HAMA PENGGEREK
BATANG (Chilo
sacchariphagus bojer. )
PADA TANAMAN TEBU ( Saccharum
officinarum L. )
LAPORAN
Oleh :
MUHAMMAD
HABIB SAMPURNO
110301072
AGROEKOTEKNOLOGI
LABORATORIUM DASAR PERLINDUNGAN TANAMAN SUB
HAMA
PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2012
HAMA PENGGEREK
BATANG (Chilo
sacchariphagus bojer. )
PADA TANAMAN TEBU ( Saccharum
officinarum L. )
LAPORAN
Oleh :
MUHAMMAD
HABIB SAMPURNO
110301072
AGROEKOTEKNOLOGI
Laporan ini sebagai
salah satu syarat untuk dapat mengikuti Praktikal
tes
di Laboratorium Dasar Perlindungan Tanaman Sub Hama
Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara
Medan
Ditugaskan oleh :
Dosen penanggung jawab
( Ir. Fatimah Zahara )
NIP : 1959 0710 1989 03 200 1
Diketahui oleh : Diperiksa oleh :
Asisten Koordinator Asisten Korektor
(Ruomenson D.J. Bakara) (Ade
Sartika R)
NIM :
080302037 NIM : 080302004
LABORATORIUM DASAR PERLINDUNGAN TANAMAN SUB
HAMA
PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2012
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................... i
DAFTAR ISI......................................................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR.......................................................................................... iii
PENDAHULUAN
Latar
Belakang............................................................................................... 1
Tujuan
Penulisan............................................................................................ 4
Kegunaan Penulisan....................................................................................... 4
TINJAUAN PUSTAKA
Botani
Tanaman............................................................................................. 5
Syarat
Tumbuh............................................................................................... 7
Iklim...................................................................................................... 7
Tanah..................................................................................................... 8
Biologi
hama.................................................................................................. 9
Gejala
Serangan........................................................................................... 10
Pengendalian................................................................................................ 11
PEMBAHASAN................................................................................................. 12
KESIMPULAN................................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 20
LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tanaman Tebu (Saccharum
officinarum L.) adalah tanaman
penghasil gula. Gula sebagai salah satu bahan makan dan kebutuhan pokok bagi
Bangsa Indonesia yang selalu meningkat dari tahun ketahun karena meningkatnya
jumlah penduduk, bertambahnya pendapatan perkapita, serta terjadinya perubahan
pola konsumsi masyarakat (Aritonang, 2011).
Saat ini pemerintah sedang menggalakkan penanaman tebu untuk
mengatasi rendahnya produksi gula di Indonesia. Usaha pemerintah sangatlah
wajar dan tidak berlebihan mengingat dulu Indonesia pernah mengalami masa
kejayaan sebagai pengekspor gula sebelum perang. Untuk itu PT Natural Nusantara
berusaha ikut serta mengembalikan masa kejayaan melalui peningkatan produksi
tebu baik secara kuantitas, kualitas dan kelestarian (Aspek K-3) (Pulungan, 2012).
Salah
satu penghambat potensi produktivitas tebu adalah adanya serangan hama. Hama
penting tebu di Indonesia adalah penggerek pucuk (Tryporiza nivella) dan
penggerek batang berkilat (Chilo auricilius), penggerek batang bergaris (Chilo
sacchariphagus), penggerek batang raksasa (Phragmatocea castanae), kutu bulu
putih (Ceratovaguna lanigera) dan kutu perisai (Aulacaspis spp.), tikus (Rattus
srgentiventer dan R. exulans), lundi (Lepidiota stigma), rayap (Macrotermes gilvus),
serta belalang (Valanga nigricornis) (Suwita,
2011).
Kerugian
yang disebabkan oleh hama dan penyakit tanaman tebu diperkirakan mencapai 37%
dari total produksi, dan 13% di antaranya karena serangan hama. Di Amerika
Serikat, kerugian akibat serangan hama jika diuangkan mencapai US$7,70 miliar
per tahun atau Rp61,60 triliun per tahun (Aritonang, 2011)
Tujuan Percobaan
Untuk mengetahui
bagaimana pengendalian hama Penggerek Batang
(Chilo sp) pada Tanaman Tebu (Saccharum officinarum L.).
Kegunaan Percobaan
-
Sebagai salah satu syarat untuk dapat mengikuti praktikal tes
dilaboratorium Dasar Perlindungan Tanaman Departemen Hama dan Penyakit
tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.
-
Sebagai bahan informasi bagi
pihak yang membutuhkan informasi.
TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman
Menurut Chairunnisa (2005), adapun klasifikasi dari tanaman tebu
(Saccharum officinarum L.) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Class : Monocotyledonae
Ordo :
Poales
Family : Poaceae
Genus :
Saccharum
Spesies :
S. officinarum L.
Akar tanaman tebu berakar serabut dan menjalar hingga ke permukaan
tanah. Akar tebu dapat memanjang hingga 1,6 m, yang terdiri dari cabang atau
anak akar yang banyak. Batang tebu berbuku-buku, pada setiap buku terdapat
mata tunas. Buku-buku merupakan pangkal dari daun. Batang berserat dan manis yang berasal dari kandungan kimia. Daun tebu memiliki bulu-bulu halus pada permukaannya yang gatal bila disentuh, tipe daun tebu ini tipe lanset dimana
tulang daun sejajar dan bentuk daun memanjang (Mangoendihardjo, 1999).
Penggunaan varietas tebu bersifat sangat dinamis. Setiap periode waktu, varietas yang telah lama digunakan secara terus menerus tidak
selalu menguntungkan,
sebagai akibat akan terjadinya penurunan kualitas genetik,
kepekaan
terhadap
hama dan
penyakit yang
dapat meyebabkan
merosotnya perolehan
hasil
gula. Oleh
karena itu, untuk menghindari
kondisi demikian
diupayakan selalu terjadi regenerasi
varietas di lapangan untuk mempersiapkan
perolehan varietas pengganti.
Varietas tebu sebaiknya tidak ditaman lebih dari 8 tahun (Soedhono, 2009).
Fase pertumbuhan tanaman dalam proses perkecambahan
sangat tergantung kepada ketersedian air dan makanan yang terdapat dalam bibit.
Bibit
dengan kualitas
yang jelek, misalnya diperoleh dari umur bibit yang sudah tua
yang kondisi
distribusi air dan hara
dalam jaringan
lembaga
tunas sudah berkurang akan menyulitkan terjadinya inisiasi tumbuh tunas.
Selain itu misalnya kondisi bibit yang terinfeksi hama penyakit akan menyebabkan hambatan dalam
proses inisiasi pertunasan dan fase pertumbuhan tanaman lainnya. Kemudian
jumlah
bibit yang
ditanam
sangat
mempengaruhi
jumlah
tunas dan
populasi pertumbuhan tanaman. Meskipun pada
awal
perkecambahan, jumlah tunas
berkorelasi dengan jumlah mata yang berinisiasi menjadi tunas, namun sesungguhnya pola pertumbuhan populasi tebu akan mengalami keseimbangan mencapai populasi optimal disebabkan antara masing-masing tunas akan terjadi
persaingan
terhadap faktor lingkungan tumbuh Artinya
pola
pertumbuhan populasi tanaman
pada periode
pertunasan maksimal,
akan diikuti penurunan
populasi
tanaman
sampai mencapai pertumbuhan
populasi batang optimal (Soedhono, 2009).
Kebutuhan
terhadap
bibit tidak
saja hanya
didasarkan jumlah yang memadai
sesuai
kebutuhan luasan tanam tebu
giling, tetapi juga
bibit yang
tersedia harus terjamin kualitasnya. Bibit yang bermutu baik ukurannya adalah bibit yang menghasilkan
perkecambahan mendekati pertumbuhan seluruh mata
tunas dan
tidak terinfeksi
hama penyakit yang dikenal
sebagai
organisme
pengganggu bawaan. Untuk menghindari terikutkannya penyakit pada bibit tebu,
maka sebelum ditanam sering dilakukan perlakuan perawatan air panas
(Hot Water Treatment, HWT). Dengan jumlah populasi mata tunas berkecambah
yang tinggi akan menentukan perolehan tunas yang menghasilkan batang untuk dipanen. Sedangkan tidak terikutkannya organisme pengganggu sudah barang
tentu akan menghasilkan
kondisi tebu tanpa hambatan secara inhern sehingga pertumbuhan tebu berjalan normal (Anonimos, 2008).
Syarat Tumbuh
Iklim
Hujan yang
merata diperlukan
setelah
tanaman
berumur 8 bulan dan
kebutuhan ini
berkurang sampai menjelang panen. Tanaman tumbuh baik pada
daerah beriklim panas dan lembab. Kelembaban yang baik untuk pertumbuhan
tanaman ini > 70%. Suhu udara berkisar antara 28-34 o C (Anonimos, 2007).
Budidaya tebu
harus
mengupayakan kebutuhan
tebu terhadap variable
iklim, khususnya terhadap ketersediaan air, baik dalam mengatur kecukupan air
maupun mengurangi ketersediaannya. Dalam budidaya, singkronisasi kebutuhan
pertumbuhan tebu
dengan kebutuhan SDA iklim, seperti mengatur masa tanam
yang baik untuk mendapatkan kebutuhan air optimal pada fase pertumbuhan awal
dan ditebang
pada periode musim kemarau.
Berdasarkan
kebutuhan air pada
setiap fase pertumbuhannya, curah hujan bulanan ideal untuk
pertanaman tebu
adalah 200 mm / bulan pada 5-6 bulan berturut - turut, 125 mm/bulan
pada 2
bulan transisi dan kurang 75 mm / bulan pada 4 - 5 bulan berturut-turut. Menurut
tipe iklim Oldeman, zona yang terbaik untuk tanaman tebu adalah tipe iklim C2 dan C3. Dalam pengembangannya ke lahan kering selain kedua tipe iklim tersebut
ada
beberapa lahan dengan tipe
iklim yang dapat diusahakan untuk tebu dengan masukan-masukan teknologi adalah B2,
C2, C3,
D2,
E3. Lahan yang
dapat dikembangkan untuk pertumbuhan tebu dengan tanah cukup ringan dan
berdrainase baik B1, C1, D1 dan E1 (Anonimus, 2009).
Tanah
Tanah yang subur dengan kondisi ketersediaan air, oksigen dan makanan
yang memadai, maka tanaman tebu yang tumbuh di atasnya akan menunjukkan penampilan
pertumbuhan dan hasil produksi tebu yang baik. Sebaliknya, pada
kondisi tanah yang kurang subur sebagai akibat terdapatnya faktor pembatas yang dapat disebabkan
oleh keterbatasan sifat fisik dan
atau sifat kimia,
akan
menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat
dan hasil gula yang
diperoleh
tidak akan maksimal.
Pada kondisi kesuburan tanah tidak menguntungkan, maka
untuk memaksimalkan
hasil pertumbuhan tanaman sering dilakukan manipulasi oleh manusia melalui budidaya.
Salah satu upaya yang dilakukan adalah melalui
manipulasi fisik untuk mencapai kondisi status fisik tanah yang menguntungkan bagi pertumbuhan perakaran dan
manipulasi kimia untuk meningkatkan ketersediaan hara yang biasanya dilakukan melalui
penambahan hara dari luar tanah melalui pemupukan (Soedhono, 2009).
Kesuburan tanah
menentukan
keberhasilan
budidaya
tebu, menyangkut
aspek faktor pembatas fisik dan kimia tanah. Sifat fisik tanah yang menonjol adalah drainase /
permeabilitas, tekstur dan ruang pori. Sedangkan sifat kimia
tanah adalah kadar bahan organik, pH, ketersediaan hara esensial dan KTK tanah.. Kemasaman tanah (pH) yang terbaik untuk tanaman tebu adalah pada kisaran 6,0
– 7,0 namun masih dapat tumbuh pada kisaran pH 4,5 - 7,5. Kesuburan tanah (status hara),
berdasarkan hasil penelitian P3GI untuk menentukan kesesuaian
lahan bagi tanaman tebu dengan kriteria N total > 1,5, P2O5 tersedia > 75 ppm, K2O tersedia > 150 ppm dan kejenuhan Al > 4 bulan, masa tanam yang optimal pada akhir musim kemarau sampai awal musim hujan yaitu pertengahan Oktober sampai dengan masa tanam juga dapat pada akhir
musim hujan sampai awal musim kemarau (pola II) dengan kondisi tanah ringan,
ngompol dapat diolah sepanjang musim. Pada daerah basah (bulan kering ≤ 2 bulan) masa tanam tebu terbaik pada awal musim kemarau (Anonimus, 2009).
Biologi Hama
Menurut Nesbitt, dkk (1980), adapun klasifikasi dari penggerek batang
tebu bergaris
(Chilo sacchariphagus
Bojer.) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum :
Arthropoda
Class : Insecta
Ordo :
Lepidoptera
Family : Pyralidae
Genus :
Chilo
Spesies :
C. sacchariphagus
Bojer.
Telur
Bentuk telur oval, datar dan mengkilap. Telur berwarna putih dan akan
berubah menjadi hitam sebelum menetas. Telur memiliki panjang 0,75 - 1,25 mm
dengan rata-rata 0,95 mm. Masa inkubasi berkisar antara 4 - 6 hari dengan rata-
rata sebesar 5,13 ± 0,78. Telur yang baru diletakkan berbaris di atas permukaan daun, (9-12 butir/cm) (David, 1986).
Larva
Larva yang baru menetas panjangnya + 2,5 mm, dan berwarna kelabu.
Semakin
tua umur larva,
warna
badan berubah menjadi
kuning
coklat
dan kemudian kuning putih, disamping itu warna garis-garis hitam membujur pada
permukaan abdomen sebelah atas juga semakin jelas
(Pratama, 2009).
Periode larva berlangsung
selama 35-54
hari. Larva berganti kulit sebanyak 5 kali dan
memiliki
6
instar. Larva berwarna
kekuningan
dengan
bergaris hitam. Panjang
larva
di setiap instar (I sampai VI) kira-kira 7,81, 13,1,18,28, 23,28, 28,29 dan 32,86 (David, 1986).
Pupa
Kepompong penggerek batang agak keras dan berwarna coklat kehitaman. Kepompong betina biasanya mempunyai badan lebih besar daripada yang jantan.
masa pupa berkisar antara 8-10 hari dengan rata-rata 8,28 hari (David, 1986).
Imago
Ngengat bergerak lamban-lamban. Ngengat betina lebih besar daripada ngengat jantan. Imago mempunyai sayap dan dada berwarna kecoklatan.Abdomen
imago betina biasanya
juga lebih besar daripada yang jantan Betina dewasa dan jantan memiliki masa 4 - 9 hari
dengan rata-rata 6,37 dan 7,22 hari. Jumlah maksimum telur yang diletakkan oleh betina adalah 400. Siklus hidup total dari
ngengat sekitar 43-64 hari dengan rata-rata 53,5 hari (David, 1986).
Gejala Serangan
Larva muda
yang baru
menetas
hidup dan
menggerek
jaringan dalam pupus daun yang masih menggulung, sehingga apabila gulungan daun ini nantinya membuka maka akan terlihat luka-luka berupa lobang grekan yang tidak teratur
pada permukaan daun. Setelah beberapa hari hidup dalam pupus daun,
larva
kemudian akan keluar
dan menuju
ke
bawah serta menggerek pelepah
daun
hingga menembus masuk ke dalam ruas batang. Selanjutnya larva hidup dalam ruas-ruas batang tebu. Di sebelah luar ruas-ruas muda yang digerek akan didapati tepung gerek. Daun tanaman yang terserang terdapat bercak-bercak putih bekas
gerekan
yang tidak teratur. Bercak putih ini menembus kulit luar daun. Gejala serangan pada batang tebu ditandai adanya lobang gerek pada permukaan batang.
Apabila ruas-ruas batang tersebut dibelah membujur maka akan terlihat lorong-
lorong gerek yang memanjang. Gerekan ini kadang-kadang menyebabkan titik
tumbuh mati, daun muda layu atau kering. Biasanya dalam satu batang terdapat
lebih dari satu ulat penggerek (Pratama, dkk, 2009).
Pengendalian
Umumnya pengendalian penggerek batang bergaris
(C. sacchariphagus) yang digunakan adalah:
1. Secara kultur
teknis yaitu sanitasi lahan, penanaman dengan
sistem hamparan.
2. Memotong bagian tanaman yang terserang dan membakarnya.
3. Secara mekanis yaitu pengutipan ulat – ulat di lapangan.
4. Secara biologis yaitu dengan memanfaatkan musuh alami berupa
pelepasan parasit telur Trichogramma spp., dan
parasit larva Diatraeophaga striatalis
Tns.
5. Secara kimiawi yaitu dengan pemakaian insektisida yaitu Agrothion 50 EC (3 l/ha), Azodrin 15 WSC ( 5 l/ha) (Pratama, 2009).
PEMBAHASAN
Kerugian
yang disebabkan oleh hama dan penyakit tanaman tebu diperkirakan mencapai 37%
dari total produksi, dan 13% di antaranya karena serangan hama. Hal ini sesuari
dengan Aritonang (2011) yang menyatakan bahwa Kerugian yang disebabkan oleh
hama dan penyakit tanaman tebu diperkirakan mencapai 37% dari total produksi,
dan 13% di antaranya karena serangan hama. Di Amerika Serikat, kerugian akibat
serangan hama jika diuangkan mencapai US$7,70 miliar per tahun atau Rp61,60
triliun per tahun
Fase pertumbuhan tanaman
dalam proses perkecambahan sangat tergantung kepada ketersedian air dan makanan yang terdapat dalam bibit. Bibit dengan kualitas yang jelek. Hal ini sesuai dengan Soedhono (2009)
yang menyatakan bahwa Fase pertumbuhan tanaman
dalam proses perkecambahan sangat tergantung kepada ketersedian air dan makanan yang terdapat dalam bibit. Bibit dengan kualitas yang jelek, misalnya diperoleh dari umur bibit yang sudah tua yang
kondisi distribusi
air dan
hara dalam
jaringan lembaga tunas
sudah
berkurang akan menyulitkan terjadinya inisiasi tumbuh tunas. Selain itu misalnya
kondisi bibit yang terinfeksi hama penyakit akan
menyebabkan hambatan dalam proses inisiasi pertunasan dan fase pertumbuhan tanaman
lainnya.
Kemudian
jumlah
bibit yang
ditanam
sangat
mempengaruhi
jumlah
tunas dan
populasi pertumbuhan tanaman.
Meskipun pada
awal
perkecambahan, jumlah tunas
berkorelasi dengan jumlah mata
yang berinisiasi menjadi tunas, namun
sesungguhnya pola pertumbuhan populasi tebu akan mengalami keseimbangan
mencapai
populasi optimal disebabkan antara masing-masing tunas akan terjadi persaingan terhadap faktor lingkungan
tumbuh
Artinya pola pertumbuhan
populasi tanaman pada
periode pertunasan
maksimal.
Bentuk telur oval, datar dan mengkilap. Telur berwarna putih dan akan
berubah menjadi hitam sebelum menetas. Hal ini sesuai dengan David (1986) yang menyatakan
bahwa Bentuk telur oval, datar dan mengkilap. Telur berwarna putih dan akan berubah menjadi hitam sebelum menetas. Telur memiliki panjang 0,75 - 1,25 mm dengan rata-rata 0,95 mm. Masa inkubasi berkisar antara 4 - 6 hari dengan rata- rata sebesar 5,13 ± 0,78.
Larva yang baru menetas panjangnya + 2,5 mm, dan berwarna kelabu.
Semakin
tua umur larva.
Hal ini sesuai dengan Pratama (2009) yang menyatakan bahwa Larva yang baru menetas panjangnya + 2,5 mm, dan berwarna kelabu.
Semakin
tua umur larva,
warna
badan berubah menjadi
kuning
coklat
dan kemudian kuning putih, disamping itu warna garis-garis hitam membujur pada
permukaan abdomen sebelah atas juga semakin jelas.
Ngengat bergerak lamban-lamban. Ngengat betina lebih besar daripada ngengat jantan. Imago mempunyai sayap dan dada berwarna kecoklatan. Hal
ini sesuai dengan David (1986) yang menyatakan bahwa Ngengat bergerak lamban-lamban. Ngengat betina lebih besar daripada ngengat jantan. Imago mempunyai sayap dan dada berwarna kecoklatan.Abdomen
imago betina biasanya
juga lebih besar daripada yang jantan Betina dewasa dan jantan memiliki masa 4 - 9 hari
dengan rata-rata 6,37 dan 7,22 hari. Jumlah maksimum telur yang diletakkan oleh betina adalah 400.
Larva muda
yang baru
menetas
hidup dan
menggerek
jaringan dalam pupus daun yang masih menggulung, sehingga apabila gulungan daun ini nantinya membuka maka akan terlihat luka-luka berupa lobang grekan yang tidak teratur
pada permukaan daun. Setelah beberapa hari hidup dalam pupus daun,
larva
kemudian akan keluar
dan menuju
ke
bawah serta menggerek pelepah
daun
hingga menembus masuk ke dalam ruas batang. Selanjutnya larva hidup dalam ruas-ruas batang tebu. Hal ini sesuai dengan Pratama, Dkk. Yang
menyatakan bahwa Larva
muda yang
baru menetas hidup
dan menggerek jaringan dalam
pupus daun yang masih menggulung, sehingga apabila gulungan daun ini nantinya membuka maka akan terlihat luka-luka berupa lobang grekan yang tidak teratur
pada permukaan daun. Setelah beberapa hari hidup dalam pupus daun,
larva
kemudian akan keluar
dan menuju
ke
bawah serta menggerek pelepah
daun
hingga menembus masuk ke dalam ruas batang. Selanjutnya larva hidup dalam ruas-ruas batang tebu. Di sebelah luar ruas-ruas muda yang digerek akan didapati tepung gerek. Daun tanaman yang terserang terdapat bercak-bercak putih bekas
gerekan
yang tidak teratur. Bercak putih ini menembus kulit luar daun. Gejala serangan pada batang tebu ditandai adanya lobang gerek pada permukaan batang.
Apabila ruas-ruas batang tersebut dibelah membujur maka akan terlihat lorong-
lorong gerek yang memanjang. Gerekan ini kadang-kadang menyebabkan titik
tumbuh mati, daun muda layu atau kering. Biasanya dalam satu batang terdapat
lebih dari satu ulat penggerek.
Umumnya
pengendalian
penggerek batang
bergaris
(C. sacchariphagus) yang digunakan adalah: Secara
kultur teknis
yaitu
sanitasi
lahan,
penanaman
dengan sistem
hamparan. Memotong bagian tanaman yang terserang dan membakarnya.
Secara mekanis yaitu pengutipan ulat – ulat di lapangan. Secara
biologis yaitu dengan memanfaatkan musuh alami
berupa pelepasan parasit
telur Trichogramma spp.,
dan
parasit larva
Diatraeophaga striatalis
Tns.Secara kimiawi yaitu dengan pemakaian insektisida yaitu Agrothion 50 EC
(3 l/ha), Azodrin 15 WSC ( 5 l/ha) hal ini
sesuai dengan Pratama (2009) yang menyatakan bahwa Umumnya
pengendalian
penggerek batang
bergaris
(C. sacchariphagus) yang digunakan adalah: Secara
kultur teknis
yaitu
sanitasi
lahan,
penanaman
dengan sistem
hamparan. Memotong bagian tanaman yang terserang dan membakarnya.
Secara mekanis yaitu pengutipan ulat – ulat di lapangan. Secara
biologis yaitu dengan
memanfaatkan
musuh
alami
berupa pelepasan parasit
telur Trichogramma spp., dan
parasit larva
Diatraeophaga striatalis
Tns. Secara kimiawi yaitu dengan pemakaian insektisida yaitu Agrothion 50 EC
(3 l/ha), Azodrin 15 WSC ( 5 l/ha).
KESIMPULAN
1.
Kerugian yang disebabkan oleh hama dan
penyakit tanaman tebu diperkirakan mencapai 37% dari total produksi, dan 13% di
antaranya karena serangan hama.
2.
Fase
pertumbuhan
tanaman dalam
proses
perkecambahan
sangat tergantung kepada ketersedian air dan makanan yang terdapat dalam bibit.
3.
Gejala
serangan pada batang tebu ditandai adanya lobang gerek pada permukaan batang.
4.
Umumnya pengendalian penggerek
batang bergaris (C. sacchariphagus) yang digunakan adalah: Secara kultur
teknis yaitu sanitasi lahan, penanaman dengan
sistem hamparan.
Memotong bagian tanaman yang terserang dan membakarnya. Secara mekanis yaitu pengutipan ulat – ulat di lapangan.
Secara biologis
yaitu
dengan memanfaatkan musuh alami berupa
pelepasan
parasit telur
Trichogramma
spp.,
dan parasit larva
Diatraeophaga striatalis
Tns.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar