HAMA PENGGEREK
BATANG TEBU RAKSASA
(Phracmatoecia castaneae Hubner)
PADA TEBU (Saccharum officinarum L.)
LAPORAN
Oleh :
Revina
Syah Dewi Pratiwi
110301194
AGROEKOTEKNOLOGI
LABORATORIUM DASAR PERLINDUNGAN TANAMAN SUB
HAMA
PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2012
HAMA PENGGEREK
BATANG TEBU RAKSASA
(Phracmatoecia castaneae Hubner)
PADA TEBU (Saccharum officinarum L.)
LAPORAN
Oleh :
Revina
Syah Dewi Pratiwi
110301194
AGROEKOTEKNOLOGI
Laporan ini
sebagai salah satu syarat untuk dapat mengikuti Praktikal tes
di Laboratorium Dasar Perlindungan Tanaman Sub Hama
Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara
Medan
Ditugaskan oleh :
Dosen penanggung jawab
( Ir. Fatimah Zahara )
NIP : 1959 0710 1989 03 200 1
Diketahui oleh : Diperiksa oleh :
Asisten Koordinator Asisten Korektor
(Ruomenson D.J. Bakara) (Ade
Sartika R)
NIM :
080302037 NIM : 080302004
LABORATORIUM DASAR PERLINDUNGAN TANAMAN SUB
HAMA
PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2012
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur
penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan lindungan-Nya maka penulis
dapat menyelesaikan laporan ini tepat pada waktunya.
Adapun
judul dari
laporan ini adalah “Hama
Penggerek Batang Tebu Raksasa (Phracmatoecia castaneae Hubner)
pada Tebu (Saccharum officinarum L.)” yang
merupakan salah satu
syarat untuk dapat mengikuti Pratikal Tes di
Laboratorium Dasar
Perlindungan Tumbuhan Sub Hama Program Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.
Pada
kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih
kepada Prof.
Dr. Dra. M. Cyccu Tobing, MS, Ir. Fatimah Zahara, Ir. Muhktar Iskandar Pinem,
M.Agr., Ir. Lahmuddin Lubis, MP, dan Ir.Mena Uly Tarigan MS, serta Abang dan Kakak Asisten Laboratorium Dasar Perlindungan Tanaman yang telah membantu penulis sehingga laporan ini
dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Penulis menyadari
bahwa laporan ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan
kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan laporan ini. Akhir
kata, penulis mengucapkan terima kasih.
Medan, Mei 2012
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................... i
DAFTAR ISI......................................................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR.......................................................................................... iii
PENDAHULUAN
Latar
Belakang............................................................................................... 1
Tujuan
Penulisan............................................................................................ 2
Kegunaan Penulisan....................................................................................... 2
TINJAUAN PUSTAKA
Botani
Tanaman............................................................................................. 3
Syarat
Tumbuh............................................................................................... 5
Iklim...................................................................................................... 5
Tanah..................................................................................................... 6
Biologi
hama.................................................................................................. 7
Gejala
Serangan........................................................................................... 10
Pengendalian................................................................................................ 11
PERMASALAHAN........................................................................................... 13
PEMBAHASAN................................................................................................. 14
KESIMPULAN................................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 18
LAMPIRANPENDAHULUAN
Latar Belakang
Tebu merupakan bahan baku
gula yang mengandung 20% cairan gula. Olahan tebu akan menghasilkan gula 5%,
ampas tebu 90% dan sisanya berupa tetes (molasse) dan air. Beberapa tahun
terakhir industri gula mengalami penurunan produksi hingga mencapai 1,48 juta
ton pada tahun 1999. Sementara itu pada tahun 2002 produksi gula mencapai 1,76
juta ton, sedangkan konsumsi gula nasional mencapai 3,3 juta ton, sehingga
mencapai defisit sebesar 1,54 juta ton (P3GI, 2008).
Kebutuhan gula di Indonesia selalu meningkat dari tahun ke tahun
dan belum mampu dipenuhi hingga saat ini, salah satu kendala dalam budidaya
tebu adalah adanya serangan berbagai jenis hama disepanjang pertumbuhan
tanaman. Kerugian gula yang disebabkan oleh hama tebu di Indonesia ditaksir
dapat mencapai 75%. Lebih dari 100 jenis binatang dapat mengganggu dan merusak
tanaman tebu di lapangan. Namun hanya beberapa diantaranya yang sering merusak
dan menimbulkan kerugian yang cukup besar seperti serangga hama Penggerek
Batang Tebu Bergaris (Chilo sacchariphagus), Penggerek Batang Tebu
Berkilat (Chilo auricilius), Penggerek Batang Jambon (Sesamia
inferens) dan oleh serangan Penggerek Batang Tebu Raksasa (Phragmatoecia
castaneae) (Nugroho, 2009).
Phragmatoecia castaneae Hubner (Penggerek Batang Raksasa)
(Lepidoptera; Cossidae) merupakan salah satu kendala produksi terhadap
perindustrian gula di Sumatera Utara. Serangan hama ini menjadi kendala dalam peningkatan
produktivitas tebu, karena menyebabkan kerugian dan kehilangan hasil gula yang
cukup tinggi yaitu sekitar 15%. Tingginya intensitas serangan hama ini pula
yang menjadi salah satu faktor penyebab turunnya produktivitas rata-rata tebu
giling PTPN II dari 70 ton/ha menjadi hanya 40 ton/hektar. Kerugian gula akibat
serangan hama ini ditentukan oleh jarak waktu antara saat penyerangan dan saat
tebang. Kehilangan rendemen dapat mencapai 50 % jika menyerang tanaman tebu
umur 4-5 bulan dan 4-15 % pada tebu yang berumur 10 bulan (Diyasti, 2000).
Ph.
castaneae Hubner
(Penggerek
Batang Raksasa) termasuk dalam Ordo: Lepidoptera, Family: Cossidae. Ph.
castaneae masuk kedalam batang dengan membuat lorong gerekan pada pelepah
daun. Pada serangan berat, bagian dalam batang akan hancur. Hama ini juga dapat
merusak tebu-tebu liar (Saefudin, 2009). Pada serangan awal akan tampak adanya
titik putih dibawah pelepah daun ke 3 atau 4 disertai dengan adanya gerekan
larva yang baru menetas, selanjutnya terdapat lorong gerekan pada ruas muda
maupun tua. Pada serangan berat tanaman tebu akan mati pucuk (PTPN II, 2001).
Kalshoven (1981) mencatat hama ini telah ada di Sumatera Utara sejak tahun
1977. Sampai saat ini penggerek batang tebu raksasa hanya ditemukan di
Perkebunan Tebu Sumatera Utara.
Kerugian
yang disebabkan oleh hama dan penyakit tanaman tebu diperkirakan mencapai 37%
dari total produksi, dan 13% di antaranya karena serangan hama. Di Amerika
Serikat, kerugian akibat serangan hama jika diuangkan mencapai US$7,70 miliar
per tahun atau Rp61,60 triliun per tahun (Aritonang, 2011)
Ada banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan populasi hama
dilapangan, diantaranya adalah faktor cara pengelolaan hama itu sendiri oleh
manusia. Cara pengelolaan hama yang tidak tepat menyebabkan masalah hama tidak
pernah selesai. Oleh karena itu sering terjadi tindakan pengendalian yang tidak
efektif, sebaliknya pengelolaan hama yang bijaksana dapat memberikan kontribusi
yang besar dalam menekan populasi hama hingga dibawah ambang ekonomi (Pramono,
2007).
Berbagai
upaya pengendalian telah dilakukan, dengan penggunaan varietas tahan, teknik
bercocok tanam dan penggunaan insektisida dengan alasan bahwa insektisida dapat
secepatnya menurunkan populasi hama. Penggunaan pestisida secara terus-menerus
justru mengkibatkan hama menjadi resisten, resugensi hama sasaran, terbunuhnya
musuh alami bahkan residu pada tanaman, tanah bahkan pencemaran air tanah
(Isbagio, 1998). Pemakaian pestisida dalam pengendalian Ph. castaneae (Penggerek
Batang Raksasa) cukup sulit dilaksanakan, karena kebiasaan larva yang menggerek
kedalam batang sehingga sulit dicapai pestisida (Purnama, 2007).
Pengendalian
biologi merupakan pengendalian dengan memanfaatkan musuh alami, sehingga
menghasilkan suatu keseimbangan umum. Pengendalian biologi merupakan salah satu
pengendalian yang dinilai cukup aman karena mempunyai beberapa keuntungan,
yaitu: selektifitas tinggi dan tidak menimbulkan hama baru, organisme yang
digunakan sudah ada dialam, organisme yang digunakan dapat mencari dan
menemukan inangnya, dapat berkembang biak dan menyebar, hama tidak menjadi resisten
dan pengendalian akan berjalan dengan sendirinya (Isbagio, 1998).
Tujuan Percobaan
Untuk mengetahui
bagaimana pengendalian hama Penggerek Batang
(Chilo sp) pada Tanaman Tebu (Saccharum officinarum L.).
Kegunaan Percobaan
-
Sebagai salah satu syarat untuk dapat mengikuti praktikal tes
dilaboratorium Dasar Perlindungan Tanaman Departemen Hama dan Penyakit
tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.
-
Sebagai bahan informasi bagi
pihak yang membutuhkan informasi.
TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman
Menurut Chairunnisa (2005), adapun klasifikasi dari tanaman tebu
(Saccharum officinarum L.) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Class : Monocotyledonae
Ordo :
Poales
Family : Poaceae
Genus :
Saccharum
Spesies :
S. officinarum L.
Akar tanaman tebu berakar serabut dan menjalar hingga ke permukaan
tanah. Akar tebu dapat memanjang hingga 1,6 m, yang terdiri dari cabang atau
anak akar yang banyak. Batang tebu berbuku-buku, pada setiap buku terdapat
mata tunas. Buku-buku merupakan pangkal dari daun. Batang berserat dan manis yang berasal dari kandungan kimia. Daun tebu memiliki bulu-bulu halus pada permukaannya yang gatal bila disentuh, tipe daun tebu ini tipe lanset dimana
tulang daun sejajar dan bentuk daun memanjang (Mangoendihardjo, 1999).
Penggunaan varietas tebu bersifat sangat dinamis. Setiap periode waktu, varietas yang telah lama digunakan secara terus menerus tidak
selalu menguntungkan,
sebagai akibat akan terjadinya penurunan kualitas genetik,
kepekaan
terhadap
hama dan
penyakit yang
dapat meyebabkan
merosotnya perolehan
hasil
gula. Oleh
karena itu, untuk menghindari
kondisi demikian
diupayakan selalu terjadi regenerasi
varietas di lapangan untuk mempersiapkan
perolehan varietas pengganti.
Varietas tebu sebaiknya tidak ditaman lebih dari 8 tahun (Soedhono, 2009).
Fase pertumbuhan tanaman dalam proses perkecambahan
sangat tergantung kepada ketersedian air dan makanan yang terdapat dalam bibit.
Bibit
dengan kualitas
yang jelek, misalnya diperoleh dari umur bibit yang sudah tua
yang kondisi
distribusi air dan hara
dalam jaringan
lembaga
tunas sudah berkurang akan menyulitkan terjadinya inisiasi tumbuh tunas.
Selain itu misalnya kondisi bibit yang terinfeksi hama penyakit akan menyebabkan hambatan dalam
proses inisiasi pertunasan dan fase pertumbuhan tanaman lainnya. Kemudian
jumlah
bibit yang
ditanam
sangat
mempengaruhi
jumlah
tunas dan
populasi pertumbuhan tanaman. Meskipun pada
awal
perkecambahan, jumlah tunas
berkorelasi dengan jumlah mata yang berinisiasi menjadi tunas, namun sesungguhnya pola pertumbuhan populasi tebu akan mengalami keseimbangan mencapai populasi optimal disebabkan antara masing-masing tunas akan terjadi
persaingan
terhadap faktor lingkungan tumbuh Artinya
pola
pertumbuhan populasi tanaman
pada periode
pertunasan maksimal,
akan diikuti penurunan
populasi
tanaman
sampai mencapai pertumbuhan
populasi batang optimal (Soedhono, 2009).
Kebutuhan
terhadap
bibit tidak
saja hanya
didasarkan jumlah yang memadai
sesuai
kebutuhan luasan tanam tebu
giling, tetapi juga
bibit yang
tersedia harus terjamin kualitasnya. Bibit yang bermutu baik ukurannya adalah bibit yang menghasilkan
perkecambahan mendekati pertumbuhan seluruh mata
tunas dan
tidak terinfeksi
hama penyakit yang dikenal
sebagai
organisme
pengganggu bawaan. Untuk menghindari terikutkannya penyakit pada bibit tebu,
maka sebelum ditanam sering dilakukan perlakuan perawatan air panas
(Hot Water Treatment, HWT). Dengan jumlah populasi mata tunas berkecambah
yang tinggi akan menentukan perolehan tunas yang menghasilkan batang untuk dipanen. Sedangkan tidak terikutkannya organisme pengganggu sudah barang
tentu akan menghasilkan
kondisi tebu tanpa hambatan secara inhern sehingga pertumbuhan tebu berjalan normal (Anonimos, 2008).
Syarat Tumbuh
Iklim
Hujan yang
merata diperlukan
setelah
tanaman
berumur 8 bulan dan
kebutuhan ini
berkurang sampai menjelang panen. Tanaman tumbuh baik pada
daerah beriklim panas dan lembab. Kelembaban yang baik untuk pertumbuhan
tanaman ini > 70%. Suhu udara berkisar antara 28-34 o C (Anonimos, 2007).
Budidaya tebu
harus
mengupayakan kebutuhan
tebu terhadap variable
iklim, khususnya terhadap ketersediaan air, baik dalam mengatur kecukupan air
maupun mengurangi ketersediaannya. Dalam budidaya, singkronisasi kebutuhan
pertumbuhan tebu
dengan kebutuhan SDA iklim, seperti mengatur masa tanam
yang baik untuk mendapatkan kebutuhan air optimal pada fase pertumbuhan awal
dan ditebang
pada periode musim kemarau.
Berdasarkan
kebutuhan air pada
setiap fase pertumbuhannya, curah hujan bulanan ideal untuk
pertanaman tebu
adalah 200 mm / bulan pada 5-6 bulan berturut - turut, 125 mm/bulan
pada 2
bulan transisi dan kurang 75 mm / bulan pada 4 - 5 bulan berturut-turut. Menurut
tipe iklim Oldeman, zona yang terbaik untuk tanaman tebu adalah tipe iklim C2 dan C3. Dalam pengembangannya ke lahan kering selain kedua tipe iklim tersebut
ada
beberapa lahan dengan tipe
iklim yang dapat diusahakan untuk tebu dengan masukan-masukan teknologi adalah B2,
C2, C3,
D2,
E3. Lahan yang
dapat dikembangkan untuk pertumbuhan tebu dengan tanah cukup ringan dan
berdrainase baik B1, C1, D1 dan E1 (Anonimus, 2009).
Tanah
Tanah yang subur dengan kondisi ketersediaan air, oksigen dan makanan
yang memadai, maka tanaman tebu yang tumbuh di atasnya akan menunjukkan penampilan
pertumbuhan dan hasil produksi tebu yang baik. Sebaliknya, pada
kondisi tanah yang kurang subur sebagai akibat terdapatnya faktor pembatas yang dapat disebabkan
oleh keterbatasan sifat fisik dan
atau sifat kimia,
akan
menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat
dan hasil gula yang
diperoleh
tidak akan maksimal.
Pada kondisi kesuburan tanah tidak menguntungkan, maka
untuk memaksimalkan
hasil pertumbuhan tanaman sering dilakukan manipulasi oleh manusia melalui budidaya.
Salah satu upaya yang dilakukan adalah melalui
manipulasi fisik untuk mencapai kondisi status fisik tanah yang menguntungkan bagi pertumbuhan perakaran dan
manipulasi kimia untuk meningkatkan ketersediaan hara yang biasanya dilakukan melalui
penambahan hara dari luar tanah melalui pemupukan (Soedhono, 2009).
Kesuburan tanah
menentukan
keberhasilan
budidaya
tebu, menyangkut
aspek faktor pembatas fisik dan kimia tanah. Sifat fisik tanah yang menonjol adalah drainase /
permeabilitas, tekstur dan ruang pori. Sedangkan sifat kimia
tanah adalah kadar bahan organik, pH, ketersediaan hara esensial dan KTK tanah.. Kemasaman tanah (pH) yang terbaik untuk tanaman tebu adalah pada kisaran 6,0
– 7,0 namun masih dapat tumbuh pada kisaran pH 4,5 - 7,5. Kesuburan tanah (status hara),
berdasarkan hasil penelitian P3GI untuk menentukan kesesuaian
lahan bagi tanaman tebu dengan kriteria N total > 1,5, P2O5 tersedia > 75 ppm, K2O tersedia > 150 ppm dan kejenuhan Al > 4 bulan, masa tanam yang optimal pada akhir musim kemarau sampai awal musim hujan yaitu pertengahan Oktober sampai dengan masa tanam juga dapat pada akhir
musim hujan sampai awal musim kemarau (pola II) dengan kondisi tanah ringan,
ngompol dapat diolah sepanjang musim. Pada daerah basah (bulan kering ≤ 2 bulan) masa tanam tebu terbaik pada awal musim kemarau (Anonimus, 2009).
Biologi Hama
Menurut Kalshoven (1981), klasifikasi penggerek batang tebu
raksasa adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum :
Arthropoda
Class :
Insecta
Ordo :
Lepidoptera
Famili :
Cossidae
Genus :
Phragmatoecia
Spesies : P.
castanae Hubner.
Telur
Bentuk telur oval dan dapat menghasilkan telur sebanyak 282-376
butir perbetina. Peletakan telur dalam gulungan daun kering, terutama pada
pucuk tanaman yang mati puser. Masa hidup stadia telur antara 9-10 hari (Pramono, 2007).
Larva
Larva yang baru menetas panjangnya + 2,5 mm, dan berwarna kelabu.
Semakin
tua umur larva,
warna
badan berubah menjadi
kuning
coklat
dan kemudian kuning putih, disamping itu warna garis-garis hitam membujur pada
permukaan abdomen sebelah atas juga semakin jelas
(Pratama, 2009).
Selanjutnya
larva menggerek dan masuk ke dalam ruas tebu. Stadia larva terdiri dari 10
instar. Lama stadia larva sekitar 78-82 hari (Pramono, 2007).
Pupa
Stadia
pupa berlangsung selama 14-19 hari di dalam ruas batang tebu. Pada awalnya pupa
berwarna kuning muda kemudian menjadi coklat tua dengan panjang 2,5-3 cm
(jantan) dan 3,5-4 cm (betina) (Gambar 3). Gambar 3. Pupa P. Castanae
Hubner. Apabila pupa ini menetas menjadi imago, maka kulit pupa tertinggal
dan menonjol ke luar dari lubang gerekan (Pramono, 2007).
Imago
Stadia
imago ditandai dengan warna sayap depan coklat kelabu dan ujung sayap terdapat
noktah berwarna ungu kehitaman. Bagian atas kepala terdapat rambut-rambut
semacam jambul yang berwarna putih kuning (Gambar 4).
Gejala Serangan
Hama
penggerek batang raksasa menyerang tanaman tua maupun muda. Serangan pada tanaman
muda menyebabkan tanaman mati pucuk. Pada serangan berat, bagian dalam batang
tebu hancur dimakan oleh larva PBR
Larva
masuk ke dalam batang dengan membuat lorong gerekan dari pelepah daun. Bila
populasi hama tinggi, juga dapat menyebabkan kematian pada tanaman tua.
Kerugian yang ditimbulkan mengakibatkan penurunan bobot batang, serta penurunan
kualitas dan kuantitas nira (Diyasti, 2010).
Pengendalian
Secara
umum pengendalian hama penggerek batang tebu raksasa (P. castanae Hubner.)
yaitu: 1. Sanitasi Kebun dengan memusnahkan sumber inokulum berupa serasah daun
kering, sisa batang dan pucuk tebu pasca tebangan, serta memusnahkan gelagah
yang merupakan inang hama PBR. 2. Eradikasi tanaman dengan memanen tebu lebih
awal yaitu sekitar umur 7-8 bulan. 3. Secara hayati dengan melepas musuh alami
yaitu Tumidiclava sp. dan S. inferens serta penggunaan cendawan
entomopatogen Beauveria bassiana dan Metarhizium anisopliae (Diyasti,
2010).
PERMASALAHAN
Kerugian
yang disebabkan oleh hama dan penyakit tanaman tebu diperkirakan mencapai 37%
dari total produksi, dan 13% di antaranya karena serangan hama. Di Amerika
Serikat, kerugian akibat serangan hama jika diuangkan mencapai US$7,70 miliar
per tahun atau Rp61,60 triliun per tahun. Fase
pertumbuhan
tanaman dalam
proses
perkecambahan
sangat tergantung kepada ketersedian air dan makanan yang terdapat dalam bibit.
Bibit
dengan kualitas
yang jelek, misalnya diperoleh dari umur bibit yang sudah tua
yang kondisi
distribusi air dan hara
dalam jaringan
lembaga
tunas sudah berkurang akan menyulitkan terjadinya inisiasi tumbuh tunas.
Selain itu misalnya kondisi bibit yang terinfeksi hama penyakit akan menyebabkan hambatan dalam
proses inisiasi pertunasan dan fase pertumbuhan tanaman lainnya. Kemudian
jumlah
bibit yang
ditanam
sangat
mempengaruhi
jumlah
tunas dan
populasi pertumbuhan tanaman.
Meskipun pada
awal
perkecambahan, jumlah tunas
berkorelasi dengan jumlah mata
yang berinisiasi menjadi tunas, namun
sesungguhnya pola pertumbuhan populasi tebu akan mengalami keseimbangan
mencapai
populasi optimal disebabkan antara masing-masing tunas akan terjadi persaingan terhadap faktor lingkungan
tumbuh
Artinya pola pertumbuhan
populasi tanaman pada
periode pertunasan
maksimal.
PEMBAHASAN
Kerugian
yang disebabkan oleh hama dan penyakit tanaman tebu diperkirakan mencapai 37%
dari total produksi, dan 13% di antaranya karena serangan hama. Hal ini sesuari
dengan Aritonang (2011) yang menyatakan bahwa Kerugian yang disebabkan oleh
hama dan penyakit tanaman tebu diperkirakan mencapai 37% dari total produksi,
dan 13% di antaranya karena serangan hama. Di Amerika Serikat, kerugian akibat
serangan hama jika diuangkan mencapai US$7,70 miliar per tahun atau Rp61,60
triliun per tahun
Fase pertumbuhan tanaman
dalam proses perkecambahan sangat tergantung kepada ketersedian air dan makanan yang terdapat dalam bibit. Bibit dengan kualitas yang jelek. Hal ini sesuai dengan Soedhono (2009)
yang menyatakan bahwa Fase pertumbuhan tanaman
dalam proses perkecambahan sangat tergantung kepada ketersedian air dan makanan yang terdapat dalam bibit. Bibit dengan kualitas yang jelek, misalnya diperoleh dari umur bibit yang sudah tua yang
kondisi distribusi
air dan
hara dalam
jaringan lembaga tunas
sudah
berkurang akan menyulitkan terjadinya inisiasi tumbuh tunas. Selain itu misalnya
kondisi bibit yang terinfeksi hama penyakit akan
menyebabkan hambatan dalam proses inisiasi pertunasan dan fase pertumbuhan tanaman
lainnya.
Kemudian
jumlah
bibit yang
ditanam
sangat
mempengaruhi
jumlah
tunas dan
populasi pertumbuhan tanaman.
Meskipun pada
awal
perkecambahan, jumlah tunas
berkorelasi dengan jumlah mata
yang berinisiasi menjadi tunas, namun
sesungguhnya pola pertumbuhan populasi tebu akan mengalami keseimbangan
mencapai
populasi optimal disebabkan antara masing-masing tunas akan terjadi persaingan terhadap faktor lingkungan
tumbuh
Artinya pola pertumbuhan
populasi tanaman pada
periode pertunasan
maksimal.
Bentuk telur oval, datar dan mengkilap. Telur berwarna putih dan akan
berubah menjadi hitam sebelum menetas. Hal ini sesuai dengan David (1986) yang menyatakan
bahwa Bentuk telur oval, datar dan mengkilap. Telur berwarna putih dan akan berubah menjadi hitam sebelum menetas. Telur memiliki panjang 0,75 - 1,25 mm dengan rata-rata 0,95 mm. Masa inkubasi berkisar antara 4 - 6 hari dengan rata- rata sebesar 5,13 ± 0,78.
Larva yang baru menetas panjangnya + 2,5 mm, dan berwarna kelabu.
Semakin
tua umur larva.
Hal ini sesuai dengan Pratama (2009) yang menyatakan bahwa Larva yang baru menetas panjangnya + 2,5 mm, dan berwarna kelabu.
Semakin
tua umur larva,
warna
badan berubah menjadi
kuning
coklat
dan kemudian kuning putih, disamping itu warna garis-garis hitam membujur pada
permukaan abdomen sebelah atas juga semakin jelas.
Ngengat bergerak lamban-lamban. Ngengat betina lebih besar daripada ngengat jantan. Imago mempunyai sayap dan dada berwarna kecoklatan. Hal
ini sesuai dengan David (1986) yang menyatakan bahwa Ngengat bergerak lamban-lamban. Ngengat betina lebih besar daripada ngengat jantan. Imago mempunyai sayap dan dada berwarna kecoklatan.Abdomen
imago betina biasanya
juga lebih besar daripada yang jantan Betina dewasa dan jantan memiliki masa 4 - 9 hari
dengan rata-rata 6,37 dan 7,22 hari. Jumlah maksimum telur yang diletakkan oleh betina adalah 400.
Larva muda
yang baru
menetas
hidup dan
menggerek
jaringan dalam pupus daun yang masih menggulung, sehingga apabila gulungan daun ini nantinya membuka maka akan terlihat luka-luka berupa lobang grekan yang tidak teratur
pada permukaan daun. Setelah beberapa hari hidup dalam pupus daun,
larva
kemudian akan keluar
dan menuju
ke
bawah serta menggerek pelepah
daun
hingga menembus masuk ke dalam ruas batang. Selanjutnya larva hidup dalam ruas-ruas batang tebu. Hal ini sesuai dengan Pratama, Dkk. Yang
menyatakan bahwa Larva
muda yang
baru menetas hidup
dan menggerek jaringan dalam
pupus daun yang masih menggulung, sehingga apabila gulungan daun ini nantinya membuka maka akan terlihat luka-luka berupa lobang grekan yang tidak teratur
pada permukaan daun. Setelah beberapa hari hidup dalam pupus daun,
larva
kemudian akan keluar
dan menuju
ke
bawah serta menggerek pelepah
daun
hingga menembus masuk ke dalam ruas batang. Selanjutnya larva hidup dalam ruas-ruas batang tebu. Di sebelah luar ruas-ruas muda yang digerek akan didapati tepung gerek. Daun tanaman yang terserang terdapat bercak-bercak putih bekas
gerekan
yang tidak teratur. Bercak putih ini menembus kulit luar daun. Gejala serangan pada batang tebu ditandai adanya lobang gerek pada permukaan batang.
Apabila ruas-ruas batang tersebut dibelah membujur maka akan terlihat lorong-
lorong gerek yang memanjang. Gerekan ini kadang-kadang menyebabkan titik
tumbuh mati, daun muda layu atau kering. Biasanya dalam satu batang terdapat
lebih dari satu ulat penggerek.
Umumnya
pengendalian
penggerek batang
tebu raksasa yang digunakan adalah: Secara kultur
teknis yaitu sanitasi lahan, penanaman dengan
sistem hamparan.
Memotong bagian tanaman yang terserang dan membakarnya. Secara mekanis yaitu pengutipan ulat – ulat di lapangan.
Secara biologis
yaitu dengan
memanfaatkan musuh alami
berupa pelepasan parasit
telur Trichogramma spp., dan
parasit larva
Diatraeophaga striatalis
Tns.Secara kimiawi yaitu dengan pemakaian insektisida yaitu Agrothion 50 EC
(3 l/ha), Azodrin 15 WSC ( 5 l/ha) hal ini
sesuai dengan Pratama (2009) yang menyatakan bahwa Umumnya
pengendalian
penggerek batang
bergaris
(C. sacchariphagus) yang digunakan adalah: Secara
kultur teknis
yaitu
sanitasi
lahan,
penanaman
dengan sistem
hamparan. Memotong bagian tanaman yang terserang dan membakarnya.
Secara mekanis yaitu pengutipan ulat – ulat di lapangan. Secara
biologis yaitu dengan
memanfaatkan
musuh
alami
berupa pelepasan parasit
telur Trichogramma spp., dan
parasit larva
Diatraeophaga striatalis
Tns. Secara kimiawi yaitu dengan pemakaian insektisida yaitu Agrothion 50 EC
(3 l/ha), Azodrin 15 WSC ( 5 l/ha).
KESIMPULAN
1.
Kerugian yang disebabkan oleh hama dan
penyakit tanaman tebu diperkirakan mencapai 37% dari total produksi, dan 13% di
antaranya karena serangan hama.
2.
Fase
pertumbuhan
tanaman dalam
proses
perkecambahan
sangat tergantung kepada ketersedian air dan makanan yang terdapat dalam bibit.
3.
Gejala
serangan pada batang tebu ditandai adanya lobang gerek pada permukaan batang.
4.
Umumnya pengendalian penggerek
batang raksasa
yang digunakan adalah: Secara
kultur teknis
yaitu
sanitasi
lahan,
penanaman
dengan sistem
hamparan. Memotong bagian tanaman yang terserang dan membakarnya.
Secara mekanis yaitu pengutipan ulat – ulat di lapangan. Secara
biologis yaitu dengan
memanfaatkan
musuh
alami
berupa pelepasan parasit
telur Trichogramma spp., dan
parasit larva
Diatraeophaga striatalis
Tns.
DAFTAR
PUSTAKA
BPTTD. 1979. Hama dan Penyakit Tanaman Tebu. Balai
Penelitian Tanaman Tebu dan Tembakau
Deli, Medan. Hlm. 15-16
Ditjenbun. 2011. Lalat Sturmiopsis
Sahabat Petani Tebu. (di unduh 3 September
2011)
Diyasti, F. 2010. Waspada Penggerek
Batang Tebu Raksasa. (di unduh 29 November
2010)
Easwakamoorthy, S., H. David, G.
Santhalakshmi, M. Shanmudasundaram, V. Nandagopal
and N. K. Kurup. 1990. Toxicity Of Certain Insecticides To Sturmiopsis inferens, A Larva Parasite Of
Sugarcane Moth Borers. Sugarcane
Breeding Institute, India.
Ganeshan, S. and A. Rajabalee. 1997.
Parasitoid of The Sugarcane Spotted Borer, Chilo sacchariphagus (Lepidoptera: Pyralidae),
in Mauritius. Mauritius Sugar Industry
Reasearch Institute, Riduit, Mauritius.
Hasyim, A., Kamisar dan K. Nakamura.
2003. Mortalitas Stadia Pradewasa Hama Penggulung
Daun Pisang Erionata thrax (L) yang Disebabkan oleh Parasitoid. J.Hort. 13(2). hlm. 114-199
Indriyanti, D. R. 1987. Pengaruh
Pelepasan Ngengat Mandul Chilo auricilius Dudgeon (Lepidoptera: Pyralidae) Hasil Radiasi
Sinar Gamma dengan Empat Variasi Dosis, Terhadap Penurunan Populasi Ngengat
F-1. IPB, Bogor.
Kalshoven, L.G.E. 1981. The Pest of Crop
in Indonesia. Revised and Translated by
PA. Vander Lean. PT. Ichtiar Baru-Van Hoove. Jakarta.
Mau, R.F.L. dan Martin L. Jayma Kessing.
1993. Pelopidas thrax L. Dep. Ento. Honolulu,
Hawai.
Nugroho, B. W. 1986. Pengamatan Hama Penting
Tanaman Tebu (Saccharum officinarum Linn.) di Kecamatan
Babakan, Wilayah Kerja
Pabrik Gula Tersana Baru PT. Perkebunan
XIV (Persero) Kabupaten Cirebon. IPB.
Bogor.
Pramono, D. 2005. Pengelolaan Hama Tebu
Secara Terpadu-2. Penerbit Dioma, Malang.
Pramono, D. 2007. Program Early Warning
System (EWS) Sebagai Dasar Penentuan
Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Hama Secara Terpadu (PHT) Pada Penggerek Batang Raksasa di Kawasan
PTPN II Persero, Sumatera Utara. Kelti
Proteksi Tanaman. P3GI Pasuruan.
Pratama, Z., Iwan dan M., Miftahul, Z.
2010. Pengaruh Kombinasi Waktu Pelepasan Yang Berbeda Antara Diatraeophaga striatalis Tns. Dan Trichogramma
chilonis Terhadap Persentase Kerusakan Tanaman Tebu (Saccharum officinarum Linn.) Yang Disebabkan
Oleh Chilo auricilus Dudgeon.
Universitas Negeri Surabaya
Purnomo, W. 2006. Parasitisasi Dan
Kapasitas Reproduksi Cotesia flavires Cameron (Hymenoptera:
Braconidae) Pada Inang dan Instar Yang
Berbeda Di Laboratorium. (di unduh 29 November 2010)
Pusat Penelitian Perkebunan Gula
Indonesia (P3GI). 2008. Konsep Peningkatan Rendemen Industri Gula Indonesia. (di unduh 29
N0vember 2010)
Sallam, NS and PG Allsopp. 1998. Chilo spp. Incursion Management Plan Version 2. BSES Limited Publication.
Saragih, R., Harahap C. F. dan
Boedijono. 1982. Perkawinan S. inferens
Town. Lalat Parasit dari P. castanae
Hubner. BPPTD. Hlm. 2
Saragih, R., Zuraida, B. dan Z. Abidin.
1986. Pembiakan S. inferens Town. dan Kemampuan
Memarasit P. castanae Hubner. Prosiding
Temu Ilmiah Entomologi Perkebunan
Indonesia 1986. hlm. 143
Sarwani, M. 2008. Teknologi Budidaya
Pisang. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Lampung.
Soma AG and S. Ganeshan. 1998. Status of
The Sugar Cane Spotted Borer, Chilo
saccharifagus Bojer (Lepidoptera: Pyralidae: Crambinae ), In Mauritius.
Food and Agric. Research Council, Reduit.
Sunaryo, Suroyo, dan H. Ubandi. 1988.
Biologi Sturmiopsis inferens. Pertemuan Tengah Tahun II Budidaya Tebu Lahan
Kering P3GI, Pasuruan. 9p.
Suryana, A., 2007. Prospek Dan Arah
Pengembangan Agribisnis Tebu. Badan Penelitian
Dan Pengembangan Pertanian, Jakarta.
Verly, G. C., Grandwell, G.N. and
Hassel, M. P. 1973. Insect Population Ecology and Analitical Approach Black Well. Publisher
Oxford, London. P. 209 Way, M. and S. Rutherford. 2011. Update On Chilo. South
African Sugarcane Reasearch Institute. P. 12
Wirioatmodjo, B. 1977. Biologi Lalat
Jatiroto, Diatraeophaga striatalis Townsend,
dan Penerapannya dalam Pengendalian Penggerek Berkilat, Chilo auricilius Dudgeon. IPB. Bogor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar