (1984)
mengemukakan bahwa asam-asam fenolat pada konsentrasi 250 μM menurunkan sangat
nyata serapan kalium oleh tanaman barley. Asam salisilat dan ferulat
menyebabkan terhambatnya serapan kalium dan fosfor oleh tanaman gandum serta
asam ferulat pada konsentrasi 500 hingga 1000 μM menurunkan serapan fosfor pada
tanaman kedelai.
Bahan-bahan fitotoksik hasil
dekomposisi bahan organik berpengaruh terhadap perubahan permeabilitas sel
tanaman, sehingga asam-asam amino dan bahan lain mengalir keluar dari sel,
nekrosis pada sel akar, menghambat dan menunda perkecambahan. Selain bahan
fitotoksik ini dapat mematikan biji, menghambat pertumbuhan akar, pertumbuhan
tanaman kerdil, mengganggu serapan hara, klorosis layu, dan akhirnya dapat
mematikan tanaman (Patrick,
1971).
AMELIORASI DAN PEMUPUKAN PADA LAHAN
GAMBUT
Rendahnya produktivitas lahan
gambut disebabkan oleh adanya berbagai faktor pembatas, diantaranya kandungan
asam-asam fenolat yang tinggi, kemasaman yang tinggi, kapasitas tukar kation
yang tinggi dengan kejenuhan basa dan ketersediaan P yang rendah. Mengusahakan
lahan gambut dengan cara disawahkan, secara tidak langsung dapat menekan
terjadinya penurunan permukaan tanah (subsident), namun permasalahan yang dihadapi
adalah munculnya asam-asam organik dalam konsentrasi yang tinggi yang meracuni tanaman,
terutama asam-asam fenolat (Salampak, 1999).
Asam-asam fenolat tersebut
merupakan hasil biodegradasi anaerob dari senyawa lignin dalam bahan asal
kayu-kayuan (Tsutsuki dan Kondo, 1995). Pengaruh buruk dari derivat asam-asam
fenolat dapat dikurangi dengan pemberian kation-kation polivalen seperti Al,
Fe, Cu, Zn (Saragih 1996). Penurunan asam asam fenolat disebabkan oleh adanya serapan
kation-kation polivalen oleh tapak reaktif gugus fungsional asam-asam organik
sehingga membentuk senyawa kompleks yang resisten (Stevenson, 1994).
Tapak-tapak reaktif di dalam tanah
gambut berasal dari gugus fungsional asam organik yang mengandung oksigen (C=O,
–OH, dan –COOH), terutama dari gugus –OH asam fenolat. Penelitian Saragih
(1996) menunjukkan bahwa kation Fe+3 lebih efektif dan stabil
berikatan dengan senyawa-senyawa organik dalam gambut dibandingkan dengan
kation Al+3, Ca+2, Cu+2, dan Fe+2. Penggunaan kation Fe sangat baik bagi pengikatan
P sehingga dapat mengkonservasi dan meningkatkan ketersediaan P (Rachim, 1995).
Upaya peningkatan produktivitas
lahan gambut melalui teknologi pencampuran dengan tanah mineral telah lama
dipraktekkan di lahan gambut. Tanah mineral yang sesuai sebagai bahan amelioran
untuk menekan aktivitas asam-asam fenolat tergantung kandungan asam-asam
fenolat dominan pada gambut. Untuk gambut dari Kalimantan Tengah yang
mengandung asam ferulat lebih tinggi, maka tanah mineral yang lebih sesuai yang
mengandung besi tinggi.
Sedangkan pada gambut Sumatera
Selatan yang mengandung asam phidroksibenzoat yang lebih tinggi, maka pemberian
tanah mineral perlu dikombinasikan dengan pemberian terusi (sumber Cu). Petani
di Belanda mencampurkan tanah mineral yang ada di bawah gambut dengan gambut
yang ada diatasnya, tanah mineral diaduk merata dengan gambut hingga kedalaman
40 cm.
Sedangkan petani di Rusia
mencampurkan tanah mineral dengan gambut dengan cara menyebarkan tanah mineral
di atas tanah gambut sebanyak 300- 400 m3/ha atau setebal 3-4 cm, kemudian
dibajak agar tanah mineral tercampur rata dengan tanah gambut. Praktek petani
di Jerman untuk meningkatkan produktivitas tanah gambut dengan tanah mineral
berbeda dengan Belanda dan
Rusia. Tanah mineral yang diangkut
dari tempat terdekat, disebar rata di atas permukaan tanah gambut setebal 10
hingga 12 cm atau 1.000 hingga 1.200 m3/ha, tetapi tidak dicampur
dengan gambut (Skoropanov, 1968). Pemberian tanah mineral setebal 6 cm atau
setara 600 t/ha pada tanah gambut Hokaido Jepang meningkatkan hasil padi 4,3
t/ha (Miyake, 1982).
Soepardi dan Surowinoto (1986) melaporkan
bahwa pemberian tanah mineral sebanyak 60 t/ha mampu meningkatkan hasil
tanaman, hanya saja upaya tersebut harus dibarengi dengan upaya pemupukan.
Halim (1987) melakukan pencampuran
tanah gambut Sumatera Selatan dengan tanah mineral berasal dari tanggul sungai
(levee) sebesar 16 ton bahan tanah dan 3 ton dolomit + 1,5 ton kalsit
serta 80 kg besi per hektar meningkatkan hasil kedelai sebesar 17,7 ku/ha.
Rachim et al. (1991) melaporkan takaran tanah mineral berpirit sebanyak
20% dari bobot tanah gambut meningkatkan hasil tanaman jagung dan padi. Bila
takaran campurannya ditingkatkan menjadi 40%, maka cenderung menurunkan hasil,
karena meningkatnya bobot gabah yang hampa. Pencampuran tanah mineral berpirit
perlu diwaspadai karena dapat berdampak negatif terhadap pertumbuhan tanaman,
karena meningkatnya Al-dd, H-dd, dan SO42-.
Pemanfaatan bahan amelioran lumpur
laut dan kapur terhadap peningkatan produksi kedelai pada gambut Kalimantan
Barat menunjukkan bahwa lumpur laut dapat memperbaiki produktivitas gambut
melalui perbaikan sifat-sifat kimia, antara lain meningkatkan pH, ketersediaan
Ca dan Mg, kejenuhan basa, kombinasi kapur 3 t/ha dan lumpur laut 7,5%
meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman kedelai (Sagiman, 2001).
Ameliorasi dengan tanah mineral
berkadar besi tinggi dapat mengurangi pengaruh buruk dari asam-asam fenolat
(Hartatik, 2003). Salampak (1999) melaporkan pemberian tanah mineral berkadar
besi tinggi sampai takaran 7,5% erapan maksimum besi pada tanah gambut dari Kalimantan
Tengah mampu menurunkan konsentrasi asam-asam fenolat sekitar 30% dan
meningkatkan produksi padi dari 0,73 menjadi 3,24 t/ha. Pemberian tanah mineral
juga dapat memperkuat ikatan-ikatan kation dan anion sehingga konservasi
terhadap unsur hara yang berasal dari pupuk menjadi lebih baik. Selain itu,
ikatan dengan koloid inorganik menyebabkan degradasi bahan gambut menjadi
terhambat (Alexander, 1977)
sehingga gambut sebagai sumber daya alam dapat digunakan dalam jangka waktu
yang lama.
Kation besi dari amelioran tanah
mineral dapat menciptakan tapak erapan baru pada gambut sehingga ikatan fosfat
menjadi lebih kuat dan tidak mudah lepas. Kation besi berperan sebagai jembatan
pengikat fosfat pada tapak erapan reaktif gambut sehingga hara P dari tapak
reaktif gambut dapat dilepaskan secara lambat dan kebutuhan tanaman dapat
dipenuhi. Hartatik (2003) melaporkan pemberian bahan amelioran tanah mineral takaran
7,5% erapan maksimum Fe pada tanah gambut Air Sugihan Kiri Sumatera Selatan
menurunkan konsentrasi asam siringat, asam kumarat dan asam vanilat
berturut-turut 88, 67, dan 36%.
Menurut Tadano et al. (1992)
beberapa jenis asam fenolat yang umum dijumpai dalam tanah gambut di antaranya
asam ferulat, asam vanilat, p-kumarat, dan p-hidroksibenzoat pada
konsentrasi tertentu dapat bersifat racun terhadap pertumbuhan tanaman. Asam asam
fenolat tersebut berpengaruh menekan aktivitas fisiologi akar, menghambat pertumbuhan
akar, dan mengganggu serapan hara.
Penurunan asam-asam fenolat ini
disebabkan oleh adanya interaksi antara kation Fe dari bahan amelioran sebagai
jembatan kation dan asam-asam fenolat melalui proses polimerisasi. Kation Fe
bereaksi dengan ligan organik membentuk ikatan kompleks. Asam-asam organik
berperan sebagai penyumbang pasangan elektron (donor), sedangkan kation
Fe berperan sebagai penerima elektron (aseptor) (Tan, 1993).
Penurunan konsentrasi asam-asam
fenolat dalam tanah gambut pada prinsipnya tidak dimaksudkan untuk menghabiskan
konsentrasi asam-asam organik tersebut, karena hampir seluruh reaksi kimia yang
terjadi di dalam tanah tersebut berada pada tapak reaktif dari berbagai gugus
fungsional asam-asam organik yang mengandung oksigen (–C=O, –OH, dan –COOH).
Oleh karena itu untuk menurunkan konsentrasi asam-asam organik yang meracun
dalam tanah gambut harus dirancang, agar tidak sampai menghilangkan fungsinya
sebagai media tumbuh tanaman, serta fungsinya sebagai pusat pertukaran kimia
(koloid). Ameliorasi gambut dari Air Sugihan Kiri Sumatera Selatan dengan tanah
mineral berpirit menunjukkan bahwa pencucian pada amelioran tanah mineral yang berkadar
pirit rendah maupun tinggi, mampu menurunkan kadar pirit terlarut.
Pada tanah mineral yang berkadar
pirit rendah, pencucian yang dilakukan empat kali sebulan menurunkan kadar
sulfat terlarut sebesar 74% yaitu dari 320 ppm menjadi 84 ppm, bila pencucian
dilakukan dua kali sebulan mampu menurunkan kadar sulfat terlarut sebesar 69%
yaitu dari 317 ppm menjadi 98 ppm. Sedangkan pada tanah mineral berpirit tinggi
pencucian dua dan empat kali sebulan mampu menurunkan kadar sulfat terlarut
masing-masing 93 dan 91%.
Demikian juga pencucian yang
dilakukan setelah tanah mineral berpirit dicampur dengan tanah gambut juga
cukup efektif menurunkan kadar sulfat terlarut dalam tanah. Ameliorasi gambut
dengan tanah mineral berpirit, disarankan melakukan pencucian untuk menurunkan
kadar sulfat sampai batas tidak menghambat pertumbuhan tanaman, sebaiknya
dilakukan percampuran gambut dengan tanah mineral dahulu sebelum dilakukan
pencucian, untuk menghindari hilangnya basa-basa dalam gambut dan meningkatkan
hasil tanaman Ameliorasi gambut dengan tanah mineral berpirit yang telah
diturunkan kadar sulfatnya melalui pencucian dua kali setelah diinkubasi selama
satu bulan menunjukkan bahwa dapat menurunkan konsentrasi asam-asam fenolat
dari tanah gambut sebesar 44% untuk p-hidroksi benzoat, 75% untuk asam
vanilat, 78% untuk asam p-kumarat, 80% untuk asam sinapat, 96% untuk
asam ferulat, dan 85% untuk asam siringat, serta meningkatkan pertumbuhan dan
hasil tanaman padi (Suastika,
2004).
Mario (2002) melaporkan peningkatan
produktivitas tanah gambut pantai (Samuda), gambut transisi (Sampit) dan gambut
pedalaman (Berengbengkel) Kalimantan Tengah, dengan pemberian tanah mineral
yang mengandung besi tinggi (Fe2O3 = 22,06%) dengan
takaran 5% erapan Fe maksimum yang dikombinasikan dengan terak baja (Fe2O3
= 42,6%) dalam beberapa kombinasi. Kombinasi perlakuan yang dicobakan yaitu 90%
tanah mineral + 10% terak baja, 80% tanah mineral + 20% terak baja, 70% tanah
mineral + 30% terak baja, 60% tanah mineral + 40% terak baja, 50% tanah mineral
dan 50% terak baja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengkayaan tanah mineral
dengan pemberian terak baja mampu menurunkan konsentrasi asam-asam fenolat.
Penurunan proporsi bahan tanah mineral sebagai bahan amelioran menurunkan
kemampuan amelioran tersebut dalam menurunkan konsentrasi asam-asam fenolat.
Peningkatan proporsi terak baja
dari 10% hingga 50% menyebabkan menurunnya interaksi yang terjadi antara
asam-asam fenolat dengan Fe yang terkandung dalam amelioran. Pemberian amelioran
meningkatkan ketersediaan hara terutama basabasa dalam tanah gambut, meskipun
kecenderungan terjadi penurunan pH tanah, namun demikian peningkatan proporsi
terak baja cenderung meningkatkan pH tanah. Pemberian amelioran berpengaruh
nyata dalam meningkatkan pertumbuhan dan produksi padi. Pada gambut
Berengbengkel peningkatan proporsi terak baja secara linear meningkatkan
produksi padi, sedangkan pada gambut Samuda dan Sampit tidak terjadi perbedaan
yang nyata.
Peningkatan produktivitas tanah
gambut transisi dapat dicapai dengan pemberian 70% setara 4,6 t/ha bahan tanah
mineral yang diperkaya dengan 30% setara 1,5 t/ha terak baja, sedangkan untuk
gambut pantai hanya dengan pemberian bahan tanah mineral sebesar 7,9 t/ha.
Untuk gambut pedalaman penggunaan bahan tanah mineral yang diperkaya oleh terak
baja tidak mampu untuk memperbaiki produktivitas tanah gambut yang disawahkan.
Hal ini disebabkan pada gambut pedalaman mempunyai kandungan asam fenolat potensial
yang cukup tinggi, sehingga sulit memprediksi kebutuhan bahan amelioran dalam
menurunkan asam-asam fenolat.
Pengkayaan tanah mineral insitu
oleh bahan berkadar besi tinggi (terak baja) sebagai bahan amelioran pada
gambut dari Air Sugihan Kiri untuk meningkatkan produktivitas lahan gambut yang
disawahkan menunjukkan bahwa pemberian amelioran tanah mineral insitu dengan
takaran 5% erapan maksimum Fe dengan terak baja 15% meningkatkan hasil gabah
kering sebesar 4,6 t/ha (Laporan kerjasama Lembaga Penelitian IPB dan PPTA,
2001).
Murnita (2001) mempelajari peranan
bahan amelioran besi (Fe) dan zeolit terhadap perilaku K dan hasil padi pada
tanah gambut pantai dan gambut peralihan Jambi. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa pemberian bahan amelioran Fe sebanyak 2,5% erapan maksimum Fe dan zeolit
0,25-3% dapat mengurangi konsentrasi asam-asam fenolat dalam tanah gambut
pantai saprik dan hemik masing-masing sebesar 9-47% dan 9-52%, serta gambut
peralihan saprik dan hemik sebesar 9-53% dan 10-62%. Pemberian Fe berperan
lebih besar dalam menekan konsentrasi asam-asam fenolat dibandingkan dengan zeolit.
Suriadikarta dan Jayusman (2001),
telah mencoba menggunakan pupuk cair shimarock untuk meningkatkan produksi
tanah gambut yang disawahkan. Shimarock adalah pupuk cair yang berasal dari
Jepang yang dibuat dari ekstrak mineral vermikulit yang mengandung 22 jenis
mineral, yaitu : Ca, Mg, K, Na, Se, Si, P, Rb, Ge, Zn, W, Mn, Fe, Cu, Co, Ni,
Mo, Li, V, Ti, Al, dan Ba.
Mineral-mineral tersebut sangat
penting dalam proses fotosintesis, dan merupakan komponen enzim yang penting
sebagai katalisator dalam metabolisme tanaman. Shimarock dapat membuat akar
tanaman menjadi cepat tumbuh dan banyak membentuk akar-akar halus tumbuh dan
ini menjadi penting untuk tanaman (Kondo, 2001).
Bahan shimarock telah dicoba di
Indonesia pada tanah gambut lahan sawah di daerah Air Sugihan Kiri, Sumatera
Selatan dengan tanaman padi varietas lokal Komojoyo. Penelitian dilaksanakan
pada MH 2001, dengan dosis 1 cc/lt. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan
penggunaan shimarock pada lahan gambut dapat meningkatkan tanaman padi dua kali
lipat lebih (212,5%), yaitu dari 1,6 t/ha menjadi 3,4 t/ha GKG.. Tetapi bila
digunakan pada tanah mineral masam (Ultisols) dengan varietas unggul baru IR-64
dapat meningkatkan hasil 20,3%, yaitu dari 6,4 t/ha menjadi 7,7 t/ha GKG,
sedangkan dengan varietas hibrida Yaponica peningkatannya kecil hanya 7,3%
yaitu dari 6,8 t/ha menjadi 7,3 t/ha GKG. Peningkatan ini kecil karena varietas
Yaponica belum dapat beradaptasi dengan tanah Ultisols di Indonesia.
Hartatik et al. (2004)
melaporkan pengaruh pemberian beberapa jenis fosfat alam atau SP-36 pada tanah
gambut yang diberi bahan amelioran tanah mineral terhadap pencucian P dari
kolom tanah menunjukkan bahwa pemberian fosfat alam Maroko, Ciamis, atau SP-36
pada tanah gambut yang diberi bahan amelioran tanah mineral terjadi akumulasi P
pada lapisan atas. Dari hasil analisis kolom tanah setiap kedalaman 10 cm
menunjukkan bahwa bahan amelioran dan fosfat alam Maroko, Ciamis atau SP-36
menyebabkan P lebih banyak terakumulasi pada kedalaman 5 hingga 20 cm. Nisbah
kadar P kolom tanah antara kedalaman 0 hingga 30 cm dengan 30 hingga 60 cm
masing-masing pada takaran 50, 100, dan 200% P yaitu 1,54; 1,90; dan 2,79 untuk
fosfat alam Maroko dan 1,64; 1,76; dan 4,11 untuk fosfat alam Ciamis serta
1,31; 2,05; dan 2,79 untuk SP 36. Pemberian bahan amelioran dan pemupukan
fosfat alam Maroko dan Ciamis meningkatkan P pada lapisan atas, sehingga P yang
tercuci berkurang dibandingkan SP-36.
Sedangkan perlakuan fosfat alam
Christmas, P terakumulasi pada kedalaman 30 hingga 40 cm, dengan nisbah kadar P
kolom tanah antara kedalaman 0 hingga 30 cm dengan 30 hingga 60 cm pada takaran
50, 100, dan 200% P yaitu 1,05; 1,11; dan 1,38. Diduga hal ini berkaitan dengan
rendahnya kelarutan fosfat alam tersebut dalam tanah. Adanya akumulasi P di
lapisan bawah menunjukkan bahwa tidak ada peranan Fe dalam fosfat alam terhadap
pengikatan P. Hal ini disebabkan karena besi terikat kuat dalam mineral apatit yang
sukar larut.
Kolom tanah tanpa perlakuan bahan
amelioran menunjukkan akumulasi P pada kedalaman 30 hingga 60 cm. Pemberian
bahan amelioran mampu meningkatkan ikatan P dalam tanah gambut, sehingga P
tidak mudah hilang tercuci dalam tanah. Diduga pemberian bahan amelioran akan
membentuk tapak-tapak reaktif baru bagi P yang dihasilkan dari interaksi asam
organik-Fe, sehingga terbentuk senyawa kompleks organik-Fe-P. Besi dari bahan
amelioran berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan asam-asam organik
dengan anion fosfat.
Adanya kemampuan pengikatan P ini,
kehilangan P dari dalam tanah dapat dikurangi, sehingga efisiensi pemupukan P
dalam tanah gambut dapat ditingkatkan. Hasil ini sesuai dengan percobaan yang
dilakukan oleh Rachim (1995), Salampak (1999), dan Wild (1990) yang
mengemukakan bahwa kation polivalen dapat menjembatani ikatan antara P dan
asam-asam organik. Diantara sumber P, perlakuan fosfat alam Maroko memberikan
kadar P dalam kolom tanah paling tinggi diikuti berturut-turut SP-36, Ciamis,
dan terendah Christmas.
Hartatik (2003) mempelajari
pengaruh pemberian beberapa jenis fosfat alam atau SP-36 pada tanah gambut yang
diberi bahan amelioran tanah mineral terhadap pertumbuhan dan serapan P tanaman
padi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa fosfat alam Ciamis takaran 50% erapan
maksimum P memberikan bobot kering tanaman setara SP-36. Fosfat alam Ciamis meningkatkan
bobot kering tanaman sebesar 82% dibandingkan kontrol. Fosfat alam Maroko dan
Christmas umumnya memberikan bobot kering tanaman yang rendah yang tidak
berbeda nyata dengan kontrol Lebih besarnya persentase serapan P dari SP-36
sejalan dengan bobot kering tanaman dan serapan P yang lebih tinggi
dibandingkan fosfat alam Maroko, Christmas, dan Ciamis. Diantara beberapa jenis
fosfat alam yang dicoba, fosfat alam Ciamis takaran 50% memberikan persentase
serapan P yang paling tinggi yaitu sebesar 8,55 hampir menyamai SP-36 pada
takaran yang sama. Peningkatan takaran fosfat alam dan SP-36 menurunkan
persentase serapan P.
Rasjid, Sisworo, dan Sisworo (1997)
melaporkan hasil yang sama bahwa peningkatan takaran fosfat alam atau SP-36
menurunkan persentase serapan P untuk tanaman padi-kedelai dan kacang hijau
yang ditanam berurutan. Lahan gambut selain memerlukan ameliorasi juga
memerlukan pemupukan NPK serta hara mikro Cu dan Zn, karena tanah gambut
mempunyai afinitas yang lemah terhadap kation maupun anion, sehingga pemberian
pupuk harus dilakukan secara bertahap sesuai dengan masa pertumbuhan tanaman.
Pemberian 5 kg terusi (CuSO4) nyata
meningkatkan hasil dan mengurangi kehampaan gabah, sedangkan pada gambut dalam
diperlukan 15 kg terusi/ha. Pemberian hara mikro Zn dan Cu dikombinasikan
dengan pemupukan Urea 100 kg/ha, TSP 100 kg/ha, dan KCl 100 kg/ha, nyata
meningkatkan hasil padi sebesar 0,81 t/ha yaitu dari 3,3 t/ha menjadi 4,1 t/ha
pada gambut dalam Indragiri Hilir, Riau (Yusuf et al., 1995).
Penelitian respon tanaman jagung
terhadap pemupukan P telah dilakukan di lahan gambut Sugihan Kiri, Sumatera
Selatan menggunakan beberapa sumber pupuk P yaitu fosfat alam Maroko,
Christmas, dan Christmas dikombinasikan dengan abu batubara, dengan takaran
pupuk P yaitu 0, 25, 50, dan 100 kg P/ha, dan takaran abu batubara 700 kg/ha.
Pupuk dasar yang digunakan Urea 200 kg/ha, KCl 100 kg/ha, dan 2 t/ha kapur.
Hasil percobaan menunjukkan bahwa pemupukan P meningkatkan hasil jagung dan
fosfat alam Maroko nyata lebih baik dibandingkan fosfat alam Christmas,
sedangkan abu batubara tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap hasil
jagung (Sholeh, 1999).
Pemupukan P pada tanah gambut
dengan pupuk P yang mudah larut seringkali tidak memberikan respon yang nyata,
hal ini disebabkan sebagian P yang diberikan akan tercuci, dan tidak terserap
tanaman. Penelitian penggunaan fosfat alam pada gambut Kelampangan, Kalteng
menunjukkan bahwa pemupukan fosfat alam cenderung memberikan hasil yang lebih
baik dari SP-36. Walaupun hasil yang diperoleh belum maksimal, namun terdapat
kecenderungan bahwa fosfat alam Christmas yang mengandung seskuioksida tinggi
memberikan hasil yang lebih baik dari fosfat alam Ciamis dan SP-36. Adanya
seskuioksida (Al2O3 dan Fe2O3) yang
tinggi, akan meningkatkan ketersediaan hara P, sehingga dapat diserap tanaman.
Penelitian pada gambut dalam yang baru dibuka (dengan pH 4,3 dan P-Bray I 10
ppm) di Kelampangan Kalteng, menunjukkan bahwa penambahan KSP, kaptan fosfatan,
dan P-alam Ciamis memberikan hasil yang lebih baik dari SP-36 (Subiksa et al.,
1998).
Pengaruh ameliorasi dan pemupukan P
dan K terhadap kedelai pada lahan gambut Kalimantan Barat dilakukan di Siantan
Hilir menggunakan ameliorasi abu gergaji, dolomit, abu gergaji + terak baja dan
dolomit + terak baja dan kombinasi pemupukan P dan K. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pemberian abu gergaji dan dolomit meningkatkan pH tanah,
kation tukar Ca, Mg, dan K serta P tersedia. Amelioran abu gergaji nyata lebih
baik dari ameliorasi lainnya dengan urutan abu gergaji, abu gergaji + terak
baja > dolomit > dolomit + terak baja. Kombinasi pemupukan 40 kg P dan 50
kg K/ha dengan ameliorasi abu gergaji meningkatkan bobot biji kering kedelai
yaitu sebesar 12,38 ku/ha (Hartatik et al., 1995).
KESIMPULAN
Dalam mengaplikasikan teknologi
pengelolaan lahan gambut harus mempertimbangkan dan memperhatikan
karakteristiknya sebelum lahan gambut dibuka untuk lahan pertanian.
Karakteristik itu adalah di antaranya: ketebalan dan kematangan tanah gambut,
kesuburan tanah gambut, dan lapisan tanah yang berada di bawahnya. Selain itu,
ada beberapa sifat fisik yang perlu diperhatikan, yaitu berat jenis (bulk
density), subsidence (penurunan permukaan lapisan tanah gambut), dan
sifat kering tak balik (irreversible drying). Jika pembukaan lahan gambut
untuk pertanian tidak mengindahkan karakteristiknya maka akan mengalami
kegagalan seperti yang terjadi pada beberapa lokasi pemukiman transmigrasi di
Indonesia, yaitu Sumatera dan Kalimantan.
Selain itu, yang perlu diperhatikan
dan merupakan kunci utama keberhasilan usaha pertanian di lahan gambut adalah
tata air (water management), yaitu bagaimana pengaturan air di
lahan usaha dan saluran air agar tidak terjadi kering berlebihan (over drain).
Tata air ini sangat erat hubungannya dengan penataan dan pemanfaatan lahan,
yaitu antara tipe luapan dan tipologi lahannya. Pola pemanfaatan dan tata air
pada gambut di lahan lebak akan berbeda dengan gambut yang berada di pasang
surut air tawar, atau di payau. Pengaturan tata air sangat penting untuk : 1)
pemanfaatan air pasang untuk pengairan, 2) mencegah akumulasi garam pada daerah
perakaran, 3) mencuci zat zat toksik bagi tanaman, 4) mengatur tinggi genangan
untuk sawah dan tinggi permukaa air, dan 5) mencegah penurunan permukaan tanah
yang terlalu cepat untuk tanah gambut.
DAFTAR PUSTAKA
Alexander, M. 1977. Introduction to Soil
Microbiology. John Wiley and Sons Inc. New York.
Andriesse, J.P. 1974. Tropical Peats in South East
Asia. Dept. of Agric. Res. Of the Royal Trop. Inst. Comm. 63. Amsterdam 63 p.
Anwar, K. dan M. Alwi. 2000. Pengelolaan hara untuk
meningkatkan hasil jagung di lahan gambut dangkal. Prosiding Seminar Nasional
Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Lahan Rawa. Cipayung, 25-27 Juli 2000.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Litbang Pertanian.
Departemen Pertanian.
Driessen, P.M. 1978. Peat soils. pp: 763-779. In:
IRRI. Soil and rice. IRRI. Los Banos. Philippines.
Driessen, P.M. and H. Suhardjo. 1976. On the
defective grain formation of sawah rice on peat. Soil Res. Inst. Bull. 3: 20 –
44. Bogor.
Halim, A. 1987. Pengaruh pencampuran tanah mineral
dan basa dengan tanah gambut pedalaman Kalimantan Tengah dalam budidaya tanaman
kedelai. Disertasi Fakultas Pascasarjana, IPB. Bogor. 322p.
Hartatik, W. dan D.A. Suriadikarta. 2001.
Pengelolaan hara terpadu pada lahan sulfat masam potensial bergambut. Dalam Prosiding
Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Pupuk. Cisarua, 30-31 Oktober
2001. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor.
Hartatik, W., D.A. Suriadikarta, dan I P.G.
Widjaja-Adhi. 1995. Pengaruh ameliorasi dan pemupukan terhadap tanaman kedelai
pada lahan gambut Kalimantan Barat. Risalah Seminar Hasil Penelitian Tanah dan
Agroklimat No. 2. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Litbang
Pertanian. Departemen Pertanian.
Hartatik, W., K. Idris, S. Sabiham, S. Djuniwati,
dan J.S. Adiningsih. 2004. Pengaruh pemberian fosfat alam dan SP-36 pada tanah
gambut yang diberi bahan amelioran tanah mineral terhadap serapan P dan
efisiensi pemupukan P. Prosiding Kongres Nasional VIII HITI. Universitas Andalas.
Padang.
Hartley, R.D. and D C. Whitehead. 1984. Phenolic
acids in soil and their influence of plant growth and soil microbial processes.
In: D. Vaughan and R.E. Malcolm (ed). Soil organic matter and biological
activity. Martinus Nijhoff, DR W. Junk Publisher. Lancaster. pp. 109-149.
Ivanoff, D.B., K.R. Reddy, and S. Robinson. 1998.
Chemical fractionation of organik phosphorus in selected Histosols. J. Soil
Sci. 163(1):36-45.
Kononova. M.M. 1968. Transformation of organic
matter and their relation to soil fertility. Sov. Soil. Sci. 8:1047-1056.
Koswara, O. 1973. Potensi dan pemanfaatan daerah
pasang surut : suatu kasus di Sumatera. Seminar Pembangunan Fakultas Pertanian,
IPB-Badan Pengendali Bimas, Departemen Pertanian. Laporan Kerjasama Lembaga Penelitian
IPB dengan Puslittanak. 2001.
Leiwakabessy, F.M. 1978. Sifat lahan yang tersedia
pada daerah transmigrasi. Seminar pemantapan usaha-usaha pembangunan di daerah
transmigrasi oleh JTKI-PPSM.
Mario, M.D. 2002. Peningkatan produktivitas dan
stabilitas tanah gambut dengan pemberian tanah mineral yang diperkaya oleh
bahan berkadar besi tinggi. Disertasi Program Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor.
Miller, M.H. and R.L. Donahue. 1990. Soils. An
Introduction to Soils and Plant Growth. Prentice Hall Englewood Cliffs. New
Jersey. 768p.
Murnita. 2001. Peranan bahan amelioran besi (Fe3+)
dan zeolit terhadap perilaku kalium dan produksi padi pada tanah gambut pantai
dan peralihan Jambi. Disertasi Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Patrick, Z.A. 1971. Phytotoxic substance associated
with the decomposition in soil of plant residues. Soil Sci. 111: 13-18.
Polak, B. 1949. The Rawa Lakbok ( South Priangan,
Java ). Investigation into the composition of an eutrophic topogenous bog.
Cont. Gen. Agr. Res. Sta. No. 8, Bogor, Indonesia.
Polak, B. 1975. Character and occurrence of peat
deposits in the Malaysian tropics. In: G.J. Barstra, and W.A. Casparie (Eds.).
Modern Quaternary Research in Southeast Asia. Balkema, Rotterdam.
Prasetyo, T.B. 1996. Perilaku asam-asam organik
meracun pada tanah gambut yang diberi garam Na dan beberapa unsur mikro dalam
kaitannya dengan hasil padi. Disertasi. Program Pasca Sarjana, Institut
Pertanian Bogor.
Rachim, A. 1995. Penggunaan kation-kation polivalen
dalam kaitannya dengan ketersediaan fosfat untuk meningkatkan produksi jagung
pada tanah gambut. Disertasi. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Rachim, A., A. Sutandi, S. Anwar, dan B. Nugroho.
1991. Alternatif perbaikan kesuburan tanah gambut tebal. J. Ilmu Pertanian
Indonesia 1:72-78.
Radjagukguk, B. 1997. Peat soil of Indonesia:
Location, classification, and problems for sustainability. In: J.O.
Rieley and S.E. Page (Eds.). pp. 45-54. Biodiversity and sustainability
of tropical peat and peatland. Proceedings of the International Symposium on
Biodiversity, environmental importance and sustainability of tropical peat and
peatlands, Palangka Raya, Central Kalimantan 4-8 September 1999. Samara
Publishing Ltd. Cardigan. UK.
Rasjid, H., E.L. Sisworo, dan W.H. Sisworo 1997.
Keefisienan fospat alam sebagai pupuk p tanaman jagung. Risalah pertemuan
ilmiah. penelitian dan pengembangan Aplikasi isotop dan radiasi, Jakarta 18-19
Februari 1997 Buku 2 P3TIR-BATAN . Hlm 95-98.
Sagiman, S. 2001. Peningkatan produksi kedelai di
tanah gambut melalui inokulasi Bradyrhizobium japonicum asal gambut dan
pemanfaatan bana amelioran (lumpur dan kapur). Disertasi Program Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor.
Salampak, 1999. Peningkatan produktivitas tanah
gambut yang disawahkan dengan pemberian bahan amelioran tanah mineral berkadar
besi tinggi. Disertasi Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Saragih, E.S. 1996. Pengendalian Asam-Asam Organik
Meracun dengan Penambahan Fe (III) pada Tanah Gambut Jambi, Sumatera. Tesis S2.
Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Sholeh. 1999. Pengaruh penggunaan P-alam dan abu
batu bara untuk meningkatkan produktivitas lahan gambut di Sumatera Selatan.
Prosiding Seminar Nasional Sumberdaya Tanah, Iklim, dan Pupuk, Lido-Bogor, 6-8 Desember 1999. Pusat Penelitian
Tanah dan Agroklimat.
Stevenson, F.J. 1994. Humus Chemistry. Genesis,
Composition, and Reactions. John Wiley and Sons. Inc. New York. 443 p.
Suastika, I W. 2004. Efektivitas Amelioran Tanah
Mineral Berpirit yang Telah Diturunkan Kadar Sulfatnya pada Peningkatan
Produktivitas Tanah Gambut. Tesis S2. Program Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor.
Subiksa, I G.M., Sulaeman, dan I P.G. Widjaja-Adhi.
1998. Pembandingan pengaruh bahan amelioran untuk meningkatkan produktivitas
lahan gambut. Dalam Prosiding Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi Hasil Penelitian
Tanah dan Agroklimat. Bogor, 10-12 Februari 1998.
Suhardjo, H. and I P.G. Widjaja-Adhi. 1976. Chemical
characteristics of the upper 30 cms of peat soils from Riau. ATA 106. Bull. 3:
74-92. Soil Res. Inst. Bogor.
Tadano, T., K.B. Ambak, K. Yonebayashi, and W.
Pantanahiran. 1991. Occurrence of phenolic compounds and aluminum toxicity in
tropical peat soils. In: Tropical peat, Proceedings of the International
Symposium on Tropical Peatland. MARDI, Malaysia.
Tadano, T., K.B. Ambak, K. Yonebayashi, T. Hara, P.
Vijarnsorn, C. Nilnond, and S. Kawaguchi. 1990. Nutritional Factors Limiting
Crop Growth in Tropical Peat Soils. In Soil Constraints on Sustainable Plant
Production in the Tropics. Proc. 24th inter. Symp. Tropical Agric. Res.
Kyoto.
Tadano, T., K.Yonebayashi , and N. Saito. 1992
Effect of phenolic acids on the growth and occurrence of sterility in cnop
plants. pp: 358-369. In: K. Kyuma, P. Vijarnsorn, and A. Zakaria (Eds).
Coastal lowland ecosystems in southern Thailand and Malaysia. Showado-printing
Co. Skyoku. Kyoto.
Tan. 1993. Principles of Soil Chemistry. Marcel
Dekker, Inc. New York. 362pp.
Tim Institut Pertanian Bogor, 1974. Laporan survai
produktivitas tanah dan pengembangan pertanian daerah Palangka Raya, Kalimantan
Tengah. Bogor.
Tisdale, S.L., W.L. Nelson, and J.D. Beaton. 1985.
Soil Fertility and Fertilizers. 4 th ed. The Macmillan Publ. Co. New York.
694p.
Tsutsuki, K. 1984. Volatile products and
low-molecular-weight products of the anaerobic decomposition of organik matter.
Inter. Rice Res. inst, Soil Organik Matter. Pp: 329-343
Tsutsuki, K. and F.N. Ponnamperuma. 1987. Behavior
of anaerobic decomposition products in submerged soils. Soil Sci. and Plant
Nutr. 3(1):13-33.
Tsutsuki, K. and R. Kondo. 1995. Lignin-derived
phenolic compounds in different types of peat profiles in Hokkaido. Japan. Soil
Sci. and Plant Nutr. 41(3): 515-527.
Wang, T.S.C., T.T. Yang, and T.T. Chang. 1967. Soil
phenolic acids as plant growth inhibitors. Soil Sci. 103:239 –246. Widjaja-Adhi,
I P.G. 1988. Physical and chemical characteristic of peat soil of Indonesia.
IARD J. 10:59-64.
Wild, A. 1990 . The relation of thosphate by soil :
A review . J. soil sci. 1: 221 – 237.
Yusuf, A., E. Rusdi, N. Hasan, dan A. Taher. 1995.
Kajian tata air, kalium, dan hara mikro terhadap padi di lahan gambut dalam. Dalam
Teknologi Produksi dan Pengembangan Sistem Usahatani di Lahan Rawa.
Kumpulan Hasil Penelitian. Proyek Penelitian Pengembangan Pertanian Rawa Terpadu-ISDP.
Badan Litbang Pertanian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar